17 Juli 2023

Ketika Cahaya Tidak Lagi Datang dari Luar

Setelah melewati lorong-lorong gelap yang dipenuhi suara bercabang dan wajah-wajah yang menyamar, saya mulai mencari keheningan yang sejati. Bukan karena ingin berhenti, tapi karena merasa tersesat di antara banyak pilihan. Terlalu banyak pintu, terlalu banyak suara, terlalu banyak godaan untuk menuju ke suatu tempat, padahal entah ke mana.

Maka saya duduk lebih lama dari biasanya. Mencoba hening tanpa harapan, tanpa permintaan, dan tidak lagi menunggu entitas apa pun muncul. Saya hanya duduk, bernafas, dan diam. Mencoba tidak hanyut dalam suasana, sekaligus tidak berniat melawan.

Pada saat saya berhenti mencari, dia datang. Hadir seperti bayangan yang tidak mengganggu, seperti pohon tua yang berdiri di tengah hutan. Hanya diam, tapi penuh wibawa. Saya tidak tahu siapa dia. Meskipun wajahnya tidak jelas, saya merasa aman. Bahkan sebelum dia bicara, tubuh saya lebih dulu mengenalinya.

“Kamu akhirnya berhenti berlari,” katanya. Suaranya seperti gema dari dalam dada, bukan dari telinga. 

Sebelum saya sempat bertanya, siapa dia, firasat saya duluan menjelaskan, dia adalah bagian dari diri sendiri yang sudah lama menunggu.

Menunggu apa?

“Tangan, kaki, mata, telinga, semua organ fisikmu, bahkan otak, sudah dilatih dan dikembangkan sejak kamu kecil. Sementara perangkat di dalam, sampai hari ini masih terabaikan.”

Saya pernah mendengar ada perangkat lain di dalam diri, seperti mata batin, naluri, dan intuisi. Semacam sistem panduan internal yang tidak bersuara keras, tapi tahu arah. Masalahnya, selama ini saya menganggap perangkat itu hanya sebatas kepercayaan di lingkungan tertentu saja. Di samping itu, saya juga tidak pernah diajarkan bagaimana cara melatih dan mengembangkan.

“Aku selalu mencoba memberitahu,” katanya lagi, “ tapi kamu terlalu sibuk dengan duniamu. Terlalu ramai dengan perbandingan, terlalu bising dengan target, terlalu tergesa untuk membuktikan bahwa kamu cukup berarti”

Saya terdiam. Tak membantah. Karena dia benar.

Selama ini saya mengira petunjuk harus datang dari luar, dari buku yang tebal, dari sosok yang lebih pandai, dan lebih bijak. Ternyata, yang saya tunggu-tunggu sudah ada sejak lama di dalam diri sendiri. Karena terlalu sering diabaikan, dia memilih menunggu, sampai saya cukup tenang untuk mendengar dan cukup terbuka untuk menerima.

Tiba-tiba saya teringat Gembul dan Bujel, dua entitas imajiner yang sering muncul dalam ruang batin. Di mana mereka?

“Mereka adalah refleksi dari pikiranmu yang galau. Kesadaranmu merasa kehilangan sesuatu, tapi tidak tahu apa yang hilang, lalu menciptakan mereka.” 

“Sekarang, apa yang harus kulakukan?”

“Hidup bukan lomba adu cepat. Tenangkan dulu pikiranmu. Supaya tidak bingung, tetapkan dulu tujuanmu.”

Hampir saja saya berkata, pengin punya harta 1 Triliun. Niatnya bercanda saja. Tapi segera sata telan kembali. Sepertinya sekarang bukan saatnya gojeg kere macam itu.

“Di situ masalahmu,” katanya pelan tapi tegas. “Kamu tidak tahu kapan bercanda dan kapan saatnya serius.”

“Niatku memang hanya bercanda”

“Kenapa hanya bercanda? Apa salahnya punya satu triliun?”

“WHAT?” Saya ternganga. Antara kaget, bingung, dan geli.

“Satu lagi kesalahanmu ketemu. Kamu terlalu banyak membatasi diri dari berbagai kemungkinan. Itu sebabnya kamu lebih sering gagal.”  

Saya langsung menyanyi dalam hati. Refleks saja. Bukan karena menganggap remeh nasehatnya, melainkan mencegah supaya otak saya tidak travelling ngalor ngidul. 

“Pikiran sadar adalah kemudi yang menentukan arah. Motor penggeraknya adalah bawah sadar. Kalau kamu memberi terlalu banyak batasan, bawah adar hanya akan membuat kamu jalan di tempat.”

“Kan cuma bercanda?”

“Bawah sadar tidak bisa membedakan serius dan candaan. Dia hanya merefleksikan keyakinanmu. Kalau kamu menganggap punya harta satu triliun hanya candaan, sama saja kamu memberi tahu bawah sadar, kamu tidak pantas kaya. Bagi bawah sadar perintahnya sangat tegas dan jelas. Akan direfleksikan persis seperti itu.”

“Bukankah kalau Tuhan menghendaki, segala sesuatu bisa terjadi?”

“Tuhan tidak pernah menghalangi kamu mendapatkan kekayaan,  kesehatan, kebahagiaan, atau apapun yang kamu inginkan. Tinggal kamu bisa apa tidak mendapatkannya. Kalau kamu gagal, bukan berarti Tuhan tidak berkehendak, melainkan kamu tidak mampu mewujudkan keinginanmu. Jangan jadikan Tuhan sebagai dalih menutupi kesalahan dan kegagalanmu.”

“Berarti boleh korupsi atau merampok?”

“Kamu diberi akal dan hati nurani. Gunakan itu.”

Saya benar-benar diam. Saya merasakan sesuatu tumbuh dari dalam. Bukan petuah, bukan nasihat, tapi semacam kelegaan yang datang tanpa sebab. Seperti ada yang membuka jendela dari dalam, membiarkan cahaya kecil masuk. Bukan cahaya yang menyilaukan dari luar, melainkan cahaya yang pelan-pelan menyala dari dalam. Hangat. Tidak mencolok. Tapi cukup membantu saya melihat jalan pertama.

Saya tidak mendapat jawaban lengkap, tapi menerima panduan pertama, berhenti berlari, berhenti berkelit, dan berhenti meremehkan kemampuan diri sendiri.

Sejak hari itu, saya tahu, pembimbing itu bukan makhluk asing dari dimensi lain. Dia bagian dari saya sendiri. Bagian yang sabar menunggu, diam-diam mengamati, dan kini akhirnya bersedia menyapa. Bukan untuk mengatur hidup saya, tapi untuk menemani saya belajar mengenali jalan.



12 Juli 2023

Suara-Suara yang Membelokkan

 Setelah perjumpaan pertama, saya merasa lega. Seperti telah melewati ujian awal dan selamat. Tapi rupanya, itu baru pembukaan. Gelombang sesungguhnya justru datang setelah saya merasa aman.

Perjalanan ke dalam diri tidak selalu dipenuhi bisikan bijak atau pelukan batin yang menyembuhkan. Ada juga masa-masa ketika suara-suara muncul bukan untuk menguatkan, tapi untuk membelokkan arah. Mereka tidak menakutkan. Justru sebaliknya — mereka manis, cerdas, dan sangat meyakinkan.

Saya menyebut mereka sebagai “penyamar.” Mereka tampil dengan wajah teduh dan nada suara menenangkan. Ada yang seperti guru spiritual. Ada yang menyerupai sahabat lama. Bahkan ada yang mirip saya versi yang lebih percaya diri, dan lebih sukses.

“Sudah cukup jauh kau masuk ke dalam,” kata salah satunya, sambil tersenyum. “Sekarang waktunya kembali. Dunia luar menunggu. Bukankah semua ini hanya ilusi?”

Saya sempat terpikat. Benar juga, pikirku. Untuk apa terlalu dalam menyelami luka lama? Mengapa tidak kembali ke dunia nyata dan melanjutkan hidup seperti biasa? Masih banyak pekerjaan yang menunggu untuk diselesaikan.

Tapi semakin saya menurut, sepertinya malah membawa saya semakin jauh melenceng. Hari-hari berlalu penuh kesibukan, tapi seperti sebelumnya, serasa berjalan tanpa arah, seperti menanam benih di tanah gersang.

Lalu malam itu, dalam keheningan yang kupaksakan, saya kembali mendengar suara.

Tapi kali ini bukan lembut, melainkan tajam, penuh cemoohan.

“Apa gunanya semua ini? Kamu pikir dengan duduk diam dan mengamati dirimu sendiri, hidupmu akan berubah?”

“Lihat sekelilingmu. Tidak ada yang peduli. Kamu hanya membuang waktu.”

Suara itu tidak datang dari satu sosok. Dia seperti gema dari tempat yang gelap. Ketika saya mencoba menenangkan diri, suara itu semakin lantang, seperti badai yang menyapu semua keyakinan yang sempat saya bangun.

Dan di sanalah saya menyadari, tidak semua suara yang muncul dari dalam adalah kebenaran.

Firasat saya berkata, sebagian dari mereka adalah ego yang menyamar. Ego yang merasa terusik karena dinding-dinding pertahanannya mulai runtuh. Ego yang terbiasa mengendalikan hidup dari balik layar, kini merasa terancam karena saya mulai melihatnya secara langsung.

Sebagian lagi adalah ketakutan lama yang menyamar sebagai kebijaksanaan. Dia tahu, kalau datang sebagai rasa takut, saya akan melawan. Maka dia menyamar sebagai logika, sebagai nasihat praktis. Tapi motifnya tetap sama: menarik mundur, menjauh dari jalan yang sebenarnya.

Dan ada pula suara yang lebih berbahaya, berupa tipuan yang membelai.

Suara yang berkata, “Kamu sudah lebih dalam dari yang lain. Kamu sudah tercerahkan. Kamu istimewa.”

Suara ini berbahaya karena ia memanjakan. Membuat saya merasa unggul, lebih tahu, bahkan merasa lebih suci. Padahal sebenarnya hanya membangkitkan sisi paling tua dari ego, yaitu keinginan untuk diakui.

Saya nyaris terjebak. Sukurlah, sesuatu di dalam diri - mungkin suara yang paling jujur, berbisik lirih: “Berhenti. Dengarkan. Rasakan dengan jujur.”

Saya duduk diam. Kali ini tanpa mencari pencerahan, tanpa menunggu bisikan. Saya hanya diam. Dan perlahan, semua suara itu mulai pudar. Seperti topeng kertas yang luntur oleh guyuran air hujan.

Hanya tersisa sunyi. Tapi di dalam sunyi itu, saya menemukan kembali jalan yang semestinya.

Perjalanan ke dalam diri bukan hanya tentang menemukan cahaya. Sekaligus juga mengenali cahaya palsu. Membedakan suara jiwa dari gema kebiasaan lama. Kadang suara yang paling keras bukan yang paling benar. Justru yang lembut dan nyaris tak terdengar, itulah yang paling jujur.

Dan ujian sejati dari perjalanan ini bukan hanya berani masuk ke dalam, tapi berani memilah mana yang patut didengar, dan mana yang harus dilepas.

Karena tidak semua yang datang untuk menyapa, layak kita peluk. Ada suara yang cukup kita senyumi, lalu biarkan berlalu.


03 Juli 2023

Perjumpaan Pertama – Wajah-Wajah yang Datang dalam Diam


Malam itu saya duduk terdiam seperti biasa, memandangi gelap dari balik jendela. Tidak ada angin, tidak ada suara. Bahkan waktu pun seperti ikut membeku. Lalu tanpa aba-aba, sesuatu berubah.

Bukan pada dunia di luar, tapi di dalam. Ruang dalam batinku terasa melonggar, seperti ada dinding yang ditarik mundur perlahan, membuka celah menuju ruang lain yang lebih dalam, lebih sunyi, dan lebih aneh.

Saya tidak sedang bermimpi, tapi juga tidak sepenuhnya terjaga.

Bayangan-bayangan mulai bermunculan. Mereka tidak datang serentak, tapi satu per satu, seperti parade yang tidak terjadwal. Seperti ingatan yang membuka album lama.

Yang pertama datang adalah anak kecil. Tampak lusuh, duduk memeluk lutut di sudut ruangan yang tidak kukenal. Penampakannya mirip seperti saya dulu, kurus, dengan mata cekung. Cukup lama saya mengamati, sampai akhirnya saya sadar, itu saya, yang pernah merasa dilupakan, yang pernah menangis diam-diam di balik pintu, takut dianggap lemah, takut tak diinginkan.

Saya mencoba mendekat, tapi dia menggeleng pelan. Seolah berkata: “Aku belum siap kau ajak bicara. Tapi aku ada di sini.”

Tak lama setelah itu, muncul sosok tinggi dengan mata merah. Tidak berbicara, hanya berdiri tegak dengan tatapan mengintimidasi. Jantung saya berdetak lebih cepat. Saya tahu, semua yang muncul bukan berasal dari luar, melainkan bagian dari diri sendiri. Tapi siapa dia? Mengapa ada makhluk macam itu dalam diri saya? 

Dari sorot matanya, saya mulai menebak, barangkali dia adalah perwujudan dari amarah yang terpendam selama bertahun-tahun. Amarah yang tidak pernah tersalurkan, yang hanya bisa meledak dalam mimpi buruk atau keluhan kecil yang tak terdengar oleh siapapun.

“Kenapa kamu diam saja waktu itu?” suaranya dalam dan pelan.

Pertanyaan itu menghantam seperti palu. Sesaat saya terdiam. Saya tidak mau gegabah memberi reaksi. Di sini saya berhadapan dengan diri sendiri, apapun yang terjadi, secara langsung atau tidak, bakal berdampak terhadap diri sendiri pula. 

“Aku tidak tahu bagian mana yang kamu maksud, tapi baiklah, aku mengaku, sering ingin melawan, tapi memilih menahan.”

Pengakuan itu membuat sorot matanyamenjadi lebih ramah. 

Sepertinya, akan ada banyak pengakuan yang harus saya lakukan.

Satu demi satu sosok lain mulai bermunculan. Ada yang datang seperti bayangan cepat — lewat dan hilang begitu saja. Ada yang menatapku dengan wajah bijak, seperti guru dari masa lampau. Ada pula yang menampakkan wajah manis, hanya untuk berbisik halus: “Kau tidak akan pernah cukup.” Sosok ini menyebalkan. Saya tahu, ini suara keraguan dan rasa tidak percaya diri yang diam-diam masih bercokol di sela-sela keberanian.

Dan puncaknya, datang rombongan entitas tanpa wajah. Mereka muncul berbaris, saling bertumpuk, tubuh mereka kabur, tanpa bentuk yang jelas. Tapi energi mereka kuat, seperti badai. Mereka tidak bicara satu per satu — mereka bicara bersamaan.

“Kami adalah pikiran-pikiran yang tidak pernah kamu selesaikan. Ketakutan yang kamu bungkam. Impian yang kamu kubur hidup-hidup. Kamu berani datang ke sini, maka inilah kami, realita yang juga harus kamu temui.”

Saya merasa seperti sedang dikeroyok, bukan dengan pukulan, tapi dengan bayangan dan gema. Saya gemeteran, tapi berusaha tidak lari. Kalaupun lari, mau kemana? Disamping itu, firasat saya berkata, saya tidak sedang diserang. Mereka hanya menyapa.

Perjumpaan ini bukan hukuman dari masa lalu, melainkan undangan untuk berdamai. Karena perdamaian tak akan terjadi tanpa pertemuan, dan pertemuan tidak akan terwujud jika saya terus membisu.

Jadi malam itu, untuk pertama kalinya, saya berkata dalam hati, “Aku mendengar. Mungkin aku belum bisa memeluk kalian satu per satu. Tapi aku tidak akan lari lagi.”

Dan tiba-tiba, ruangan dalam itu mulai meredup. Entitas-entitas itu satu persatu mulai memudar,  seperti kabut pagi yang ditelan cahaya. Hanya tinggal saya sendiri, duduk dalam diam, dengan napas pelan dan jantung kembali tenang.

Tapi sepertinya sesuatu telah berubah. Dunia di dalam diri saya bukan lagi hutan gelap yang menakutkan. Lebih mirip gua tua tempat menyimpan kebenaran yang lama terlupakan.

Perjumpaan pertama baru saja terjadi, dan saya tahu, mereka akan datang lagi, mungkin dengan pesan berbeda. Apapun wajah yang akan mereka tunjukkan, sekarang saya punya keberanian untuk menyapa satu per satu.