01 Agustus 2023

Luka yang Menyamar

Setelah perjumpaan dengan sang pembimbing dalam diri, ada rasa lega yang menggantung. Tapi saya tahu, ini belum akhir. Perjalanan ini bukan tentang mencari damai sesaat, lalu kembali seperti semula. Ini tentang menggali lebih dalam, sampai seluruh akar yang selama ini tersembunyi tersibak satu per satu.

Dan di sinilah babak baru dimulai, perjumpaan dengan luka.

Tapi tidak seperti yang saya bayangkan, luka-luka itu tidak muncul dalam bentuk darah atau tangis. Mereka datang dengan berbagai wajah - Kadang menipu, kadang menggoda, kadang sangat meyakinkan.

Satu malam, dalam keheningan, saya melihat sosok yang selalu mondar-mandir dalam pikiran, seorang pria dewasa yang tampak kuat, tegas, rasional, berdiri dengan tangan bersilang, seperti sedang mengawasi.

“Aku menjaga agar kamu tidak jatuh terlalu dalam,” katanya.

Saya ingin berterima kasih, tapi kemudian saya sadar, dialah yang selama ini membisiki: “Jangan terlalu jujur. Jangan lemah. Lupakan semua yang menyakitkan.”

Dan tiba-tiba segalanya menjadi jelas, dia bukan lagi penjaga, melainkan luka lama yang menyamar sebagai pelindung.

Mungkin berasal dari masa ketika saya diajarkan untuk kuat dan tegar, bahkan ketika sedang hancur di dalam. Mungkin dari momen ketika saya menangis diam-diam karena takut dianggap cengeng. Dia muncul untuk menyelamatkan. Tapi dalam prosesnya, dia juga menutup pintu-pintu penyembuhan.

Lalu muncul sosok lain. Seorang perempuan muda yang sangat cerewet. Dia terus bicara tanpa henti, mengkritik, mengomentari, mempertanyakan semua yang saya lakukan.

“Kamu tidak akan sanggup. Kamu itu terlalu lamban, terlalu banyak mikir. Sudah terlambat. Apa gunanya sekarang?”

Saya sempat ingin marah. Tapi semakin lama saya dengar suaranya, saya mulai mengerti, ini adalah luka yang tumbuh dari rasa tidak dihargai. Dari rasa tidak percaya pada diri sendiri, yang tersimpan begitu lama, hingga ketika kini punya kesempatan, dia bersuara seperti seorang perfeksionis yang sarkastik.

Dan yang paling menyentuh, adalah ketika saya bertemu kembali dengan anak kecil yang pernah saya jumpai di awal perjalanan. Kali ini dia tidak duduk menyendiri, melainkan bangkit perlahan, sambil menatap saya. Matanya penuh air, tapi tidak menangis. Dia hanya menatap, seolah bertanya:

“Apa kamu akhirnya akan mengajakku bicara?”

Jantung saya bergetar. Saya mendekat. Tidak berusaha menguatkannya, tidak juga menasehati. Saya hanya menatap balik dan berkata, “Aku minta maaf sudah lama membiarkanmu sendiri.”

Seketika itu juga, saya merasa lega. Beban lama yang tidak pernah saya sadari akhirnya terlepas. Bukan karena saya menyelesaikannya, melainkan karena mau mengakui.

Saya mulai mengerti. Luka-luka dalam diri tidak ingin diusir, tidak juga dilawan. Mereka hanya ingin diakui. Selama ini, saya mencoba menjadi baik-baik saja tanpa benar-benar mendengar bagian diri sendiri yang hancur. Saya mencoba sembuh dengan melupakan, padahal justru dengan mengingat dan menerima, penyembuhan bisa benar-benar dimulai.

Semua sosok yang datang - penjaga yang dingin, tukang kritik cerewet, hingga anak kecil yang terluka, adalah bagian dari diri saya sendiri. Mereka datang bukan untuk menyiksa, tapi mengingatkan, bahwa untuk menjadi utuh, saya harus memeluk semua bagian. Termasuk yang retak.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya, saya tidak berusaha menyelesaikan apa pun. Saya hanya duduk bersama semua luka itu. Tak perlu bicara. Tak perlu sembuh seketika. Cukup ada bersama mereka.

Rasanya, itulah bentuk cinta terdalam. Tidak lagi menolak bagian mana pun dari diri sendiri. Karena di sanalah, proses pulang ke dalam diri benar-benar dimulai. Bukan sebagai versi terbaik dari saya, tapi sebagai saya yang utuh, lengkap dengan cerita, luka, dan harapan yang perlahan tumbuh kembali.


HOME


Tidak ada komentar: