Setelah badai di dalam diri reda, saya duduk dalam diam yang lain. Bukan diam yang tegang, bukan pula keheningan penuh kecemasan, seperti yang terjadi saat menunggu sesuatu datang.
Ini adalah keheningan yang tidak menuntut. Tidak tergesa. Tidak berambisi menjawab.
Saya seperti berada di sebuah ruang yang lapang. Tidak terang, juga tidak gelap. Tidak penuh, tidak kosong. Rasanya seperti berada di suatu tempat yang sejak lama saya cari, padahal tempat itu tidak pernah jauh. Hanya tertutup suara, tertutup luka, tertutup topeng-topeng yang saya kenakan untuk bertahan.
Keheningan ini tidak hadir dengan gendang atau gemuruh. Dia datang seperti embun. Diam-diam mengendap di sela-sela perasaan yang lelah berlari.
Saya duduk saja di dalamnya. Tanpa target. Tanpa tujuan. Tanpa pertanyaan.
Untuk pertama kalinya dalam perjalanan ini, saya tidak sedang mencari sesuatu. Tidak sedang mengejar jawaban. Tidak sedang menghindari rasa sakit. Saya hanya hadir sepenuhnya, seadanya.
Sampai kemudian saya menyadari sesuatu yang mengejutkan: Kesadaran ini adalah rumah.
Bukan rumah sebagai bangunan, bukan tempat untuk lari dari dunia, tapi rumah di ruang batin yang menampung semua versi tentang saya. Versi yang kuat, yang lemah, yang takut, yang berani, yang penuh luka, yang penuh cinta.
Rumah ini tidak punya dinding. Tapi saya merasa aman.
Rumah ini tidak punya atap. Tapi saya merasa terlindung.
Sebab rumah ini bukan tempat, melainkan kehadiran.
Dan justru ketika saya tidak mencoba jadi siapa-siapa, ketika saya tidak sibuk berusaha menjadi kuat, atau bijak, atau sempurna, di situlah saya merasakan diri saya yang sebenarnya.
Kesadaran ini bukan sesuatu yang datang lewat pikiran. Lebih mirip seperti langit yang membentang, diam, luas, menerima segalanya, tanpa menghakimi.
Kadang suara batin yang riuh masih muncul. Luka lama menyapa. Tapi mereka tidak lagi seperti musuh yang ingin menghancurkan. Mereka datang seperti anak-anak yang pulang ke rumah. Kadang gaduh, kadang ribut, tapi tahu bahwa mereka akan selalu diterima.
Dan saya, yang dulu hanya tahu sibuk mengatur semuanya, sekarang belajar menjadi ruang bagi semua itu. Menjadi langit bagi awan-awan yang berlalu. Menjadi danau bagi riak-riak kecil yang datang dan pergi.
Saya tidak tahu apa yang sedang saya alami, tapi saya tidak lagi asing dengan diri sendiri.
Bagi seseorang yang pernah tersesat terlalu jauh di luar maupun di dalam, adalah berkat yang tak ternilai.
Kesadaran dan keheningan ini, bukan akhir, melainkan rumah awal, tempat di mana langkah-langkah berikutnya akan dimulai. Tanpa tekanan. Tanpa paksaan. Hanya dengan kehadiran yang penuh.
Dan di sinilah saya berada, tidak lebih baik dari siapa-siapa, dan tidak lebih tah. Tapi lebih utuh dan lebih siap.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar