04 Desember 2025

Rasa Takut Adalah Alarm, Bukan Musuh

Seorang terapis pernah memberi tahu saya cara mengatasi fobia terhadap jarum suntik. Dia mengajarkan teknik pernapasan dalam dan berbagai cara mengalihkan perhatian. Dia mengaku, metode itu pernah digunakan untuk mengatasi rasa takutnya saat ngantri vaksin covid dan booster.

Tapi, dia nampak bingung ketika saya memberitahu bahwa teror jarum sudah mulai saya rasakan sejak sehari sebelum suntik, bukan hanya ketika nunggu antrian.

"Bagaimana cara mengalihkan perhatian dari rasa takut yang berlangsung sepanjang hari tanpa jeda?" tanya saya. "Bagaimana saya bisa melakukan pernapasan dalam kalau pikiran sudah dibajak rasa takut sejak pagi?"

Dia terdiam sejenak sebelum memberi nasehat klise yang membuat saya terpaksa pura-pura takjub sebelum memilih diam: "Bapak harus berusaha meyakinkan diri bahwa rasa sakit disuntik hanya sebentar dan bertujuan untuk kebaikan..."

Saya hampir tertawa getir. Dia tidak paham. Saya bukan takut sakitnya. Sesakit apa pun ketika disuntik, belum seberapa dibanding pijat petir yang pernah beberapa kali saya jalani. Padahal sebelum dipijat, saya tetap santai-santai saja.

Saya phobia terhadap jarum suntiknya. Bahkan melihat fotonyapun bisa membuat saya demam tinggi. 

Sejak 2016 saya rutin periksa darah sebulan sekali. Pengalaman disuntik berulang kali tidak banyak membantu. Gejala kacau tetap terjadi, dan selalu muncul sejak pagi, sehari sebelum jadwal suntik. 

Suara di Kepala yang Berubah Jadi Ancaman

Selalu ada suara di kepala yang mengingatkan, bahwa rasa deg-degan itu bisa memicu masalah baru. Awalnya, suara itu terasa sebagai nasehat, tapi belakangan malah menjadi ancaman halus.

Ketika istri saya menjalani perawatan cukup lama di rumah sakit, teror jarum menjadi menu harian. Gara-gara sering melihat perawat lalu-lalang membawa nampan berisi suntikan, di mata saya, senyum ramah mereka terlihat seperti senyum algojo.

Saya bisa santai dan fokus saat ketemu dokter, membahas kondisi istri, tapi begitu berurusan dengan perawat—meski hanya untuk minta bantuan mengganti alas tidur—langsung keluar keringat dingin.

Suatu ketika, saat berpapasan di pintu kamar, salah satu perawat bertanya, “Bapak takut jarum suntik?”

Pertanyaan mendadak itu membuat saya hanya bisa meringis sambil mengangguk.

“Sebentar lagi shift saya selesai, kalau Bapak berkenan, saya ingin bicara sebentar.”

Sepertinya dia menyadari, saya selalu menatap ke arah tangannya setiap kali kami berpapasan—mungkin dengan ekspresi ketakutan yang terlalu jelas untuk diabaikan.

Pelajaran dari Simbah

Tak lama kemudian, di Hall lantai dua tempat kami bertemu, dia bercerita, "Saya juga pernah mengalami. Namanya trypanophobia. Setiap kali terbayang jarum suntik, kepala jadi pusing, jantung berdebar keras, kadang sampai demam."

Saya hanya diam. Antara kaget, heran, dan sedikit tidak percaya, orang yang sehari hari berurusan dengan alat suntik ternyata pernah mengalami nasib sama.

“Setiap kali saya mencoba menghalau, bayangan jarumnya semakin lengket di kepala. Semakin dilawan, semakin kuat.”

 Dia berhenti sesaat, seolah memastikan saya masih bisa diajak bicara.

“Kata Simbah, pikiran negatif tidak perlu dilawan. Otak kita punya mekanisme pertahanan kuat untuk menolak setiap perlawanan.”

Entah kenapa, kata “Simbah”, bukan Kakek atau Eyang, membuat saya merasa, di belakang perawat muda itu berdiri sosok yang kenyang menghadapi masalah dan mampu mengatasi kesulitan dengan bijak.

“Rasa takut bukan musuh, tapi peringatan terhadap potensi bahaya. Tidak perlu dilawan. Kalau potensi ancamannya tidak jelas, tidak perlu diladeni. Biarkan saja perasaan itu bermain sepuasnya di kepala, seperti Simbah membiarkan anak-anak tetangga bermain di halam rumahnya. Mungkin sedikit berisik dan mengganggu, tapi anggap saja sedang berada di tempat ramai.”

Sebenarnya, terapis saya juga pernah memberi petunjuk serupa: mengabaikan apa pun pikiran negatif yang muncul. Hanya saja saat itu saya merasa seperti berhadapan dengan guru yang sedang mendiktekan catatan, ketimbang terapis yang berusaha membantu saya mengatasi masalah.

Perawat itu hanya bercerita tentang pengalamannya sendiri, tapi saya merasa seperti melihat peta Google, lengkap dengan alternatif rute yang bisa saya tempuh. 

Ketika saya terapkan, meskipun tidak sepenuhnya membuat saya lepas dari fobia, saya mulai bisa tenang. Bahkan sekarang bisa mengisi cartridge tinta printer menggunakan suntikan tanpa membuat jantung gedubrakan.   

Ternyata, kadang yang kita butuhkan bukan instruksi klinis atau teknik canggih, melainkan cerita dari seseorang yang pernah berdiri di tempat yang sama. Mengalami ketakutan yang sama—dan selamat melewatinya.


LABEL: BANGKIT DARI ABU

Tidak ada komentar: