08 Agustus 2023

Pertempuran Batin


Setelah memeluk luka-luka lama dan mengakui kehadiran mereka, saya sempat menganggap perjalanan selanjutnya akan jadi lebih tenang.

Ternyata keliru.

Yang terjadi justru sebaliknya: semakin dalam saya masuk, suasananya semakin gaduh. Bukan karena ada gangguan dari luar, tapi karena bagian-bagian dalam diriku mulai bersuara bersamaan - saling tumpang tindih, saling bertabrakan. Masing-masing mengaku paling benar dan ingin didengar lebih dulu.

Suasananya persis video Youtube yang menayangkan kekacauan di ruang rapat para politisi. Ribut dan tak bisa dikendalikan.

Satu suara berkata, “Kamu sudah tua. Saatnya meninggalkan masa lalu. Lanjutkan hidup. Fokus ke depan.”

Yang lain membalas, “Bagaimana bisa maju kalau luka-luka itu belum benar-benar sembuh? Bukankah kamu hanya menumpuknya di bawah karpet kesibukan?”

Lalu muncul suara baru, “Sudahlah. Tidak usah terlalu dalam. Tidak semua harus dipahami. Hidup ini pendek. Nikmati saja selagi bisa.”

Tiba-tiba suara lama menyela, “Kamu terlalu lamban. Terlalu banyak pertimbangan. Waktu terus berjalan, dan kamu masih di sini-sini saja.”

Sebelum saya sempat merespons satu pun, datang lagi bisikan lain, “Kamu tidak akan pernah cukup. Percayalah, bahkan jika kamu berhasil, tetap akan ada lubang di dalam dirimu yang tidak akan bisa kamu tutup.”

Saya terduduk. Terdiam. Keroyokan batin ini nyata. Tidak seperti perkelahian di luar sana yang bisa dilerai oleh polisi atau dimediasi dengan aturan, pertempuran ini terjadi di ruang sunyi di dalam diri sendiri.

Dan yang paling membingungkan: semua suara itu benar, meskipun tidak sepenuhnya.

Masing-masing membawa kepingan kebenaran, meskipun tidak lengkap. Seolah mereka adalah cermin pecah yang merefleksikan bagian dari diri saya yang tidak pernah utuh. Dan saya berada di tengah-tengah, bingung memilih mana yang harus diikuti.

Saya mulai sadar, ini adalah momen penting dalam perjalanan.

Bukan saat yang menyenangkan, tapi saat yang otentik - ketika semua yang tersembunyi mulai muncul tanpa kendali. Ketika semua versi dari diri saya yang lama, yang pernah saya alami, yang pernah saya cintai atau saya benci, berkumpul sekaligus, meminta perhatian.

Dalam kekacauan itu, perlahan saya belajar untuk tidak memilih yang paling keras, paling pintar, atau paling meyakinkan. Saya belajar untuk mendengar semuanya, tanpa langsung patuh pada siapapun.

Saya belajar menjadi saksi dari perang batin yang ternyata bukan untuk dimenangkan, melainkan hanya untuk dipahami. Sebab setiap bagian dari diri sendiri, bahkan yang paling menyebalkan sekalipun, muncul karena pernah punya peran penting. Entah itu untuk melindungi, untuk bertahan, atau untuk menyembunyikan rasa sakit yang tak tertanggungkan.

Hanya dengan menjadi saksi, saya bisa mulai menemukan satu titik yang tidak ikut ribut. Titik yang diam, hening, tapi terasa kokoh. Mungkin, …. barangkali, saya tidak tahu pasti, titik itu adalah kesadaran sejati. Tidak memihak. Hanya hadir. Tidak menyela, tapi merangkul semuanya sekaligus.

Sejak saat itu, saya tahu, tidak perlu lagi takut mendengar keributan batin. Tidak perlu panik jika ada suara-suara yang saling bertentangan. Mereka semua adalah bagian dari proses menjadi utuh. Dan keributan itu, justru menandakan bahwa saya sudah cukup dalam untuk melihat semuanya.


HOME

Tidak ada komentar: