Dulu saya menganggap tubuh hanya alat — sebuah instrumen yang harus saya kendalikan demi mengejar target, memenuhi ekspektasi, dan menjalani hidup sebagaimana “seharusnya”. Jika lelah, saya paksa berjalan terus. Jika ngantuk, saya lawan dengan kopi yang ketiga atau keempat. Jika sakit, saya buru-buru menelan obat, bukan untuk menyembuhkan, melainkan agar bisa kembali “berfungsi” secepat mungkin.
Bertahun-tahun saya memperlakukan tubuh seperti mesin yang saya
anggap tahan banting, dan selalu siap digunakan. Saya lupa—atau mungkin sengaja
mengabaikan—bahwa mesin bisa diperbaiki oleh teknisi, di-reset, atau
bahkan diganti. Sementara tubuh, sebaliknya, adalah bagian utuh dari kesadaran
saya sendiri yang hidup, merasakan, dan berbicara dalam bahasa yang tak selalu
terdengar oleh telinga, tapi selalu terasa oleh jiwa.
Baru ketika umur mulai menorehkan garis-garis halus di kulit
dan penyakit datang silih berganti, saya mulai mendengar suaranya yang selama
ini saya abaikan: "Aku tidak sedang menghukummu. Aku hanya ingin kamu
berhenti sejenak."
Pegal bukan sekadar tanda kelelahan, kadang menjadi cara
tubuh berkata, “kamu terlalu lama menahan beban yang bukan milikmu”. Ngantuk
di tengah hari bukan selalu pertanda kurang tidur, tapi bisa jadi isyarat bahwa
pikiran sudah jenuh dan butuh diam. Lapar yang muncul tiba-tiba tidak selalu
berarti butuh makanan, melainkan isyarat dari hati yang mencari kenyamanan,
kehangatan, atau sekadar perhatian.
Perlahan, saya mulai belajar membaca isyarat-isyarat itu. Bkan
sebagai gangguan, tapi sebagai pesan. Ketika punggung terasa berat, saya
berhenti dan bertanya: “Apa yang sedang aku pikul terlalu lama?” Ketika dada
terasa sesak, saya mencari tahu, Beban pikiran apa yang belum saya lepaskan?
Anehnya, begitu saya mulai mendengarkan dengan tulus, banyak
keluhan yang tak kunjung sembuh dengan obat justru reda dengan sendirinya.
Bukan karena ajaib, tapi karena akar masalahnya bukan di tubuh, melainkan di
jiwa yang selama ini tak pernah diajak bicara.
Tubuh ternyata adalah guru yang sangat sabar. Tak pernah
berbohong, dan mencatat segalanya: stres yang ditahan, kekecewaan yang
dipendam, bahkan rasa syukur yang tulus. Semua itu diterjemahkan ke dalam
sensasi—hangat, nyeri, tegang, atau lega—sebagai bahasa universal yang hanya
bisa dipahami saat saya mau diam sejenak dan benar-benar peduli.
Ketika saya mulai “mendengarkan tubuh”, saya menemukan
kedamaian yang sederhana namun mendalam. Bahwa kesehatan bukan hanya soal bebas
dari penyakit, tapi tentang keselarasan antara pikiran, perasaan, dan gerak
tubuh. Kesehatan adalah harmoni.
Kini, saya belajar menghormati tubuh seperti sahabat lama
yang setia, yang tak pernah meninggalkan, meski sering diabaikan. Saya ajak
bicara sebelum tidur: “Terima kasih sudah membawaku melewati hari ini.”
Saya ucapkan syukur setelah beraktivitas: “Maaf jika tadi aku terlalu
memaksamu.”
Tentu, saya tak selalu bisa menuruti semua pesannya. Dunia
tetap menuntut, dan hidup tak selalu memberi ruang untuk beristirahat sempurna.
Tapi setidaknya kini, saya tak lagi memperlakukannya seperti mesin tanpa
perasaan.
Saya percaya, tubuh tidak pernah melawan, tapi justru
berjuang bersama saya, setiap detik, tanpa lelah. Setiap rasa yang
muncul—nyeri, lelah, hangat, atau ringan—bukanlah musuh, melainkan bahasa
lembut dari alam semesta yang tinggal di dalam diri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar