01 Mei 2023

50 Hitungan Menyambut Pagi


Pagi adalah batas antara mimpi dan kesadaran. Di situlah, dalam ruang transisi yang rapuh, kita berdiri di ambang hari baru. Tapi sering kali, kita melompat terburu-buru ke dalam aktivitas tanpa memberi kesempatan pada diri sendiri untuk benar-benar bangun.

Dulu, saya mengira bangun tidur itu ya bangun saja. Buka mata, duduk, berdiri, jalan. Tapi ternyata tubuh dan pikiran tidak selalu bangun bersamaan. Ada kalanya mata sudah terbuka, tapi jiwa masih tertinggal di mimpi semalam.

Suatu saat dokter memberi saran, sederhana namun mendalam: jangan langsung bangkit dari kasur. Hitung sampai lima puluh. Biarkan tubuh dan pikiran beradaptasi secara perlahan. Dan yang lebih penting, jaga pikiran tetap tenang. Jangan bereaksi terhadap apa pun yang muncul di kepala.

Awalnya, saran itu terasa absurd. Lima puluh hitungan itu lumayan lama. Cukup untuk membuat saya ngantuk lagi. Sementara di dalam kepala langsung terjadi keributan. Otak riuh seperti pasar pagi. Gaduh, sibuk, dan penuh suara-suara tak diundang. Ada yang menawarkan cemas, ada yang membawa takut, ada pula yang menyeret-nyeret masa lalu sambil menunjuk-nunjuk masa depan.

Bukankah waktu pagi begitu berharga? Kenapa harus dihabiskan untuk diam dan menghitung?

Kadang saya berhasil menghitung sampai lima puluh. Kadang baru sampai dua belas sudah lupa arah, [L1] atau malah ketiduran lagi. Tapi, justru karena sering gagal, saya jadi tahu bahwa pagi adalah waktu yang paling jujur. Saya bisa melihat, siapa yang pertama kali menyambut: rasa syukur atau takut? Rasa damai atau daftar pekerjaan yang belum selesai?

Apa yang pertama kali saya pikirkan setelah bangun, sangat berpengaruh terhadap aktifitas selanjutnya. Seperti benih yang ditanam, bisa tumbuh menjadi pohon damai, atau semak belukar kecemasan.

Saya pernah terlalu semangat. Bangkit seperti tentara kesiangan—tanpa hitungan, tanpa jeda. Baru lima langkah dari tempat tidur, badan limbung, dunia berputar. Rupanya, bangun itu tidak cukup hanya fisik. Jiwa juga perlu dibangunkan perlahan.

Saat rasa ingin tahu, mengapa harus berhitung, memuncak dan tak kunjung mendapat penjelasan, mendadak Gembul – teman imajiner saya, muncul. Seperti biasa, sosok yang saya beri wujud kucing itu nibrung begitu saja dengan jawaban konyol. Menurutnya, hitungan sampai 50 itu untuk memberi kesempatan semua nyawa yang semalam keluyuran kembali ngumpul.

Lah, bukankah yang punya nyawa banyak cuma kucing? Itu pun kalau belum habis ditabrak motor.

“Ya kamu juga punya. Cuma nggak sadar. Tiap sisi dirimu punya kehidupannya sendiri.” jawabnya sambil menguap.
Lalu datang Bujel, si teman imajiner satu lagi, ikut nimbrung, “Omongan gulungan benang kusut, kenapa kamu dengar?”

Seperti biasa, mereka langsung ribut. Tawuran. Tapi saya biarkan. Kadang justru dari keributan mereka, saya dapat petunjuk yang tak saya duga.

Lama-lama saya mulai paham, saran dokter bukan sekadar berkaitan dengan alasan medis, melainkan petunjuk, supaya saya tidak terjebak dalam ledakan pikiran pertama di pagi hari, saat – seperti kata Gembul, “semua nyawa belum ngumpul, dan pikiran belum sepenuhnya siap menghadapi realitas.

Karena pikiran-pikiran yang muncul sangat berisik, tapi sering kali tidak akurat. 

Rupanya, jeda singkat antara mulai melek dan bangkit dari kasur, mirip seperti “ruang suci”. Semacam pos jaga, tempat saya bisa sekilas mengamati isi kepala tanpa harus percaya semuanya. Tempat saya bisa memilih mana pikiran yang pantas dibawa berjalan, dan mana yang cukup dibiarkan menguap pergi. Sebagai persiapan menyambut pagi dengan tenang.

Seingat saya, setiap kali berhasil melewati lima puluh hitungan dengan tenang, hari terasa lebih ringan. Bukan karena masalahnya hilang, tapi karena saya tidak lagi terombang-ambing oleh sesuatu yang tidak jelas.

Pagi bukan sekadar waktu dalam sehari, melainkan kesempatan untuk memulai hari dengan kesadaran, bukan dengan reaksi. Untuk memilih arah, bukan terbawa arus. Dan untuk menjadi tuan dari pikiran sendiri, bukan budak dari kebiasaan yang terburu-buru.


 [L1]


Tidak ada komentar: