17 Agustus 2023

Mulai Menanggapi Sinyal dari Dalam

Ada sebuah kebiasaan manusia yang luar biasa mematikan: kita terlalu pandai mengabaikan suara dari dalam diri sendiri. Tubuh kita adalah penerjemah setia antara jiwa dan dunia luar, tapi kita sering memperlak,kannya seperti pelayan yang boleh diabaikan selama belum berteriak keras.

Gangguan kesehatan yang sekarang saya alami sampai berkepanjangan, dulu bermula dari masalah kecil dan bisa diabaikan - cepat lelah, sering pusing, perut kembung.

Hanya gejala ringan yang biasanya hilang sendiri setelah beberapa saat, atau setelah cukup tidur. Kalaupun setelah bangun masih terasa, biasanya saya anggap sinyal dari perut yang terabaikan. Begitu selesai makan, dunia terang kembali. Setidaknya, begitulah yang saya percaya.

 Tapi kali itu, rupanya tubuh serius menyampaikan sesuatu dan ingin didengar. Sinyal-sinyal kecil itu bukan lagi gangguan biasa, melainkan pesan dari sistem yang mulai menjerit dalam bahasa halus.

Karena saya tetap abai, dan ketukan sedikit keras tidak juga saya  gubris, akhirnya saya dijewer dengan keras. Trigliserida njeplak, seluruh badan pegel, selalu ngantuk dan capek. Seolah tubuh ini sedang menanggung beban yang bukan haknya.

 

Meskipun sudah kelimpungan dan membutuhkan bantuan dokter, saya masih setengah hati melaksanakan perintah diet. Di rumah tertib, karena ada anak dan istri yang bertindak sebagai satpam. Tapi di luar, tidak pernah sekalipun patuh. Jangankan membatasi asupan karbo. Saya masih rajin melahap donat coklat, minum kopi botolan, minum jus buah, tetap lahap makan rendang, tongseng, dan yang paling saya suka, sop iga dengan kuah berlemaknya.

Barangkali jengkel terus terusan diabaikan, tubuh menjawab dengan caranya sendiri: irama detak jantung morat-marit – dokter menyebutnya aritmia, Trigliserida tidak mau lagi turun di bawah 500 mg/dL, vertigo yang membuat dunia serasa berputar lebih cepat, dan langkah kaki mulai goyah, seperti bayi yang baru belajar jalan.

Beruntung, ditengah kebiasaan makan dan minum secara ugal-ugalan itu, alam semesta masih bersedia memberi remisi. Melalui pandemi yang membuat saya tidak lagi bisa kontrol dan konsultasi ke dokter, kondisi saya justru membaik dengan sendirinya – paling tidak saya bisa lepas dari ketergantungan obat, dan merasa kembali hidup normal, meskipun tidak seperti dulu lagi. Seolah tubuh sedang memberi kesempatan kedua, untuk menyadari bahwa kesehatan bukan hal yang bisa diabaikan.

 

Lalu datanglah peristiwa yang tak akan pernah saya lupakan. Seseorang yang hanya beberapa menit saja ketemu di bis kota, tanpa ada percakapan apapun sebelumnya, tiba-tiba memberitahu, tubuh saya sedang sekarat. Hanya itu yang diucapkan sebelum dia bergegas turun, tanpa memberi kesempatan saya bertanya.

Ucapan itu nempel di kepala sampai berhari-hari. Awalnya saya menganggap hanya ocehan orang iseng. Tapi semakin saya renungi, otak saya mulai menganggap kalimat itu sebagai pesan dari semesta yang disampaikan melalui mulut orang asing.

Saya punya satu harapan sederhana namun mendalam: menyelesaikan perjalanan hidup dengan baik, tanpa drama medis. Saya pengin seperti dokter Adam, sepanjang perjalanan pulang dari jogging masih bercanda. Setiba di rumah, istirahat, duduk di kursi, menunggu sarapan,  dan masih sempat kirim pesan melalui WA, “Dengarkan tubuhmu.” Ketika beberapa menit kemudian makan pagi siap, ternyata beliau telah pergi. Saya kehilangan seorang penyelamat, tapi meninggalkan pesan yang lebih berharga dari obat apa pun.

Saya baca kembali pesan terakhir dokter Adam dan mulai percaya bahwa ucapan orang di dalam bis memang peringatan keras dari alam semesta. Kematian bukanlah hal yang menakutkan, tapi ketidaksiapan menghadapinya yang membuat hidup menjadi tragis.

Belakangan saya kembali merasa, tubuh tidak senyaman  sebelumnya. Beberapa kali trigliserida tembus 1000 mg/dL. Kadar asam urat dan kolesterol yang biasanya normal, mulai memanjat. Capek dan pegel-pegel di sekujur tubuh semakin sering tidak tertahankan. Kram mulai rajin datang. Mungkin itu bukan ketukan lagi, melainkan tamparan keras, berharap saya akhirnya mendengar. Tubuh tidak lagi sekadar protes, tapi memberi peringatan.

Pada saat yang sama, mungkin lantaran jengkel saya kembali seenak udel,  dokter memberi teguran keras, “Saya tidak merekayasa diet. Saya hanya menerjemahkan keinginan tubuh Anda. Kalau Anda masih ingin sehat, dengarkan keluhan tubuh dan penuhi keinginannya. Obat hanya membantu meringankan gejala, mengurangi pegel, membantu supaya kerja jantung tidak terlalu berat. Hasil akhir sepenuhnya bergantung kemauan Anda untuk menjaga diri.”

Teguran itu nempel seperti memo di dinding hati saya. Kesehatan bukanlah hadiah yang bisa dibeli dengan uang, tapi investasi yang harus dibayar dengan kesadaran.

Mumpung belum telat dan keburu beneran sekarat, saya memutuskan belajar mendengarkan tubuh. Saya kembali mulai dengan hal kecil - hanya minum teh atau kopi sekali sehari dengan sedikit gula. Lebih banyak minum air putih hangat, dan berhenti makan begitu tubuh berkata “cukup” - tidak perduli perut masih teriak lapar. Olahraga ringan, minimal jalan kaki 60 menit setiap hari. 

Kadang saya masih kambuh berlagak bego, sengaja abai. Kadang  masih tergoda donat dan kopi manis. Tapi sekarang saya berusaha  menunda sebelum  melahap. 

Menunda bukan untuk menolak, tapi memberi waktu bagi akal sehat untuk berbicara. Biasanya berhasil.

Tubuh tak pernah bohong. Dia sudah terlalu lama menjadi pelayan yang setia. Kini saatnya saya memperlakukannya sebagai sahabat yang pantas dihormati - agar tubuh tidak lagi harus berteriak keras hanya untuk didengar.

Saya mulai belajar memahami bahasa tubuh. Misalnya, ngantuk padahal belum larut malam, berarti tubuh butuh istirahat lebih banyak. Tegang di leher dan pundak, tidak lagi semata-mata menimpakan kesalahan pada bantal, tapi mulai menelusuri, apakah ada ketegangan yang tak sempat saya ungkap.

Mual tanpa sebab jelas, bisa jadi karena ada hal yang tak bisa saya “telan” secara emosi. Mungkin ada kebohongan yang saya sembunyikan, atau kebenaran pahit yang saya tolak.

Tubuh tidak hanya bicara soal makanan atau penyakit.  Dia juga menyimpan cerita tentang pikiran yang lelah, hati yang kedinginan, atau semangat yang sedang meredup. Sepertinya, setiap gejala fisik adalah metafora dari kondisi batin yang mungkin tak pernah saya sadari.

Tapi seandainya, semua pemahaman itu tetap tidak mampu menaklukkan nafsu rakus saya terhadap makanan yang seharusnya tidak saya sentuh - seperti sop iga, seafood, atau jeroan, dengan sangat terpaksa saya menggunakan jurus pamungkas, memutar potongan video orang sekarat di ICU. Meskipun hanya adegan film, bukan kejadian sesungguhnya, tapi selalu efektif.

Melalui perjalanan panjang ini saya belajar, bahwa mendengarkan tubuh bukan sekadar  diet dan olahraga. Melainkan memberi penghormatan terhadap diri sendiri. Menepati perjanjian diam antara jiwa dan raga, bahwa kita akan berjalan bersama, bukan saling menyeret.

Hidup bukan tentang berapa lama kita bertahan, tapi seberapa dalam kita benar-benar hidup. Dan untuk hidup dengan kedalaman itu, kita harus belajar mendengarkan teriakan halus yang selama ini kita abaikan.


08 Agustus 2023

Kesunyian Baru


Setelah badai di dalam diri reda, saya duduk dalam diam yang lain. Bukan diam yang tegang, bukan pula keheningan penuh kecemasan, seperti yang terjadi saat menunggu sesuatu datang.

Ini adalah keheningan yang tidak menuntut. Tidak tergesa. Tidak berambisi menjawab.

Saya seperti berada di sebuah ruang yang lapang. Tidak terang, juga tidak gelap. Tidak penuh, tidak kosong. Rasanya seperti berada di suatu tempat yang sejak lama saya cari, padahal tempat itu tidak pernah jauh. Hanya tertutup suara, tertutup luka, tertutup topeng-topeng yang saya kenakan untuk bertahan.

Keheningan ini tidak hadir dengan gendang atau gemuruh. Dia datang seperti embun. Diam-diam mengendap di sela-sela perasaan yang lelah berlari.

Saya duduk saja di dalamnya. Tanpa target. Tanpa tujuan. Tanpa pertanyaan.

Untuk pertama kalinya dalam perjalanan ini, saya tidak sedang mencari sesuatu. Tidak sedang mengejar jawaban. Tidak sedang menghindari rasa sakit. Saya hanya hadir sepenuhnya, seadanya.

Sampai kemudian saya menyadari sesuatu yang mengejutkan: Kesadaran ini adalah rumah.

Bukan rumah sebagai bangunan, bukan tempat untuk lari dari dunia, tapi rumah di ruang batin yang  menampung semua versi tentang saya. Versi yang kuat, yang lemah, yang takut, yang berani, yang penuh luka, yang penuh cinta.

Rumah ini tidak punya dinding. Tapi saya merasa aman.

Rumah ini tidak punya atap. Tapi saya merasa terlindung.

Sebab rumah ini bukan tempat, melainkan kehadiran.

Dan justru ketika saya tidak mencoba jadi siapa-siapa, ketika saya tidak sibuk berusaha menjadi kuat, atau bijak, atau sempurna, di situlah saya merasakan diri saya yang sebenarnya.

Kesadaran ini bukan sesuatu yang datang lewat pikiran. Lebih mirip seperti langit yang membentang, diam, luas, menerima segalanya, tanpa menghakimi.

Kadang suara batin yang riuh masih muncul. Luka lama menyapa. Tapi mereka tidak lagi seperti musuh yang ingin menghancurkan. Mereka datang seperti anak-anak yang pulang ke rumah. Kadang gaduh, kadang ribut, tapi tahu bahwa mereka akan selalu diterima.

Dan saya, yang dulu hanya tahu sibuk mengatur semuanya, sekarang belajar menjadi ruang bagi semua itu. Menjadi langit bagi awan-awan yang berlalu. Menjadi danau bagi riak-riak kecil yang datang dan pergi.

Saya tidak tahu apa yang sedang saya alami, tapi saya tidak lagi asing dengan diri sendiri.

Bagi seseorang yang pernah tersesat terlalu jauh di luar maupun di dalam, adalah berkat yang tak ternilai.

Kesadaran dan keheningan ini, bukan akhir, melainkan rumah awal, tempat di mana langkah-langkah berikutnya akan dimulai. Tanpa tekanan. Tanpa paksaan. Hanya dengan kehadiran yang penuh.

Dan di sinilah saya berada, tidak lebih baik dari siapa-siapa, dan tidak lebih tah. Tapi lebih utuh dan lebih siap.


Pertempuran Batin


Setelah memeluk luka-luka lama dan mengakui kehadiran mereka, saya sempat menganggap perjalanan selanjutnya akan jadi lebih tenang.

Ternyata keliru.

Yang terjadi justru sebaliknya: semakin dalam saya masuk, suasananya semakin gaduh. Bukan karena ada gangguan dari luar, tapi karena bagian-bagian dalam diriku mulai bersuara bersamaan - saling tumpang tindih, saling bertabrakan. Masing-masing mengaku paling benar dan ingin didengar lebih dulu.

Suasananya persis video Youtube yang menayangkan kekacauan di ruang rapat para politisi. Ribut dan tak bisa dikendalikan.

Satu suara berkata, “Kamu sudah tua. Saatnya meninggalkan masa lalu. Lanjutkan hidup. Fokus ke depan.”

Yang lain membalas, “Bagaimana bisa maju kalau luka-luka itu belum benar-benar sembuh? Bukankah kamu hanya menumpuknya di bawah karpet kesibukan?”

Lalu muncul suara baru, “Sudahlah. Tidak usah terlalu dalam. Tidak semua harus dipahami. Hidup ini pendek. Nikmati saja selagi bisa.”

Tiba-tiba suara lama menyela, “Kamu terlalu lamban. Terlalu banyak pertimbangan. Waktu terus berjalan, dan kamu masih di sini-sini saja.”

Sebelum saya sempat merespons satu pun, datang lagi bisikan lain, “Kamu tidak akan pernah cukup. Percayalah, bahkan jika kamu berhasil, tetap akan ada lubang di dalam dirimu yang tidak akan bisa kamu tutup.”

Saya terduduk. Terdiam. Keroyokan batin ini nyata. Tidak seperti perkelahian di luar sana yang bisa dilerai oleh polisi atau dimediasi dengan aturan, pertempuran ini terjadi di ruang sunyi di dalam diri sendiri.

Dan yang paling membingungkan: semua suara itu benar, meskipun tidak sepenuhnya.

Masing-masing membawa kepingan kebenaran, meskipun tidak lengkap. Seolah mereka adalah cermin pecah yang merefleksikan bagian dari diri saya yang tidak pernah utuh. Dan saya berada di tengah-tengah, bingung memilih mana yang harus diikuti.

Saya mulai sadar, ini adalah momen penting dalam perjalanan.

Bukan saat yang menyenangkan, tapi saat yang otentik - ketika semua yang tersembunyi mulai muncul tanpa kendali. Ketika semua versi dari diri saya yang lama, yang pernah saya alami, yang pernah saya cintai atau saya benci, berkumpul sekaligus, meminta perhatian.

Dalam kekacauan itu, perlahan saya belajar untuk tidak memilih yang paling keras, paling pintar, atau paling meyakinkan. Saya belajar untuk mendengar semuanya, tanpa langsung patuh pada siapapun.

Saya belajar menjadi saksi dari perang batin yang ternyata bukan untuk dimenangkan, melainkan hanya untuk dipahami. Sebab setiap bagian dari diri sendiri, bahkan yang paling menyebalkan sekalipun, muncul karena pernah punya peran penting. Entah itu untuk melindungi, untuk bertahan, atau untuk menyembunyikan rasa sakit yang tak tertanggungkan.

Hanya dengan menjadi saksi, saya bisa mulai menemukan satu titik yang tidak ikut ribut. Titik yang diam, hening, tapi terasa kokoh. Mungkin, …. barangkali, saya tidak tahu pasti, titik itu adalah kesadaran sejati. Tidak memihak. Hanya hadir. Tidak menyela, tapi merangkul semuanya sekaligus.

Sejak saat itu, saya tahu, tidak perlu lagi takut mendengar keributan batin. Tidak perlu panik jika ada suara-suara yang saling bertentangan. Mereka semua adalah bagian dari proses menjadi utuh. Dan keributan itu, justru menandakan bahwa saya sudah cukup dalam untuk melihat semuanya.


HOME

01 Agustus 2023

Luka yang Menyamar

Setelah perjumpaan dengan sang pembimbing dalam diri, ada rasa lega yang menggantung. Tapi saya tahu, ini belum akhir. Perjalanan ini bukan tentang mencari damai sesaat, lalu kembali seperti semula. Ini tentang menggali lebih dalam, sampai seluruh akar yang selama ini tersembunyi tersibak satu per satu.

Dan di sinilah babak baru dimulai, perjumpaan dengan luka.

Tapi tidak seperti yang saya bayangkan, luka-luka itu tidak muncul dalam bentuk darah atau tangis. Mereka datang dengan berbagai wajah - Kadang menipu, kadang menggoda, kadang sangat meyakinkan.

Satu malam, dalam keheningan, saya melihat sosok yang selalu mondar-mandir dalam pikiran, seorang pria dewasa yang tampak kuat, tegas, rasional, berdiri dengan tangan bersilang, seperti sedang mengawasi.

“Aku menjaga agar kamu tidak jatuh terlalu dalam,” katanya.

Saya ingin berterima kasih, tapi kemudian saya sadar, dialah yang selama ini membisiki: “Jangan terlalu jujur. Jangan lemah. Lupakan semua yang menyakitkan.”

Dan tiba-tiba segalanya menjadi jelas, dia bukan lagi penjaga, melainkan luka lama yang menyamar sebagai pelindung.

Mungkin berasal dari masa ketika saya diajarkan untuk kuat dan tegar, bahkan ketika sedang hancur di dalam. Mungkin dari momen ketika saya menangis diam-diam karena takut dianggap cengeng. Dia muncul untuk menyelamatkan. Tapi dalam prosesnya, dia juga menutup pintu-pintu penyembuhan.

Lalu muncul sosok lain. Seorang perempuan muda yang sangat cerewet. Dia terus bicara tanpa henti, mengkritik, mengomentari, mempertanyakan semua yang saya lakukan.

“Kamu tidak akan sanggup. Kamu itu terlalu lamban, terlalu banyak mikir. Sudah terlambat. Apa gunanya sekarang?”

Saya sempat ingin marah. Tapi semakin lama saya dengar suaranya, saya mulai mengerti, ini adalah luka yang tumbuh dari rasa tidak dihargai. Dari rasa tidak percaya pada diri sendiri, yang tersimpan begitu lama, hingga ketika kini punya kesempatan, dia bersuara seperti seorang perfeksionis yang sarkastik.

Dan yang paling menyentuh, adalah ketika saya bertemu kembali dengan anak kecil yang pernah saya jumpai di awal perjalanan. Kali ini dia tidak duduk menyendiri, melainkan bangkit perlahan, sambil menatap saya. Matanya penuh air, tapi tidak menangis. Dia hanya menatap, seolah bertanya:

“Apa kamu akhirnya akan mengajakku bicara?”

Jantung saya bergetar. Saya mendekat. Tidak berusaha menguatkannya, tidak juga menasehati. Saya hanya menatap balik dan berkata, “Aku minta maaf sudah lama membiarkanmu sendiri.”

Seketika itu juga, saya merasa lega. Beban lama yang tidak pernah saya sadari akhirnya terlepas. Bukan karena saya menyelesaikannya, melainkan karena mau mengakui.

Saya mulai mengerti. Luka-luka dalam diri tidak ingin diusir, tidak juga dilawan. Mereka hanya ingin diakui. Selama ini, saya mencoba menjadi baik-baik saja tanpa benar-benar mendengar bagian diri sendiri yang hancur. Saya mencoba sembuh dengan melupakan, padahal justru dengan mengingat dan menerima, penyembuhan bisa benar-benar dimulai.

Semua sosok yang datang - penjaga yang dingin, tukang kritik cerewet, hingga anak kecil yang terluka, adalah bagian dari diri saya sendiri. Mereka datang bukan untuk menyiksa, tapi mengingatkan, bahwa untuk menjadi utuh, saya harus memeluk semua bagian. Termasuk yang retak.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya, saya tidak berusaha menyelesaikan apa pun. Saya hanya duduk bersama semua luka itu. Tak perlu bicara. Tak perlu sembuh seketika. Cukup ada bersama mereka.

Rasanya, itulah bentuk cinta terdalam. Tidak lagi menolak bagian mana pun dari diri sendiri. Karena di sanalah, proses pulang ke dalam diri benar-benar dimulai. Bukan sebagai versi terbaik dari saya, tapi sebagai saya yang utuh, lengkap dengan cerita, luka, dan harapan yang perlahan tumbuh kembali.


HOME