Sejak beberapa bulan lalu saya meluangkan sedikit waktu
untuk berusaha mengenali diri sendiri. Entah mengapa, saya merasa, kehidupan
yang seru ini sebagian disebabkan karena saya tidak mengenali hardware dan
software yang melengkapi hidup saya, sehingga saya cenderung asal-asalan dalam
“mengoperasikannya”.
Karena tidak tahu harus mulai dari mana, saya awali saja dengan
mengamati kondisi fisik yang gampang ngantuk, gampang lelah dan selalu pegel
sepanjang hari. Tanpa mengabaikan pengaruh dari kadar Trigliserida, Asam Urat
dan Kolesterol dalam darah yang di luar batas normal, saya merasa ada faktor
lain yang ikut berperan.
Secara gampang saya bisa menunjuk faktor psikologis. Tapi
bagian mana? Saya sempat menduga, mungkin akibat pikiran yang semrawut. Tapi
sepertinya ada yang lebih spesifik.
Setelah perenungan yang panjang, akhirnya saya nemu
biangnya: Saya sering merasa kuwatir tanpa alasan jelas, terhadap ketidak
pastian, terhadap kemungkinan-kemungkinan buruk, terhadap resiko gagal.
Rasa kuwatir selalu datang tanpa permisi. Merayap dalam
senyap, lalu membisikkan pertanyaan-pertanyaan yang sulit dijawab dengan pasti:
Apa yang akan terjadi nanti? Apakah aku cukup baik? Apakah orang-orang akan
kecewa? Bagaimana jika semuanya berjalan salah?
Pertanyaan yang sekilas terasa sepele itu ternyata punya
kekuatan luar biasa. Bahkan kalau tidak ditangani secara benar, bisa
mengacaukan segalanya – termasuk aktifitas di dalam tubuh.
Lalu bagaimana cara mengatasinya?
Awalnya saya sempat melawan. Tapi tubuh punya mekanisme
pertahanan diri yang kuat terhadap segala bentuk perlawanan, dan justru membuat
keadaan menjadi semakin runyam dan menguras energi.
Sebenarnya rasa kuwatir tidak sepenuhnya buruk. Pada
dasarnya merupakan alarm alami yang berfungsi sebagai peringatan bahwa ada
resiko yang perlu diperhitungkan. Rasa kuwatir terhadap kesehatan mendorong
saya untuk lebih perduli pada tubuh. Rasa kuwatir terhadap hubungan sosial
membuat saya lebih peka terhadap perasaan orang lain.
Masalah muncul bukan dari rasa kuwatir itu sendiri,
melainkan dari cara saya menanggapi. Ketika saya membiarkan rasa kuwatir
menguasai pikiran, saat itulah kuwatir berubah dari penasehat menjadi penyandera.
Melawan hanya akan membuat penyandera menjadi lebih agresif.
Maka saya memutuskan untuk berdamai. Menganggap rasa kuwatir bukan sebagai
musuh, melainkan sebagai bagian dari perjalanan yang perlu didengar, bukan
ditakuti.
Ketika otak mulai menyuarakan keraguan, saya berhenti
sejenak untuk mengamati keadaan “saat ini”, lalu bertanya pada diri sendiri, apakah
yang saya kuwatirkan itu sudah mulai terjadi, atau baru kemungkinan yang akan
terjadi ketika saya mengambil langkah tertentu? Cara ini membantu saya
membedakan antara ancaman yang nyata dan ilusi yang diciptakan oleh pikiran.
Ternyata saya pernah membuktikan bahwa rasa khawatir bisa
ditangani dengan cara yang sehat.
Pandemi COVID-19 awalnya tidak sekadar membuat saya
khawatir, tapi benar-benar menjerumuskan ke dalam ketakutan. Media sosial
menyajikan berita menakutkan: orang ambruk tiba-tiba di jalan. Video Youtube
menayangkan mayat-mayat tergeletak di mana-mana. Sementara pemerintah menetapkan
13 April 2020 sebagai hari bencana nonalam nasional.
Takut dan bingung mendorong otak saya membuat analisa
sendiri, “kalau begini caranya, kita tidak mati akibat virus, tapi mati karena
ketakutan.”
Di tengah rasa putus asa, sebuah kalimat dari film action
yang sedang saya tonton menyentak kesadaran: “I won’t give up without a
fight.” Entah kenapa, kalimat itu memantik sejumput semangat. Bukan untuk
melawan pemerintah, apalagi virus covid, tapi melawan keadaan yang nyaris membuat
saya menyerah.
Saya mulai mencari informasi yang lebih masuk akal. Dari
berbagai penjelasan, suara Moh. Indro Cahyono terasa menenangkan. Saya tidak
perduli meskipun banyak yang menganggap dia “hanya” dokter hewan yang sok-sokan
membahas penyakit manusia. Selain dia memang virolog, penjelasannya tentang
virus covid sangat detail, gamblang dan mudah dipahami. Itu lebih dari cukup
untuk membuat saya lebih waras dalam menghadapi situasi.
Juni 2021 saya mengalami demam. Orang yang sehari sebelumnya
bersama saya, juga mengalami gejala sama, dan langsung masuk karantina. Saya
memilih karantina mandiri. Mengisolasi diri dari siapapun, termasuk anak dan istri.
Saya tidur di kamar belakang yang terpisah dari rumah utama.
Demam tinggi, mual, sulit menelan, bahkan saat sulit
bernafas, saya jalani sendiri. Makan dan minum diletakkan jauh dari kamar,
saya ambil sendiri, tidak perduli badan menggigil. Satu-satunya obat yang saya
minum hanya paracetamol. Itupan saya batasi hanya 4 butir – karena saya tahu
efek sampingnya terhadap ginjal.
Sekitar 2 minggu saya berjuang sendiri hanya dengan bekal
keyakinan, imun tubuh saya akan mampu mengatasi. Bukan tanpa resiko, tapi
keputusan itu membuat saya sadar satu hal: kuwatir tidak perlu dilawan dengan
pertempuran, melainkan dihadapi dengan pemahaman, keberanian, dan kesediaan
untuk berdamai.
Hidup tak akan pernah lepas dari ketidakpastian. Tapi menurut
saya, justru di situlah serunya. Selama kita mau belajar berdamai dengan rasa kuwatir,
kita bisa tetap melangkah, meski hati kadang masih ragu.
HOME