Pagi adalah batas antara mimpi dan kesadaran. Di situlah,
dalam ruang transisi yang rapuh, kita berdiri di ambang hari baru. Tapi sering
kali, kita melompat terburu-buru ke dalam aktivitas tanpa memberi kesempatan
pada diri sendiri untuk benar-benar bangun.
Dulu, saya mengira bangun tidur itu ya bangun saja. Buka
mata, duduk, berdiri, jalan. Tapi ternyata tubuh dan pikiran tidak selalu
bangun bersamaan. Ada kalanya mata sudah terbuka, tapi jiwa masih tertinggal di
mimpi semalam.
Suatu saat dokter memberi saran, sederhana namun mendalam:
jangan langsung bangkit dari kasur. Hitung sampai lima puluh. Biarkan tubuh dan
pikiran beradaptasi secara perlahan. Dan yang lebih penting, jaga pikiran tetap
tenang. Jangan bereaksi terhadap apa pun yang muncul di kepala.
Awalnya, saran itu terasa absurd. Lima puluh hitungan itu
lumayan lama. Cukup untuk membuat saya ngantuk lagi. Sementara di dalam kepala
langsung terjadi keributan. Otak riuh seperti pasar pagi. Gaduh, sibuk, dan
penuh suara-suara tak diundang. Ada yang menawarkan cemas, ada yang membawa
takut, ada pula yang menyeret-nyeret masa lalu sambil menunjuk-nunjuk masa
depan.
Bukankah waktu pagi begitu berharga? Kenapa harus dihabiskan
untuk diam dan menghitung?
Kadang
saya berhasil menghitung sampai lima puluh. Kadang baru sampai dua belas sudah
lupa arah, [L1] atau
malah ketiduran lagi. Tapi, justru karena sering gagal, saya jadi tahu bahwa pagi
adalah waktu yang paling jujur. Saya bisa melihat, siapa yang pertama kali
menyambut: rasa syukur atau takut? Rasa damai atau daftar pekerjaan yang belum
selesai?
Apa yang pertama kali saya pikirkan setelah bangun, sangat
berpengaruh terhadap aktifitas selanjutnya. Seperti benih yang ditanam, bisa
tumbuh menjadi pohon damai, atau semak belukar kecemasan.
Saya pernah terlalu semangat. Bangkit seperti tentara
kesiangan—tanpa hitungan, tanpa jeda. Baru lima langkah dari tempat tidur,
badan limbung, dunia berputar. Rupanya, bangun itu tidak cukup hanya fisik.
Jiwa juga perlu dibangunkan perlahan.
Saat rasa ingin tahu, mengapa harus berhitung, memuncak dan
tak kunjung mendapat penjelasan, mendadak Gembul – teman imajiner saya, muncul.
Seperti biasa, sosok yang saya beri wujud kucing itu nibrung begitu saja dengan
jawaban konyol. Menurutnya, hitungan sampai 50 itu untuk memberi kesempatan
semua nyawa yang semalam keluyuran kembali ngumpul.
Lah, bukankah yang punya nyawa banyak cuma kucing? Itu pun
kalau belum habis ditabrak motor.
Seperti biasa, mereka langsung ribut. Tawuran. Tapi saya
biarkan. Kadang justru dari keributan mereka, saya dapat petunjuk yang tak saya
duga.
Lama-lama saya mulai paham, saran dokter bukan sekadar
berkaitan dengan alasan medis, melainkan petunjuk, supaya saya tidak terjebak
dalam ledakan pikiran pertama di pagi hari, saat – seperti kata Gembul, “semua
nyawa belum ngumpul, dan pikiran belum sepenuhnya siap menghadapi realitas.
Karena pikiran-pikiran yang muncul sangat berisik, tapi sering
kali tidak akurat.
Rupanya, jeda singkat antara mulai melek dan bangkit dari
kasur, mirip seperti “ruang suci”. Semacam pos jaga, tempat saya bisa sekilas
mengamati isi kepala tanpa harus percaya semuanya. Tempat saya bisa memilih
mana pikiran yang pantas dibawa berjalan, dan mana yang cukup dibiarkan menguap
pergi. Sebagai persiapan menyambut pagi dengan tenang.
Seingat saya, setiap kali berhasil melewati lima puluh
hitungan dengan tenang, hari terasa lebih ringan. Bukan karena masalahnya
hilang, tapi karena saya tidak lagi terombang-ambing oleh sesuatu yang tidak
jelas.
Pagi bukan sekadar waktu dalam sehari, melainkan kesempatan
untuk memulai hari dengan kesadaran, bukan dengan reaksi. Untuk memilih arah,
bukan terbawa arus. Dan untuk menjadi tuan dari pikiran sendiri, bukan budak
dari kebiasaan yang terburu-buru.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar