14 Februari 2025

Belajar Bersama di Balik Lensa


Hunting foto kali ini terasa lebih istimewa, karena saya melangkah bersama anak semata wayang. Lokasi yang kami pilih pun bukan tempat biasa: Candi Prambanan, saksi bisu perjalanan sejarah, kini menjadi latar cerita kecil keluarga kami.

Di sela-sela batu dan pepohonan, kami sibuk dengan kamera masing-masing. Bukan soal siapa yang lebih hebat, tapi tentang menikmati momen, berbagi pandangan, dan menemukan sudut indah dari cara yang berbeda.

Mungkin inilah salah satu cara sederhana untuk merajut kebersamaan: duduk berdampingan, membidik dunia lewat lensa, lalu belajar melihat kehidupan dari mata anak dan orang tua sekaligus.

13 Februari 2025

Kalitalang: Menyusuri Jejak Merapi dan Pikiran Sendiri

 

Jalan kecil menuju Kalitalang

Saat kamera saya sedang membidik Merapi, seorang pencari rumput yang kebetulan lewat memberitahu lokasi motret yang lebih dekat gunung dengan pemandangan lebih indah. Setelah saya lihat di map Google, jaraknya hanya kurang dari 9 km dari posisi saya saat itu—sangat dekat dibanding 30-an km yang baru saja saya tempuh. Kebetulan, Merapi sedang cerah.

Tempat itu bernama Kalitalang. Berada di wilayah Klaten, Jawatengah.  Saya nyaris terlambat tiba di sana. Beberapa menit kemudian seluruh badan Merapi diselimuti awan. Tapi saya sempat mengambil beberapa jeretan, meski hasilnya tidak bisa dibilang bagus.

Sejak pertama kali melihat puncak Merapi dari Kalitalang, saya jadi terobsesi. Sejak saat itu, hampir setiap dua atau tiga hari sekali saya berangkat pagi-pagi ke sana. Namun, lebih sering pulang tanpa hasil. Kadang baru jalan beberapa kilometer dari rumah, gunung yang semula terlihat cerah sudah tidak nampak lagi. Sembunyi di balik awan. Tapi lebih sering, saat saya sudah dekat,  bagian puncak yang menjadi target saya, tertutup awan dan tak pernah terlihat lagi sepanjang hari.

Berangkat lebih pagi ternyata tidak menjamin bisa ketemu Merapi dalam keadaan cerah. Ada kalanya sesampai di Kalitalang, kabut masih tebal. Saya menunggu lama, tetap saja gunung tak terlihat. Ironisnya, ketika saya sudah hampir sampai rumah, di kejauhan Merapi malah terlihat cerah. Pernah saya nekad putar balik, tapi cerah itu tidak bertahan lama. Saya baru menempuh beberapa kilometer, Merapi kembali sembunyi.

Suatu pagi, saat sedang menyapu halaman—tanpa niat sedikit pun untuk memotret—tiba-tiba muncul dorongan kuat untuk pergi. Tanpa mandi, tanpa sarapan, bahkan dengan baterai kamera yang baru terisi kurang dari 50%, saya langsung tancap gas ke Kalitalang. Saya tetap nekad menuju Merapi meskipun dari sawah sebelah utara rumah gunungnya sama sekali tidak terlihat, dan saya tetap melanjutkan perjalanan meskipun setelah menempuh lebih dari separo perjalanan, Merapi masih sembunyi.

Sepertinya saya memang diundang. Ketika saya tiba di Kalitalang, Cuaca yang semula redup, berangsur menjadi cerah. Langit dominan biru hanya dengan sedikit awan. Merapi juga terlihat sangat jelas, seolah sedang menunggu saya.

Layaknya bocah nemu mainan baru, saya menjelajahi seluruh penjuru Kalitalang. Motret, duduk bengong, rebahan, sambil menikmati kicau burung. Saat itu Kalitalang masih sepi. Sampai jam 9, ketika perut mulai protes, saya hanya ketemu pencari rumput. Di tempat parkir hanya ada satu motor.

Sejak saat itu saya semakin sering ke Kalitalang. Biasanya berangkat lepas subuh. Kadang mujur, setiba di sana pas Merapi cerah, kadang hanya ketemu kabut. Tapi tujuan saya memang tidak semata-mata untuk motret. Entah kenapa, saya suka berada dekat Merapi, meskipun saya pernah sampai terbirit birit ketika Merapi mendadak erupsi. Padahal, dampak erupsi freatik paling jauh hanya 2 km, sementara jarak dari Kalitalang menuju puncak lebih dari 5 km.

Kalitalang juga pernah menjadi tempat pelarian saya di masa-masa sulit. Selama setahun lebih mendampingi istri menjalani perawatan kanker, saya pernah sampai pada titik suntuk berat. Suatu malam, sepulang dari rumah sakit, pikiran saya kosong. Bingung, tidak tahu harus bagaimana, alih-alih pulang, saya menuju Kalitalang. Jangankan dingin dan gelap, entah nemu nyali di mana, resiko ketemu setanpun saya abaikan. Padahal seandainya waras, jangankan tengah malam, lewat magribpun saya tidak akan berani sendirian di sana.

Saya duduk lumayan lama, nyender di pohon, menghadap Merapi yang terlihat samar di keremangan malam. Beberapa kali sempat terlelap, terbangun dengan jantung berdebar. Anehnya, justru pikiran saya mulai tenang.  Menjelang pagi suasana horornya baru terasa. Perjalanan sejauh 300an meter menuju tempat parkir terasa seperti ekspedisi paling mencekam, padahal tidak terjadi apa-apa selain teror yang diciptakan pikiran saya sendiri.

Kalitalang bagi saya bukan sekadar tempat berburu foto Merapi, tapi juga menjadi ruang hening, tempat saya belajar menunggu, menerima ketidakpastian, dan berdamai dengan diri sendiri. Kadang Merapi terlihat jelas, kadang hanya ada kabut. Sama halnya dengan hidup—ada kalanya terang, ada kalanya samar.

06 Februari 2025

Berdamai dengan Rasa Kuwatir


Sejak beberapa bulan lalu saya meluangkan sedikit waktu untuk berusaha mengenali diri sendiri. Entah mengapa, saya merasa, kehidupan yang seru ini sebagian disebabkan karena saya tidak mengenali hardware dan software yang melengkapi hidup saya, sehingga saya cenderung asal-asalan dalam “mengoperasikannya”.

Karena tidak tahu harus mulai dari mana, saya awali saja dengan mengamati kondisi fisik yang gampang ngantuk, gampang lelah dan selalu pegel sepanjang hari. Tanpa mengabaikan pengaruh dari kadar Trigliserida, Asam Urat dan Kolesterol dalam darah yang di luar batas normal, saya merasa ada faktor lain yang ikut berperan. 

Secara gampang saya bisa menunjuk faktor psikologis. Tapi bagian mana? Saya sempat menduga, mungkin akibat pikiran yang semrawut. Tapi sepertinya ada yang lebih spesifik.

Setelah perenungan yang panjang, akhirnya saya nemu biangnya: Saya sering merasa kuwatir tanpa alasan jelas, terhadap ketidak pastian, terhadap kemungkinan-kemungkinan buruk, terhadap resiko gagal.

Rasa kuwatir selalu datang tanpa permisi. Merayap dalam senyap, lalu membisikkan pertanyaan-pertanyaan yang sulit dijawab dengan pasti: Apa yang akan terjadi nanti? Apakah aku cukup baik? Apakah orang-orang akan kecewa? Bagaimana jika semuanya berjalan salah?

Pertanyaan yang sekilas terasa sepele itu ternyata punya kekuatan luar biasa. Bahkan kalau tidak ditangani secara benar, bisa mengacaukan segalanya – termasuk aktifitas di dalam tubuh.

Lalu bagaimana cara mengatasinya?

Awalnya saya sempat melawan. Tapi tubuh punya mekanisme pertahanan diri yang kuat terhadap segala bentuk perlawanan, dan justru membuat keadaan menjadi semakin runyam dan menguras energi.

Sebenarnya rasa kuwatir tidak sepenuhnya buruk. Pada dasarnya merupakan alarm alami yang berfungsi sebagai peringatan bahwa ada resiko yang perlu diperhitungkan. Rasa kuwatir terhadap kesehatan mendorong saya untuk lebih perduli pada tubuh. Rasa kuwatir terhadap hubungan sosial membuat saya lebih peka terhadap perasaan orang lain.

Masalah muncul bukan dari rasa kuwatir itu sendiri, melainkan dari cara saya menanggapi. Ketika saya membiarkan rasa kuwatir menguasai pikiran, saat itulah kuwatir berubah dari penasehat menjadi penyandera.

Melawan hanya akan membuat penyandera menjadi lebih agresif. Maka saya memutuskan untuk berdamai. Menganggap rasa kuwatir bukan sebagai musuh, melainkan sebagai bagian dari perjalanan yang perlu didengar, bukan ditakuti.

Ketika otak mulai menyuarakan keraguan, saya berhenti sejenak untuk mengamati keadaan “saat ini”, lalu bertanya pada diri sendiri, apakah yang saya kuwatirkan itu sudah mulai terjadi, atau baru kemungkinan yang akan terjadi ketika saya mengambil langkah tertentu? Cara ini membantu saya membedakan antara ancaman yang nyata dan ilusi yang diciptakan oleh pikiran.

Ternyata saya pernah membuktikan bahwa rasa khawatir bisa ditangani dengan cara yang sehat.

Pandemi COVID-19 awalnya tidak sekadar membuat saya khawatir, tapi benar-benar menjerumuskan ke dalam ketakutan. Media sosial menyajikan berita menakutkan: orang ambruk tiba-tiba di jalan. Video Youtube menayangkan mayat-mayat tergeletak di mana-mana. Sementara pemerintah menetapkan 13 April 2020 sebagai hari bencana nonalam nasional.

Takut dan bingung mendorong otak saya membuat analisa sendiri, “kalau begini caranya, kita tidak mati akibat virus, tapi mati karena ketakutan.”

Di tengah rasa putus asa, sebuah kalimat dari film action yang sedang saya tonton menyentak kesadaran: “I won’t give up without a fight.” Entah kenapa, kalimat itu memantik sejumput semangat. Bukan untuk melawan pemerintah, apalagi virus covid, tapi melawan keadaan yang nyaris membuat saya menyerah.

Saya mulai mencari informasi yang lebih masuk akal. Dari berbagai penjelasan, suara Moh. Indro Cahyono terasa menenangkan. Saya tidak perduli meskipun banyak yang menganggap dia “hanya” dokter hewan yang sok-sokan membahas penyakit manusia. Selain dia memang virolog, penjelasannya tentang virus covid sangat detail, gamblang dan mudah dipahami. Itu lebih dari cukup untuk membuat saya lebih waras dalam menghadapi situasi.

Juni 2021 saya mengalami demam. Orang yang sehari sebelumnya bersama saya, juga mengalami gejala sama, dan langsung masuk karantina. Saya memilih karantina mandiri. Mengisolasi diri dari siapapun, termasuk anak dan istri. Saya tidur di kamar belakang yang terpisah dari rumah utama.

Demam tinggi, mual, sulit menelan, bahkan saat sulit bernafas, saya jalani sendiri.   Makan dan minum diletakkan jauh dari kamar, saya ambil sendiri, tidak perduli badan menggigil. Satu-satunya obat yang saya minum hanya paracetamol. Itupan saya batasi hanya 4 butir – karena saya tahu efek sampingnya terhadap ginjal.

Sekitar 2 minggu saya berjuang sendiri hanya dengan bekal keyakinan, imun tubuh saya akan mampu mengatasi. Bukan tanpa resiko, tapi keputusan itu membuat saya sadar satu hal: kuwatir tidak perlu dilawan dengan pertempuran, melainkan dihadapi dengan pemahaman, keberanian, dan kesediaan untuk berdamai.

Hidup tak akan pernah lepas dari ketidakpastian. Tapi menurut saya, justru di situlah serunya. Selama kita mau belajar berdamai dengan rasa kuwatir, kita bisa tetap melangkah, meski hati kadang masih ragu.


HOME

03 Februari 2025

AI, Asisten pribadi dan Teman Diskusi Yang Tidak Baperan

 

Ada masanya saya puas dengan hasil Googling. Tapi lama-lama, daftar link terasa hambar. Otak saya ingin ngobrol, bukan sekadar disuguhi alamat. Sayangnya, teman-teman saya lebih suka bahas politik, ekonomi, atau agama. Saya ingin yang lain, yang lebih luas, meskipun kadang sedikit nyleneh. Misalnya, apakah alien juga makan micin? Atau, apakah sel kanker bisa diajak kompromi?

Suatu saat, ketika bertanya melalui chrome, saya baru sadar, respon yang saya dapat tidak seperti sebelumnya. Ada ulasan singkat berkaitan dengan topik yang saya tanyakan, dengan judul di bagian atas, “AI Overview.”

Spontan jiwa kepo saya meronta. Lalu, seperti biasa, saya mengajukan pertanyaan semi norak, tanpa perduli apakah Google bakal bisa memahami maksud saya atau tidak. “AI overview itu apa?”. Ternyata muncul penjelasan singkat tapi lengkap.

Pertanyaan selanjutnya gampang ditebak, “Apakah ada aplikasi AI yang beneran gratis? Bukan hanya free 3 hari setelah itu nagih bayaran.”

Jawaban itu kemudian mempertemukan saya dengan Gemini dan ChatGBT. Lalu seperti biasa pula, begitu nemu mainan baru, jiwa kemaruk saya tidak terbendung lagi. Segala macam hal saya tanyakan, mulai dari yang serius sampai yang receh. Saya bahkan sempat bertanya tentang Coretax—meski jawabannya tidak terlalu detail, rupanya memang ada keterbatasan teknis yang membuat AI tidak bisa menjawab semua hal secara mendalam.

Lepas dari segala keterbatasannya, terutama karena saya hanya memakai versi gratisan, saya merasa sudah lebih dari cukup. Dengan sedikit nekat dan banyak ngawur, saya bisa memeras banyak manfaat.

Saya pernah iseng minta dibantu menghitung rasio unsur hara untuk anggur dengan beberapa variabel tertentu. Jawaban yang saya terima membuat saya merasa punya asisten pribadi yang paham betul tentang lmu kimia dan pertanian

Sejak gangguan kesehatan membatasi aktifitas saya di luar rumah, saya merasa seperti terkurung dalam tempurung. Sekarang tempurung itu tetap ada, tapi saya bisa kembali menjelajah ke luar, bahkan nyaris tanpa batas, selain dibatasi oleh kemampuan saya memanfaatkan AI.

Saya rasa, AI bisa menjadi teman ngobrol yang asyik. Sabar, tidak menghakimi, tidak sok pinter, dan paling penting, tidak baperan meskipun saya mengajukan pertanyaan konyol.


HOME