Dulu saya menganggap emosi sebagai gangguan. Sebuah kebisingan yang mengganggu ketenangan, kejelasan pikiran, dan citra diri sebagai orang yang dewasa. Kalau marah, saya merasa bersalah. seolah-olah amarah itu bukti kegagalan mengendalikan diri. Kalau sedih, saya buru-buru menutupi. dengan senyum palsu atau aktivitas yang sibuk, seakan-akan kesedihan adalah aib yang tak layak ditunjukkan. Kalau takut, saya memaksakan diri untuk tampak berani, padahal di dalam, jantung berdebar kencang dan pikiran dipenuhi bayangan terburuk. Seolah-olah menjadi dewasa berarti tidak boleh menunjukkan perasaan.
Tapi belakangan saya sadar, justru karena saya menolak emosi, saya jadi makin mudah meledak. Yang saya tekan tidak hilang , hanya menunggu waktu untuk meletup dalam bentuk lain: tubuh tegang, kepala berat, ucapan jadi tajam.
Perlahan, saya mulai belajar memandang emosi bukan sebagai musuh, melainkan pesan dari dalam diri. Semacam notifikasi dari batin yang memberi tahu, ada sesuatu yang perlu diperhatikan. Emosi tidak datang tanpa alasan. Ia adalah bahasa tubuh jiwa, cara tubuh dan pikiran berkomunikasi ketika kata-kata gagal.
Ketika saya marah, sering
kali bukan sekadar reaksi terhadap orang lain, tapi karena saya merasa nilai
saya sedang terinjak. Marah mengajarkan saya untuk mengenali batas, memahami
apa yang benar-benar penting bagi saya, dan menegaskannya tanpa melukai.
Ketika sedih, saya menyadari bahwa kesedihan bukanlah tanda kelemahan, melainkan sinyal bahwa saya sedang kehilangan sesuatu yang berarti. Sedih mengajarkan saya untuk menerima, bahwa yang hilang tidak selalu harus diganti, cukup dihargai, dan membiarkannya menjadi bagian dari cerita hidup saya.
Ketika takut, saya mulai memahami
bahwa rasa takut bukanlah penghalang, melainkan penanda bahwa saya sedang di
ambang pertumbuhan. Takut mengingatkan bahwa saya belum sepenuhnya percaya pada
diri sendiri, dan di situlah ruang belajar terbuka.
Emosi, bila mau didengarkan
dengan sabar dan tanpa penghakiman, adalah peta paling jujur dari keadaan batin.
Tidak pernah berbohong. Hanya saja, kita sering terlalu cepat menembak pesannya
sebelum sempat membacanya. Terlalu sibuk menenangkan, menyangkal, atau
mengalihkan, hingga kehilangan kesempatan untuk belajar darinya.
Saya mencoba pendekatan
sederhana: setiap kali emosi datang, saya berhenti sejenak. Alih-alih melawan, saya berkata dalam hati, “Terima kasih sudah mengingatkan. Apa
yang ingin kamu tunjukkan hari ini?”
Lucunya, begitu saya tidak lagi
melawan, rasa itu pelan-pelan berubah bentuk. Marah tidak lagi meledak, tapi
menjadi kejelasan tentang batas dan nilai. Sedih tidak lagi melumpuhkan, tapi
berubah menjadi kelembutan yang memungkinkan saya merangkul kerentanan. Takut
tidak lagi mengunci, tapi berubah menjadi kewaspadaan yang bijak, membimbing
saya melangkah dengan lebih hati-hati namun tetap maju.
Saya belajar bahwa emosi hanya
ingin didengar. Sama seperti manusia.
Sekarang, ketika gelombang
perasaan datang, entah kecemasan, kekecewaan, atau kegembiraan yang terlalu
besar, saya tidak lagi terburu-buru menenangkan diri dengan kalimat klise
seperti “tenang, jangan emosi.” Sebaliknya, saya mengajak diri sendiri
duduk sejenak dan berkata, “Baik, ayo kita dengar dulu.” Karena justru
di dalam badai perasaan itulah saya sering menemukan arah baru, wawasan segar,
atau keberanian yang selama ini tersembunyi.
Hidup tidak meminta kita
menyingkirkan emosi, melainkan mengundang kita untuk bersahabat dengannya.. Sebab
emosi bukan penghalang spiritualitas atau kedewasaan, tapi gerbang menuju kesadaran
diri yang lebih utuh.
Ketika saya berhenti melawan
perasaan dan mulai mendengarkannya, saya menemukan kebenaran yang sederhana
namun mendalam, bahwa setiap emosi, bahkan yang paling gelap, menyimpan secercah
cahaya yang menuntun saya untuk mengenal diri lebih dalam.



