Dulu saya pikir kegagalan itu hanya perkara kurang usaha.
Kurang semangat. Kurang gigih ketika menghadapi kesulitan. Kalau gagal,
mestinya dicoba lagi. Kalau masih gagal, harus tambah usaha. Tambah doa, tambah
kopi.
Tapi lama-lama saya mulai melihat realita—kegagalan tetap
setia menemani seperti bayangan sendiri. Afirmasi yang saya ucapkan setiap pagi
terasa seperti doa yang memantul dari dinding kosong. Ritual tanpa makna,
karena jauh di dalam, suara kecil terus berbisik: "Ini semua omong
kosong."
Ibu pernah berkata, "Kalau otak dan hati tak selaras,
ibarat mobil berjalan dengan roda yang tak sejajar."
Semenjak Sonia menyentil melalui komentarnya, dan teman saya
menyinggung soal perasaan istri pasca operasi, saya mulai sadar, selama ini
saya terlalu fokus di permukaan. Saya memaksa diri bangun pukul 4 pagi,
menghajar rasa malas dengan jadwal ketat, dan membayangkan diri seperti tentara
di kamp pelatihan—dengan teriakan instruktur dan hukuman push-up. Sementara hati
masih terlelap di balik selimut.
Beda ketika saya mencoba memahami Calculus. Sama sulitnya,
tapi saya lakukan dengan sukarela, tanpa ada paksaan. Saya menikmati prosesnya.
Lagi-lagi pikiran saya terseret mundur jauh ke masa lalu,
ketika saya berempat dengan teman tersesat di pelosok. Saat itu koneksi
internet masih buruk dan baru bisa diakses melalui komputer. Pada akhirnya, ketika
mendapati jalan yang semula memang lebih mirip kali kering berakhir di tempat
yang sepertinya jarang dilalui orang, sopir gusar dan berkata, “kita
tersesat!”,
Kejadian itu bermula ketika sopir berniat mengambil arah
tertentu di persilangan jalan, tapi dengan berbagai pertimbangan yang kami
anggap masuk akal, kami memilih arah lain. Begitu terulang sampai beberapa
kali.
Hari mulai gelap. Saat saya menyalakan lampu cabin untuk
mencari bekal minum, sekilas terlihat, raut muka sopir nampak letih dan
jengkel. Saya memutuskan mengambil alih kemudi. Saya tidak pernah membiarkan
orang yang lelah dan terganggu emosinya menjadi pemandu perjalanan.
Dengan penerangan lampu yang redup dan sedikit nekad, saya
mengemudikan mobil yang belum terlalu tua, menyusuri jalan berbatu dan gelap.
Keadaan menjadi semakin menegangkan ketika BBM hanya tersisa seperempat, sementara
saya belum tahu berada di mana.
Di jok tengah, dua teman yang mulai panik, bersama sopir
yang duduk di sebelah saya, berdoa berulang-ulang dan (niatnya) memberi
semangat, supaya saya yakin bisa ketemu jalan yang benar sebelum bensin habis.
Di saat kritis, menjelang emosi saya meledak, lantaran
berisik mendengar doa dan afirmasi yang diucapkan berulang kali, saya teringat
nasehat Ibu, kalau pengin berhasil, otak dan hati harus diselaraskan terlebih
dahulu.
Masalahnya, bagaimana cara membuat hati suka pada keadaan
yang kacau seperti ini?
Tiba-tiba saya teringat cerita tetangga mengenai serunya
offroad. Meskipun saat itu tidak gableg mobil, saya kemudian sering
berangan-angan, pengin offroad juga. Siapa sangka, mimpi saya di siang bolong
puluhan tahun lalu, terkabul, meskipun dalam kondisi beda jauh, antara CJ7 yang
dimodifikasi sesuai medan offroad dengan station wagon yang tenaganya ternyata
ngos ngosan.
Tapi mengeluh tidak menyelesaikan masalah. Terutama ketika
saya sadar, setir mobil ternyata oblak dan di luar mulai tercium bau kanvas
terbakar.
Saya hentikan mobil, lalu minta teman-teman berhenti berisik.
“Doa dan afirmasi kamu anggap berisik?”
“TUHAN TIDAK TULI. BERDOA CUKUP SEKALI SAJA!!!”
Bentakan saya membuat ketiganya langsung bungkam.
Setelah suasana menjadi tenang, saya tepuk ringan dashboard
di belakang setir sambil berkata, “Yuk kita pulang.” Saya injak pedal kopling,
lalu masuk gigi satu …….. Ketika pedal gas diinjak, mesin meraung keras, tapi
mobil hanya bergerak lambat.
Saya kurangi tekanan di pedal gas sambil bicara entah pada
siapa, “Jogja dekat, kita akan tiba sebelum tengah malam.”
Entah itu bisa dianggap sebagai afirmasi atau sekedar
menghibur diri (karena saya tahu, jarak menuju Jogja lebih dari 250km).
Sepanjang perjalanan menuju jalan raya, saya banyak bicara
pada mobil, seolah mobil itu kuda kesayangan yang bisa diajak ngobrol. Ketika
roda kanan depan terperosok, saya minta maaf sambil mengelus dashboard. Tidak
langsung memaksa roda keluar dari lubang, saya memilih memeriksa kondisi
lubang.
“Sepertinya mundur lebih gampang. Yuk, mundur dikit!”
Ternyata beneran gampang. Padahal posisi roda dan kondisi
lubang sempat membuat saya ragu. Lalu saya tepuk dasboard lagi sambil memuji,
“Good boy! Kamu luar biasa.”
Beberapa persimpangan sudah saya lalui. Tetap belum
ketahuan, apakah rute yang saya pilih benar atau keliru. Yang membuat sedikit
lega, meskipun masih berada di tempat sepi dan belum terlihat tanda bakal
ketemu permukiman, jalan yang kami lewati sudah lebih beradab.
Tapi, muncul masalah baru, bau kanvas terbakar tercium
semakin menyengat. Sementara lampu indikator BBM mulai berkedip.
Kembali saya tepuk-tepuk dashboard, sambil berkata, “Bertahan
sedikit lagi. Kita akan segera sampai di jalan raya, nanti kamu bisa
istirahat.”
Ternyata benar. Setelah berjalan beberapa belas menit dan
melewati dua tikungan, kami tiba di jalan aspal. Berasa keluar dari
dunia antah berantah yang sunyi, kembali ke peradaban. Dan seolah nagih janji,
mobil beneran minta istirahat. Mogok total.
Salah satu teman mengggerutu, “Lain kali jangan sembarangan
bicara.”
Saya tidak membantah, meskipun tidak percaya mogoknya mobil
ada kaitannya dengan omongan saya. Tapi dia punya pendapat lain, “Kadang kita asal
bicara sekedar buang suntuk, tapi alam semesta punya cara sendiri menanggapi
omongan kita.”
Apakah itu berarti obrolan saya dengan mobil di sepanjang
perjalanan juga mendapat respon dari alam semesta?
Sesuatu di kepala, tanpa diminta, menjawab, “Mungkin.”
Sepertinya, afirmasi dan doa hanya bekerja ketika kata-kata yang
diucapkan menyatu dengan perasaan. Seperti gula yang larut sempurna dalam teh.
Selama ini berulangkali saya berkata, "Ayo
berubah." Sementara pada saat bersamaan, bawah sadar diam-diam nyengir,
lantaran hati justru ragu. Dalam bahasa Ibu saya, otak dan hati tidak selaras.
Mengubah nasib ternyata bukan semata-mata kerja keras, tapi
sekaligus juga kerja batin. Saya harus mulai dari dalam, dari cara saya merasa,
memaknai, dan berhubungan dengan diri sendiri. Harus ada keselarasan antara
niat sadar dan sinyal batin yang lebih dalam.
Saya mulai menyadari pentingnya mendengar suara yang lebih
jernih dari dalam hati —yang kadang hanya muncul saat saya diam dan jujur pada
diri sendiri. Sementara jujur itu sendiri tidak selalu enak. Kadang berasa
seperti diguyur air es di pagi yang dingin.
Saya belum tahu bagaimana cara menyelaraskan semua ini
secara utuh. Tapi saya tahu, langkah pertama bukan di luar—bukan di buku
motivasi, bukan di seminar sukses. Langkah pertama harus dimulai dari dalam.
Barangkali, itu yang dulu ingin disampaikan Sonia. Dan mungkin, saya baru
benar-benar siap mendengarnya sekarang.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar