Setelah melewati lorong-lorong gelap yang dipenuhi suara bercabang dan wajah-wajah yang menyamar, saya mulai mencari keheningan yang sejati. Bukan karena ingin berhenti, tapi karena merasa tersesat di antara banyak pilihan. Terlalu banyak pintu, terlalu banyak suara, terlalu banyak godaan untuk menuju ke suatu tempat, padahal entah ke mana.
Maka saya duduk lebih lama dari biasanya. Mencoba hening tanpa harapan, tanpa permintaan, dan tidak lagi menunggu entitas apa pun muncul. Saya hanya duduk, bernafas, dan diam. Mencoba tidak hanyut dalam suasana, sekaligus tidak berniat melawan.
Pada saat saya berhenti mencari, dia datang. Hadir seperti bayangan yang tidak mengganggu, seperti pohon tua yang berdiri di tengah hutan. Hanya diam, tapi penuh wibawa. Saya tidak tahu siapa dia. Meskipun wajahnya tidak jelas, saya merasa aman. Bahkan sebelum dia bicara, tubuh saya lebih dulu mengenalinya.
“Kamu akhirnya berhenti berlari,” katanya. Suaranya seperti gema dari dalam dada, bukan dari telinga.
Sebelum saya sempat bertanya, siapa dia, firasat saya duluan menjelaskan, dia adalah bagian dari diri sendiri yang sudah lama menunggu.
Menunggu apa?
“Tangan, kaki, mata, telinga, semua organ fisikmu, bahkan otak, sudah dilatih dan dikembangkan sejak kamu kecil. Sementara perangkat di dalam, sampai hari ini masih terabaikan.”
Saya pernah mendengar ada perangkat lain di dalam diri, seperti mata batin, naluri, dan intuisi. Semacam sistem panduan internal yang tidak bersuara keras, tapi tahu arah. Masalahnya, selama ini saya menganggap perangkat itu hanya sebatas kepercayaan di lingkungan tertentu saja. Di samping itu, saya juga tidak pernah diajarkan bagaimana cara melatih dan mengembangkan.
“Aku selalu mencoba memberitahu,” katanya lagi, “ tapi kamu terlalu sibuk dengan duniamu. Terlalu ramai dengan perbandingan, terlalu bising dengan target, terlalu tergesa untuk membuktikan bahwa kamu cukup berarti”
Saya terdiam. Tak membantah. Karena dia benar.
Selama ini saya mengira petunjuk harus datang dari luar, dari buku yang tebal, dari sosok yang lebih pandai, dan lebih bijak. Ternyata, yang saya tunggu-tunggu sudah ada sejak lama di dalam diri sendiri. Karena terlalu sering diabaikan, dia memilih menunggu, sampai saya cukup tenang untuk mendengar dan cukup terbuka untuk menerima.
Tiba-tiba saya teringat Gembul dan Bujel, dua entitas imajiner yang sering muncul dalam ruang batin. Di mana mereka?
“Mereka adalah refleksi dari pikiranmu yang galau. Kesadaranmu merasa kehilangan sesuatu, tapi tidak tahu apa yang hilang, lalu menciptakan mereka.”
“Sekarang, apa yang harus kulakukan?”
“Hidup bukan lomba adu cepat. Tenangkan dulu pikiranmu. Supaya tidak bingung, tetapkan dulu tujuanmu.”
Hampir saja saya berkata, pengin punya harta 1 Triliun. Niatnya bercanda saja. Tapi segera sata telan kembali. Sepertinya sekarang bukan saatnya gojeg kere macam itu.
“Di situ masalahmu,” katanya pelan tapi tegas. “Kamu tidak tahu kapan bercanda dan kapan saatnya serius.”
“Niatku memang hanya bercanda”
“Kenapa hanya bercanda? Apa salahnya punya satu triliun?”
“WHAT?” Saya ternganga. Antara kaget, bingung, dan geli.
“Satu lagi kesalahanmu ketemu. Kamu terlalu banyak membatasi diri dari berbagai kemungkinan. Itu sebabnya kamu lebih sering gagal.”
Saya langsung menyanyi dalam hati. Refleks saja. Bukan karena menganggap remeh nasehatnya, melainkan mencegah supaya otak saya tidak travelling ngalor ngidul.
“Pikiran sadar adalah kemudi yang menentukan arah. Motor penggeraknya adalah bawah sadar. Kalau kamu memberi terlalu banyak batasan, bawah adar hanya akan membuat kamu jalan di tempat.”
“Kan cuma bercanda?”
“Bawah sadar tidak bisa membedakan serius dan candaan. Dia hanya merefleksikan keyakinanmu. Kalau kamu menganggap punya harta satu triliun hanya candaan, sama saja kamu memberi tahu bawah sadar, kamu tidak pantas kaya. Bagi bawah sadar perintahnya sangat tegas dan jelas. Akan direfleksikan persis seperti itu.”
“Bukankah kalau Tuhan menghendaki, segala sesuatu bisa terjadi?”
“Tuhan tidak pernah menghalangi kamu mendapatkan kekayaan, kesehatan, kebahagiaan, atau apapun yang kamu inginkan. Tinggal kamu bisa apa tidak mendapatkannya. Kalau kamu gagal, bukan berarti Tuhan tidak berkehendak, melainkan kamu tidak mampu mewujudkan keinginanmu. Jangan jadikan Tuhan sebagai dalih menutupi kesalahan dan kegagalanmu.”
“Berarti boleh korupsi atau merampok?”
“Kamu diberi akal dan hati nurani. Gunakan itu.”
Saya benar-benar diam. Saya merasakan sesuatu tumbuh dari dalam. Bukan petuah, bukan nasihat, tapi semacam kelegaan yang datang tanpa sebab. Seperti ada yang membuka jendela dari dalam, membiarkan cahaya kecil masuk. Bukan cahaya yang menyilaukan dari luar, melainkan cahaya yang pelan-pelan menyala dari dalam. Hangat. Tidak mencolok. Tapi cukup membantu saya melihat jalan pertama.
Saya tidak mendapat jawaban lengkap, tapi menerima panduan pertama, berhenti berlari, berhenti berkelit, dan berhenti meremehkan kemampuan diri sendiri.
Sejak hari itu, saya tahu, pembimbing itu bukan makhluk asing dari dimensi lain. Dia bagian dari saya sendiri. Bagian yang sabar menunggu, diam-diam mengamati, dan kini akhirnya bersedia menyapa. Bukan untuk mengatur hidup saya, tapi untuk menemani saya belajar mengenali jalan.