Ada sebuah kebiasaan manusia yang luar biasa mematikan: kita
terlalu pandai mengabaikan suara dari dalam diri sendiri. Tubuh kita adalah
penerjemah setia antara jiwa dan dunia luar, tapi kita sering memperlak,kannya
seperti pelayan yang boleh diabaikan selama belum berteriak keras.
Gangguan kesehatan yang sekarang saya alami sampai
berkepanjangan, dulu bermula dari masalah kecil dan bisa diabaikan - cepat
lelah, sering pusing, perut kembung.
Hanya gejala ringan yang biasanya hilang sendiri setelah
beberapa saat, atau setelah cukup tidur. Kalaupun setelah bangun masih terasa,
biasanya saya anggap sinyal dari perut yang terabaikan. Begitu selesai makan,
dunia terang kembali. Setidaknya, begitulah yang saya percaya.
Tapi kali itu,
rupanya tubuh serius menyampaikan sesuatu dan ingin didengar. Sinyal-sinyal
kecil itu bukan lagi gangguan biasa, melainkan pesan dari sistem yang mulai
menjerit dalam bahasa halus.
Karena saya tetap abai, dan ketukan sedikit keras tidak juga
saya gubris, akhirnya saya dijewer dengan keras. Trigliserida
njeplak, seluruh badan pegel, selalu ngantuk dan capek. Seolah tubuh ini sedang
menanggung beban yang bukan haknya.
Meskipun sudah kelimpungan dan membutuhkan bantuan dokter,
saya masih setengah hati melaksanakan perintah diet. Di rumah tertib, karena
ada anak dan istri yang bertindak sebagai satpam. Tapi di luar, tidak pernah
sekalipun patuh. Jangankan membatasi asupan karbo. Saya masih rajin melahap
donat coklat, minum kopi botolan, minum jus buah, tetap lahap makan rendang,
tongseng, dan yang paling saya suka, sop iga dengan kuah berlemaknya.
Barangkali jengkel terus terusan diabaikan, tubuh menjawab
dengan caranya sendiri: irama detak jantung morat-marit – dokter menyebutnya
aritmia, Trigliserida tidak mau lagi turun di bawah 500 mg/dL, vertigo yang
membuat dunia serasa berputar lebih cepat, dan langkah kaki mulai goyah, seperti
bayi yang baru belajar jalan.
Beruntung, ditengah kebiasaan makan dan minum secara
ugal-ugalan itu, alam semesta masih bersedia memberi remisi. Melalui pandemi
yang membuat saya tidak lagi bisa kontrol dan konsultasi ke dokter, kondisi
saya justru membaik dengan sendirinya – paling tidak saya bisa lepas dari
ketergantungan obat, dan merasa kembali hidup normal, meskipun tidak seperti
dulu lagi. Seolah tubuh sedang memberi kesempatan kedua, untuk menyadari bahwa
kesehatan bukan hal yang bisa diabaikan.
Lalu datanglah peristiwa yang tak akan pernah saya lupakan. Seseorang
yang hanya beberapa menit saja ketemu di bis kota, tanpa ada percakapan apapun
sebelumnya, tiba-tiba memberitahu, tubuh saya sedang sekarat. Hanya itu yang
diucapkan sebelum dia bergegas turun, tanpa memberi kesempatan saya bertanya.
Ucapan itu nempel di kepala sampai berhari-hari. Awalnya
saya menganggap hanya ocehan orang iseng. Tapi semakin saya renungi, otak saya
mulai menganggap kalimat itu sebagai pesan dari semesta yang disampaikan
melalui mulut orang asing.
Saya punya satu harapan sederhana namun mendalam:
menyelesaikan perjalanan hidup dengan baik, tanpa drama medis. Saya pengin
seperti dokter Adam, sepanjang perjalanan pulang dari jogging masih bercanda.
Setiba di rumah, istirahat, duduk di kursi, menunggu sarapan, dan
masih sempat kirim pesan melalui WA, “Dengarkan tubuhmu.” Ketika beberapa menit
kemudian makan pagi siap, ternyata beliau telah pergi. Saya kehilangan seorang
penyelamat, tapi meninggalkan pesan yang lebih berharga dari obat apa pun.
Saya baca kembali pesan terakhir dokter Adam dan mulai
percaya bahwa ucapan orang di dalam bis memang peringatan keras dari alam
semesta. Kematian bukanlah hal yang menakutkan, tapi ketidaksiapan
menghadapinya yang membuat hidup menjadi tragis.
Belakangan saya kembali merasa, tubuh tidak senyaman
sebelumnya. Beberapa kali trigliserida tembus 1000 mg/dL. Kadar asam urat dan
kolesterol yang biasanya normal, mulai memanjat. Capek dan pegel-pegel di
sekujur tubuh semakin sering tidak tertahankan. Kram mulai rajin datang.
Mungkin itu bukan ketukan lagi, melainkan tamparan keras, berharap saya
akhirnya mendengar. Tubuh tidak lagi sekadar protes, tapi memberi peringatan.
Pada saat yang sama, mungkin lantaran jengkel saya kembali
seenak udel, dokter memberi teguran keras, “Saya tidak merekayasa diet.
Saya hanya menerjemahkan keinginan tubuh Anda. Kalau Anda masih ingin sehat,
dengarkan keluhan tubuh dan penuhi keinginannya. Obat hanya membantu
meringankan gejala, mengurangi pegel, membantu supaya kerja jantung tidak
terlalu berat. Hasil akhir sepenuhnya bergantung kemauan Anda untuk menjaga
diri.”
Teguran itu nempel seperti memo di dinding hati saya. Kesehatan
bukanlah hadiah yang bisa dibeli dengan uang, tapi investasi yang harus dibayar
dengan kesadaran.
Mumpung belum telat dan keburu beneran sekarat, saya
memutuskan belajar mendengarkan tubuh. Saya kembali mulai dengan hal kecil -
hanya minum teh atau kopi sekali sehari dengan sedikit gula. Lebih banyak minum
air putih hangat, dan berhenti makan begitu tubuh berkata “cukup” - tidak
perduli perut masih teriak lapar. Olahraga ringan, minimal jalan kaki 60 menit
setiap hari.
Kadang saya masih kambuh berlagak bego, sengaja abai.
Kadang masih tergoda donat dan kopi manis. Tapi sekarang saya
berusaha menunda sebelum melahap.
Menunda bukan untuk menolak, tapi memberi waktu bagi akal
sehat untuk berbicara. Biasanya berhasil.
Tubuh tak pernah bohong. Dia sudah terlalu lama menjadi
pelayan yang setia. Kini saatnya saya memperlakukannya sebagai sahabat yang
pantas dihormati - agar tubuh tidak lagi harus berteriak keras hanya untuk
didengar.
Saya mulai belajar memahami bahasa tubuh. Misalnya, ngantuk
padahal belum larut malam, berarti tubuh butuh istirahat lebih banyak. Tegang
di leher dan pundak, tidak lagi semata-mata menimpakan kesalahan pada bantal,
tapi mulai menelusuri, apakah ada ketegangan yang tak sempat saya ungkap.
Mual tanpa sebab jelas, bisa jadi karena ada hal yang tak
bisa saya “telan” secara emosi. Mungkin ada kebohongan yang saya sembunyikan,
atau kebenaran pahit yang saya tolak.
Tubuh tidak hanya bicara soal makanan atau
penyakit. Dia juga menyimpan cerita tentang pikiran yang lelah, hati
yang kedinginan, atau semangat yang sedang meredup. Sepertinya, setiap gejala
fisik adalah metafora dari kondisi batin yang mungkin tak pernah saya sadari.
Tapi seandainya, semua pemahaman itu tetap tidak mampu
menaklukkan nafsu rakus saya terhadap makanan yang seharusnya tidak saya sentuh
- seperti sop iga, seafood, atau jeroan, dengan sangat terpaksa saya
menggunakan jurus pamungkas, memutar potongan video orang sekarat di ICU.
Meskipun hanya adegan film, bukan kejadian sesungguhnya, tapi selalu efektif.
Melalui perjalanan panjang ini saya belajar, bahwa
mendengarkan tubuh bukan sekadar diet
dan olahraga. Melainkan memberi penghormatan terhadap diri sendiri. Menepati perjanjian
diam antara jiwa dan raga, bahwa kita akan berjalan bersama, bukan saling
menyeret.
Hidup bukan tentang berapa lama kita bertahan, tapi seberapa
dalam kita benar-benar hidup. Dan untuk hidup dengan kedalaman itu, kita harus
belajar mendengarkan teriakan halus yang selama ini kita abaikan.