Tidak ada sekolah yang mengajarkan cara menghadapi kehilangan. Tidak ada buku yang menjelaskan langkah demi langkah agar tetap tenang saat dunia tiba-tiba jungkir balik. Ketika tanah yang kita pijak tiba-tiba amblas dan meninggalkan kita dalam jurang ketidakpastian. Namun, justru di sanalah, di tengah keheningan yang menghancurkan dan di antara puing-puing harapan yang runtuh, kelas sejati kehidupan dimulai. Kelas tanpa papan tulis, tanpa kehadiran seorang guru, dan tanpa jadwal pelajaran yang teratur. Kelas yang gurunya adalah kehidupan itu sendiri, dan kurikulumnya ditulis langsung oleh pengalaman yang paling perih.
Dulu, saya percaya bahwa penderitaan adalah pertanda saya tersesat. Saya yakin, setiap rasa sakit, kekecewaan, atau kegagalan adalah hukuman karena telah mengambil jalan yang salah. Dengan keyakinan itu, saya berusaha sekuat tenaga untuk menghindar, menolak, bahkan marah ketika harus gagal. Dalam doa saya selalu memohon agar hidup hanya memberi ujian-ujian yang bisa saya jawab dengan mudah—seperti kuis pilihan ganda, bukan ujian esai yang memaksa saya merobohkan seluruh tembok ego, lalu membangun ulang dari nol.
Namun, waktu adalah guru yang paling sabar, berbicara dengan
cara-cara yang tak terduga melalui bisikan hati dan peristiwa. Perlahan-lahan,
seperti kabut yang tersibak oleh mentari pagi, saya mulai menyadari sebuah
kebenaran yang mengubah segalanya: hidup tidak pernah menghukum. Apa pun yang
datang, entah itu kehilangan, kegagalan yang memalukan, atau keheningan yang
menusuk jiwa, bukan hukuman, melainkan undangan untuk belajar lebih dalam,
untuk tumbuh menjadi lebih kokoh, dan kembali menyentuh esensi diri yang selama
ini tersembunyi rapat di balik topeng “baik-baik saja” yang kita kenakan setiap
hari.
Ada masa-masa gelap ketika semua pintu serasa tertutup rapat, keuangan porak-poranda, kesehatan goyah, dan orang-orang yang saya cintai terluka akibat sikap saya sendiri. Di puncak kepedihan, saya bertanya pada langit yang diam, “Mengapa semuanya harus terjadi sekaligus?” Lalu, suatu hari, terjadi pergeseran kecil dalam hati. Pertanyaan itu berubah. Bukan lagi “kenapa ini terjadi padaku,” yang berpusat pada diri dan rasa menjadi korban, melainkan “Apa yang ingin diajarkan oleh hidup lewat semua ini?”
Di situlah segalanya
mulai berubah.
Saya mulai memahami pelajaran yang paling berharga, bahwa
tidak semua luka harus segera disembuhkan. Beberapa hanya perlu diakui dengan
penuh kejujuran: “Ya, ini sakit. Ini berat.” Saya belajar bahwa tidak semua
situasi bisa dikendalikan atau diperbaiki dengan cepat. Beberapa hanya
bisa dijalani dengan legawa, tanpa buru-buru menuntut jawaban dari
semesta.
Hidup memiliki cara yang unik, dan seringkali terasa kejam, untuk
memanggil kita pulang kepada diri sendiri. Kadang panggilan itu datang lewat
kehilangan yang mengoyak, kadang lewat kegagalan yang memalukan, atau lewat
penantian panjang yang terasa seperti hukuman. Namun, di balik semua itu,
selalu ada pelajaran yang sama: Berhentilah berperang melawan kenyataan.
Begitu saya berhenti melawan, hidup justru mulai mengalir lagi. Tidak berarti semua masalah hilang, tapi cara saya memandangnya berubah. Menyebabkan yang dulu terasa sebagai bencana, sekarang menjadi undangan untuk belajar tentang ketahanan sejati, kerendahan hati yang tulus, dan kasih tak bersyarat. Termasuk, belajar mengasihi diri sendiri.
Dalam keheningan yang dulu terasa menyiksa, saya akhirnya menemukan pegangan.
Bukan dalam jawaban-jawaban yang jelas dan terang benderang, bukan dalam
kemenangan gemilang, melainkan dalam kepasrahan yang penuh percaya.
Hidup memang bukan guru yang lembut. Kadang memberi soal tanpa
perduli apakah saya siap atau tidak. Dia melempar sambil berteriak, “Take it or
leave it”. Tapi justru di sanalahkebebasan sejati lahir. Kita diberi kedaulatan
penuh untuk memilih, apakah setiap kehilangan, kegagalan, dan air mata akan
menjadi akhir dari perjalanan, atau justru menjadi awal dari sebuah proses
mengenal diri yang paling jujur dan paling dalam.
Kini saya tahu, hidup bukanlah sesuatu yang harus
dimenangkan atau dikalahkan. Cukup dijalani dengan legawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar