Seorang senior yang hidup mapan pernah memberi nasihat
pedas: "Masalah finansialmu hari ini adalah bayaran atas kesantaimu di
masa lalu." Kalimat itu menggumpal di tenggorokan, sulit ditelan tapi
terasa benar.
Saya pernah merasa hebat lantaran berani ninggal pekerjaan
dengan penghasilan bagus di tempat jauh sana, memilih pulang ke Jogja, kembali
wirausaha santai, dengan alasan yang bagi kebanyakan orang terasa konyol: Saya
ingin punya lebih banyak waktu bersama keluarga (dan memang itu yang terjadi).
Konsekuensinya, kehidupan finansial saya hanya sedikit di atas cukup. Senior
saya menyebut itu sebagai kriminalitas terhadap masa depan diri sendiri.
Sekarang harus saya akui, menjadi lansia, apalagi dengan
sejumlah gangguan kesehatan, butuh bekal finansial tidak sedikit. Untuk
keperluan diet saja, menunya tidak murah. Memang ada BPJS, tapi mondar-mandir
ke rumah-sakit juga harus keluar duit.
Anak saya hanya satu, sibuk menata hari depannya sendiri.
Kalau setiap saat saya recoki untuk menemani ke rumah-sakit, sama saja saya
mengacaukan rencana masa depannya. Ini bukan tentang bakti anak, tapi memang
saya merasa perlu mikir sampai sejauh itu. Bagi saya, anak bukan tabungan hari
depan.
Ketika badan terasa semplok di mana-mana, ngantri BPJS tanpa
pendamping juga butuh kekuatan mental. Itu sebabnya, banyak teman-teman, yang
sebelumnya selalu memuji BPJS, lantaran merasa terbantu saat mertua dan orang
tua sakit, ketika dia sendiri mengalami masalah kesehatan, ogah menggunakan
BPJS. Pernah ada teman yang terbiasa mendapat pelayanan VIP, saya tantang
menggunakan BPJS saat sakit gigi. Ternyata menyerah ketika nomer antriannya
masih jauh.
Saya tidak mengeluh, dan sama sekali tidak menyesali
keadaan. Saya terima semua sebagai bagian dari perjalanan hidup. Kalaupun ada
yang sedikit nampol, dan kadang membuat saya was-was, adalah kesalahan
saya mengabaikan resiko jangka panjang berkaitan dengan kesehatan. Karena
menjadi lansia setelah melewati masalah kesehatan lumayan serius ternyata
ngeri-ngeri sedap.
Masa depan memang harus direncanakan. Tidak salah bekerja
keras, numpuk tabungan atau membangun passive income untuk mengamankan hari tua
– bahkan menurut saya, seharusnya begitu. Asal tidak mengabaikan realita, bahwa
hidup penuh kejutan. Keadaan selalu berubah. Terdapat lebih banyak resiko
tersembunyi, ketimbang yang bisa diperhitungkan.
Kebanyakan orang hanya ingat untuk mempersiapkan bekal
akherat, tapi lupa, ada banyak drama kehidupan bisa terjadi sebelum kematian
datang menjemput. Tanpa cukup bekal mental, drama itu bisa menyebabkan
saat-saat terakhir menjadi sangat tidak menyenangkan. Mending kalau hanya
terjadi satu atau dua hari. Bagaimana seandainya saat-saat terakhir yang
dramatis itu berlangsung lama? Bertahun-tahun?
Dulu, saya pikir tubuh ini adalah benteng tak terkalahkan.
Rutin olahraga, rajin minum suplemen, tak pernah opname—seolah itu lisensi
untuk menghabisi sepiring tongseng berlemak, dengan telor mata sapi dua butir,
dan es kopi susu karamel setiap hari. "Self-love," kata saya sambil
menyuap jeroan. Ternyata, itu lebih mirip bunuh diri pelan-pelan.
Tubuh manusia memang ajaib. Bisa diam selama bertahun-tahun
menimbun kerusakan, lalu tiba-tiba menagih utang sekaligus dengan bunga yang
mencekik. Sampai akhirnya hanya bisa dijelaskan menggunakan satu kata saja,
“komplikasi”.
Bagi saya, kata itu lebih mirip peringatan terakhir, bahwa
saya sudah melewati point of no return. Secara harfiah bisa diartikan, satu
kaki di kuburan, satunya di ambang pintu rumah-sakit. Kesembuhan setelah itu,
kalaupun ada, tidak lebih dari kesempatan kedua untuk berupaya agar perjalanan
menyelesaikan sisa umur tidak tambah runyam, dan kelak bisa berakhir dengan
baik.
Saya sempat gamang, tapi beruntung tidak bablas sampai patah
semangat. Justru kemudian sadar resiko. Sekalipun secara medis sudah terlanjur
kacau, tapi selagi masih bernafas, tidak ada kata terlambat untuk berusaha
mendapatkan yang terbaik. Meskipun menurut senior saya, kondisi saya sekarang
ibarat gedung yang dibangun di atas tanah jelek, dengan kualitas konstruksi
buruk. Tidak ada lagi yang bisa diharapkan selain dibongkar.
Gedung bisa dibongkar, dibangun ulang. Sementara saya?
Seandainya teknologi kedokteran mampu melakukan renovasi ulang, belum tentu
fisik saya mampu menjalani prosesnya. Apalagi ternyata, teknologi kedokteran
baru sebatas mampu mempertahankan kondisi pasien supaya tidak menjadi lebih
buruk. Itupun sering gagal.
“Kalau ada duit, paling tidak akan membuat kondisimu lebih
baik,”
Saya tidak bisa membantah argumennya. Cuma, kadang-kadang,
hidup suka main ciluk ba. Muncul dari arah tidak terduga, membawa drama kecil,
sambil berteriak, “KEJUTAAAANNNNN.”
Kemarin sore, setelah beberapa bulan tidak jumpa, saya berkunjung
ke rumah senior saya. Dia tinggal di rumah besar yang dijaga satpam pribadi. Di
halaman samping yang luas berjejer mobil-mobil mewah. Kamar tidurnya sangat
lega. Tapi, di atas ranjang yang elegan, dia hanya tergolek tanpa daya, dengan
selang makan menembus hidung. Hanya tersisa tatapan mata dan genggaman tangan
sebagai tanda dia masih mengenali saya.
Dalam perjalanan pulang, teman sesama survivor kesehatan
berbisik, “Kita tidak gableg duit, entah apa jadinya kalau sampai seperti dia.”
Teman yang lain menjawab ringan, “Tidak akan terjadi. Tidak
ada duit akan membuat kita mati duluan.”
Saya tidak tahu, mana yang lebih menakutkan, hidup
berkelimpahan tapi tak berdaya di ranjang mewah, atau hidup pas-pasan dengan
ancaman kehabisan napas sebelum waktunya. Mungkin bukan soal memilih mana yang
lebih baik. Hidup bukan pilihan macam menu di restoran. Sering kali kita hanya
punya sepiring kenyataan, dan harus mengunyah apa adanya.
Mulai hari ini saya belajar melihat ke belakang tanpa
mengutuk masa lalu, dan menatap ke depan tanpa menggantungkan harapan kosong.
Hidup bukan soal menang atau kalah, tapi bagaimana kita bertahan, belajar, dan
tetap berusaha meski tahu akhir ceritanya tetap sama.
Saya tidak tahu berapa sisa umur saya. Tapi saya akan terus
merawat tubuh yang sudah mulai rewel ini. Saya ingin terus belajar memahami
hidup – bukan untuk jadi bijak, tapi supaya tidak terlalu bodoh lagi.
Tuhan tidak pernah menjanjikan hidup yang mudah. Tapi Dia
memberi kesempatan agar kita bisa tetap tersenyum meski kaki terseok, dan tetap
bersyukur meski isi dompet cekak.