10 Juni 2024

Tubuh yang Berbicara

Dulu saya menganggap tubuh hanya alat — sebuah instrumen yang harus saya kendalikan demi mengejar target, memenuhi ekspektasi, dan menjalani hidup sebagaimana “seharusnya”. Jika lelah, saya paksa berjalan terus. Jika ngantuk, saya lawan dengan kopi yang ketiga atau keempat. Jika sakit, saya buru-buru menelan obat, bukan untuk menyembuhkan, melainkan agar bisa kembali “berfungsi” secepat mungkin.

Bertahun-tahun saya memperlakukan tubuh seperti mesin yang saya anggap tahan banting, dan selalu siap digunakan. Saya lupa—atau mungkin sengaja mengabaikan—bahwa mesin bisa diperbaiki oleh teknisi, di-reset, atau bahkan diganti. Sementara tubuh, sebaliknya, adalah bagian utuh dari kesadaran saya sendiri yang hidup, merasakan, dan berbicara dalam bahasa yang tak selalu terdengar oleh telinga, tapi selalu terasa oleh jiwa.

Baru ketika umur mulai menorehkan garis-garis halus di kulit dan penyakit datang silih berganti, saya mulai mendengar suaranya yang selama ini saya abaikan: "Aku tidak sedang menghukummu. Aku hanya ingin kamu berhenti sejenak."

Pegal bukan sekadar tanda kelelahan, kadang menjadi cara tubuh berkata, “kamu terlalu lama menahan beban yang bukan milikmu”. Ngantuk di tengah hari bukan selalu pertanda kurang tidur, tapi bisa jadi isyarat bahwa pikiran sudah jenuh dan butuh diam. Lapar yang muncul tiba-tiba tidak selalu berarti butuh makanan, melainkan isyarat dari hati yang mencari kenyamanan, kehangatan, atau sekadar perhatian.

Perlahan, saya mulai belajar membaca isyarat-isyarat itu. Bkan sebagai gangguan, tapi sebagai pesan. Ketika punggung terasa berat, saya berhenti dan bertanya: “Apa yang sedang aku pikul terlalu lama?” Ketika dada terasa sesak, saya mencari tahu, Beban pikiran apa yang belum saya lepaskan?

Anehnya, begitu saya mulai mendengarkan dengan tulus, banyak keluhan yang tak kunjung sembuh dengan obat justru reda dengan sendirinya. Bukan karena ajaib, tapi karena akar masalahnya bukan di tubuh, melainkan di jiwa yang selama ini tak pernah diajak bicara.

Tubuh ternyata adalah guru yang sangat sabar. Tak pernah berbohong, dan mencatat segalanya: stres yang ditahan, kekecewaan yang dipendam, bahkan rasa syukur yang tulus. Semua itu diterjemahkan ke dalam sensasi—hangat, nyeri, tegang, atau lega—sebagai bahasa universal yang hanya bisa dipahami saat saya mau diam sejenak dan benar-benar peduli.

Ketika saya mulai “mendengarkan tubuh”, saya menemukan kedamaian yang sederhana namun mendalam. Bahwa kesehatan bukan hanya soal bebas dari penyakit, tapi tentang keselarasan antara pikiran, perasaan, dan gerak tubuh. Kesehatan adalah harmoni.

Kini, saya belajar menghormati tubuh seperti sahabat lama yang setia, yang tak pernah meninggalkan, meski sering diabaikan. Saya ajak bicara sebelum tidur: “Terima kasih sudah membawaku melewati hari ini.” Saya ucapkan syukur setelah beraktivitas: “Maaf jika tadi aku terlalu memaksamu.”

Tentu, saya tak selalu bisa menuruti semua pesannya. Dunia tetap menuntut, dan hidup tak selalu memberi ruang untuk beristirahat sempurna. Tapi setidaknya kini, saya tak lagi memperlakukannya seperti mesin tanpa perasaan.

Saya percaya, tubuh tidak pernah melawan, tapi justru berjuang bersama saya, setiap detik, tanpa lelah. Setiap rasa yang muncul—nyeri, lelah, hangat, atau ringan—bukanlah musuh, melainkan bahasa lembut dari alam semesta yang tinggal di dalam diri.

Ketika saya akhirnya mau berhenti sejenak, menarik napas dalam, dan benar-benar mendengarkan…
Ternyata tubuh sedang berbicara. Bukan untuk mengeluh, tapi hanya mengingatkan: “Aku dan kamu adalah satu. Kalau kamu tenang, aku pun sembuh.”

Tidak ada komentar: