24 April 2023

Resiko Yang Terabaikan

 


Seorang senior yang hidup mapan pernah memberi nasihat pedas: "Masalah finansialmu hari ini adalah bayaran atas kesantaimu di masa lalu." Kalimat itu menggumpal di tenggorokan, sulit ditelan tapi terasa benar.

Saya pernah merasa hebat lantaran berani ninggal pekerjaan dengan penghasilan bagus di tempat jauh sana, memilih pulang ke Jogja, kembali wirausaha santai, dengan alasan yang bagi kebanyakan orang terasa konyol: Saya ingin punya lebih banyak waktu bersama keluarga (dan memang itu yang terjadi). Konsekuensinya, kehidupan finansial saya hanya sedikit di atas cukup. Senior saya menyebut itu sebagai kriminalitas terhadap masa depan diri sendiri.

Sekarang harus saya akui, menjadi lansia, apalagi dengan sejumlah gangguan kesehatan, butuh bekal finansial tidak sedikit. Untuk keperluan diet saja, menunya tidak murah. Memang ada BPJS, tapi mondar-mandir ke rumah-sakit juga harus keluar duit.

Anak saya hanya satu, sibuk menata hari depannya sendiri. Kalau setiap saat saya recoki untuk menemani ke rumah-sakit, sama saja saya mengacaukan rencana masa depannya. Ini bukan tentang bakti anak, tapi memang saya merasa perlu mikir sampai sejauh itu. Bagi saya, anak bukan tabungan hari depan.

Ketika badan terasa semplok di mana-mana, ngantri BPJS tanpa pendamping juga butuh kekuatan mental. Itu sebabnya, banyak teman-teman, yang sebelumnya selalu memuji BPJS, lantaran merasa terbantu saat mertua dan orang tua sakit, ketika dia sendiri mengalami masalah kesehatan, ogah menggunakan BPJS. Pernah ada teman yang terbiasa mendapat pelayanan VIP, saya tantang menggunakan BPJS saat sakit gigi. Ternyata menyerah ketika nomer antriannya masih jauh.

Saya tidak mengeluh, dan sama sekali tidak menyesali keadaan. Saya terima semua sebagai bagian dari perjalanan hidup. Kalaupun ada yang sedikit nampol, dan kadang membuat saya was-was, adalah  kesalahan saya mengabaikan resiko jangka panjang berkaitan dengan kesehatan. Karena menjadi lansia setelah melewati masalah kesehatan lumayan serius ternyata ngeri-ngeri sedap.

Masa depan memang harus direncanakan. Tidak salah bekerja keras, numpuk tabungan atau membangun passive income untuk mengamankan hari tua – bahkan menurut saya, seharusnya begitu. Asal tidak mengabaikan realita, bahwa hidup penuh kejutan. Keadaan selalu berubah. Terdapat lebih banyak resiko tersembunyi, ketimbang yang bisa diperhitungkan.

Kebanyakan orang hanya ingat untuk mempersiapkan bekal akherat, tapi lupa, ada banyak drama kehidupan bisa terjadi sebelum kematian datang menjemput. Tanpa cukup bekal mental, drama itu bisa menyebabkan saat-saat terakhir menjadi sangat tidak menyenangkan. Mending kalau hanya terjadi satu atau dua hari. Bagaimana seandainya saat-saat terakhir yang dramatis itu berlangsung lama? Bertahun-tahun?

Dulu, saya pikir tubuh ini adalah benteng tak terkalahkan. Rutin olahraga, rajin minum suplemen, tak pernah opname—seolah itu lisensi untuk menghabisi sepiring tongseng berlemak, dengan telor mata sapi dua butir, dan es kopi susu karamel setiap hari. "Self-love," kata saya sambil menyuap jeroan. Ternyata, itu lebih mirip bunuh diri pelan-pelan.

Tubuh manusia memang ajaib. Bisa diam selama bertahun-tahun menimbun kerusakan, lalu tiba-tiba menagih utang sekaligus dengan bunga yang mencekik. Sampai akhirnya hanya bisa dijelaskan menggunakan satu kata saja, “komplikasi”.

Bagi saya, kata itu lebih mirip peringatan terakhir, bahwa saya sudah melewati point of no return. Secara harfiah bisa diartikan, satu kaki di kuburan, satunya di ambang pintu rumah-sakit. Kesembuhan setelah itu, kalaupun ada, tidak lebih dari kesempatan kedua untuk berupaya agar perjalanan menyelesaikan sisa umur tidak tambah runyam, dan kelak bisa berakhir dengan baik.

Saya sempat gamang, tapi beruntung tidak bablas sampai patah semangat. Justru kemudian sadar resiko. Sekalipun secara medis sudah terlanjur kacau, tapi selagi masih bernafas, tidak ada kata terlambat untuk berusaha mendapatkan yang terbaik. Meskipun menurut senior saya, kondisi saya sekarang ibarat gedung yang dibangun di atas tanah jelek, dengan kualitas konstruksi buruk. Tidak ada lagi yang bisa diharapkan selain dibongkar.

Gedung bisa dibongkar, dibangun ulang. Sementara saya? Seandainya teknologi kedokteran mampu melakukan renovasi ulang, belum tentu fisik saya mampu menjalani prosesnya. Apalagi ternyata, teknologi kedokteran baru sebatas mampu mempertahankan kondisi pasien supaya tidak menjadi lebih buruk. Itupun sering gagal.

“Kalau ada duit, paling tidak akan membuat kondisimu lebih baik,”

Saya tidak bisa membantah argumennya. Cuma, kadang-kadang, hidup suka main ciluk ba. Muncul dari arah tidak terduga, membawa drama kecil, sambil berteriak, “KEJUTAAAANNNNN.”    

Kemarin sore, setelah beberapa bulan tidak jumpa, saya berkunjung ke rumah senior saya. Dia tinggal di rumah besar yang dijaga satpam pribadi. Di halaman samping yang luas berjejer mobil-mobil mewah. Kamar tidurnya sangat lega. Tapi, di atas ranjang yang elegan, dia hanya tergolek tanpa daya, dengan selang makan menembus hidung. Hanya tersisa tatapan mata dan genggaman tangan sebagai tanda dia masih mengenali saya.

Dalam perjalanan pulang, teman sesama survivor kesehatan berbisik, “Kita tidak gableg duit, entah apa jadinya kalau sampai seperti dia.”

Teman yang lain menjawab ringan, “Tidak akan terjadi. Tidak ada duit akan membuat kita mati duluan.”

Saya tidak tahu, mana yang lebih menakutkan, hidup berkelimpahan tapi tak berdaya di ranjang mewah, atau hidup pas-pasan dengan ancaman kehabisan napas sebelum waktunya. Mungkin bukan soal memilih mana yang lebih baik. Hidup bukan pilihan macam menu di restoran. Sering kali kita hanya punya sepiring kenyataan, dan harus mengunyah apa adanya.

Mulai hari ini saya belajar melihat ke belakang tanpa mengutuk masa lalu, dan menatap ke depan tanpa menggantungkan harapan kosong. Hidup bukan soal menang atau kalah, tapi bagaimana kita bertahan, belajar, dan tetap berusaha meski tahu akhir ceritanya tetap sama.

Saya tidak tahu berapa sisa umur saya. Tapi saya akan terus merawat tubuh yang sudah mulai rewel ini. Saya ingin terus belajar memahami hidup – bukan untuk jadi bijak, tapi supaya tidak terlalu bodoh lagi.

Tuhan tidak pernah menjanjikan hidup yang mudah. Tapi Dia memberi kesempatan agar kita bisa tetap tersenyum meski kaki terseok, dan tetap bersyukur meski isi dompet cekak.


HOME

Tidak ada komentar: