Ketika saya sedang beres-beres kamera menjelang pindah
lokasi, salah satu teman hunting foto bertanya, apakah saya pernah mengalami kepala
yang rame seperti pasar malam.
Tentu saja sering. Kadang mata baru melek, nyawa belum
ngumpul, di kepala sudah ribut luar biasa.
“Bagaimana caranya biar tidak terganggu?”
Hampir saya jawab, “Seperti sekarang, saya tetap bisa fokus
motret meskipun kamu ribut terus.” Beruntung tidak ada oli di mulit saya,
sehingga remnya tetap pakem. Tidak asal nyablak.
Di balik wajah yang terawat, saya melihat raut yang suram.
Matanya menyiratkan dia sedang mengalami masalah tidak ringan dengan
pikirannya. Alih-alih menjawab, saya
balik bertanya, apa yang dia rasakan?
Seperti bendungan jebol, kata demi kata mengalir tanpa bisa
disela. Muter-muter, lompat sana-sini, dan kadang diulang. Early warning system
di kepala saya langsung bekerja. Saya harus hati-hati bicara. Selain menjaga
jangan sampai kebiasaan saya bicara tanpa sensor menyinggung perasaannya, saya
juga harus menjaga supaya dia tidak menganggap saya teman yang enak diajak
ngobrol, lalu nantinya jadi tempat langganan curhat.
Setelah cukup lama termenung, bingung, akhirnya saya
menjawab sedikit ngasal: “Saya ibaratkan diri sendiri seperti guru, dan pikiran
yang simpang siur seperti murid SD yang selalu ribut di kelas. Yang perlu saya
lakukan hanya melakukan pendekatan satu persatu, tanpa harus marah.”
Barangkali merasa jawaban saya tidak masuk akal, bocah seumuran
mahasiswa semester awal itu tidak bertanya lagi. Tapi lucunya, jawaban yang
awalnya asal ceplos itu justru lengket di otak saya. Lama-lama saya malah penasaran sendiri: Kenapa
saya memilih perumpamaan guru dan murid? Kenapa bukan perumpamaan lain yang
lebih keren, seperti teknisi memperbaiki software bug atau yogi sedang
menenangkan energi kundalini? Sementara di dunia nyata, tidak sedikit guru yang
kedodoran menghadapi muridnya.
Anehnya, meskipun sampai lebih dari 2 tahun saya tidak
kunjung nemu penjelasannya, cara itu justru manjur ketika beneran saya terapkan
pada diri sendiri.
Setiap kali pikiran mulai riuh, saya duduk diam, memejamkan
mata sambil membayangkan sedang menghadapi bocah-bocah di kelas. Ada yang
teriak-teriak tidak jelas, gebrak meja, menyanyi dengan suara sumbang,
berantem, berlari keliling ruangan atau berdiri di meja. Tapi, begitu saya berdiri
di depan kelas, semua langsung kembali duduk di tempat masing-masing, dan
tenang. Selebihnya tidak ada yang saya lakukan, selain membayangkan memandang
wajah-wajah yang tidak jelas satu per satu.
Lalu, ketika saya kembali buka mata, keributan di kepala
jauh berkurang. Tidak hilang sepenuhnya, tapi cukup tenang untuk melanjutkan
hidup.
Pagi tadi, saat sedang istirahat usai grounding di lapangan
bola, tiba-tiba otak saya nagih penjelasan. Ribut macam tukang kredit panci
keliling yang kuwatir pembelinya tidak bayar cicilan. Berulangkali muncul
pertanyaan, mengapa saya memilih metafora guru dan murid SD? Sementara selama
ini saya mengibaratkan kesadaran sebagai pengamat, pikiran sebagai software,
dan tubuh sebagai hardware.
Perumpamaan yang awalnya saya anggap sederhana, teknis dan
logis. Lalu tiba-tiba… pindah ke kelas SD lengkap dengan bocah-bocah ribut.
Sudah pasti pilihan guru tidak ada hubungannya dengan
profesi. Saya menghormati setiap pekerjaan sama rata. Tidak ada yang lebih
istimewa dibanding yang lain. Realita bahwa otak saya secara spontan memilih
guru dan murid SD – bukan murid SMP atau mahasiswa, tentu bukan pilihan acak.
Setiap hari libur, lapangan bola dekat rumah selalu lebih
ramai. Banyak orang-tua ngajak anak main di sana. Ketika tanpa niat tertentu
saya mengamati tingkah polah mereka, jawaban itu tiba-tiba muncul: Pikiran liar
sepertinya memang lebih mirip bocah SD yang sedang ribut di kelas ketimbang
software salah urus.
Memilih software sebagai perumpamaan, terlalu deterministic.
Kalau software salah, ya debug. Kalau error, tinggal restart. Sementara pikiran
tidak bisa diperlakukan seperti itu.
Pikiran sering melompat-lompat, kadang mengulang hal yang
sama, minta perhatian, tidak jarang lebay dan drama, tapi di saat lain seolah
hanya ingin didengar. Itu bukan bug, tapi lebih mirip energi anak kecil di
dalam diri yang belum matang.
Sepertinya metafora guru dan murid lebih akurat
menggambarkan hubungan antara kesadaran dengan pikiran. Konsep pengamat terasa
terlalu netral, steril, berjarak dan dingin, sementara guru lebih manusiawi.
Pikiran yang emosional lebih cocok dihadapi oleh figur yang punya hati.
Guru yang baik bukan hanya mengajarkan ilmu pengetahuan.
Bukan hanya mengamati. Guru yang baik eksis secara mental dalam diri setiap
murid, bijak, bisa tegas tanpa marah, mampu memimpin, mampu menjaga ketertiban,
dan memberi rasa aman.
Pilihan guru sebagai metafora kesadaran membuat pikiran saya
merasa “diurusi”, bukan lagi “dipaksa diam”
Keributan mental sering keluar dari bagian diri yang masih
kecil, belum matang, dan belum selesai belajar. Ketika saya memvisualisasikan
murid SD, saya memberi semacam identitas pada suara-suara di kepala. Saya tidak
menganggap mereka sebagai musuh. Saya menempatkan diri dalam posisi sebagai
orang yang lebih dewasa – bukan sebagai korban yang terombang-ambing oleh
pikiran.
Ketika saya membayangkan berdiri di muka kelas, dan
bocah-bocah menjadi tenang, merupakan sinyal kuat bahwa kendali sudah kembali
tanpa harus panik. Sepertinya otak merespons imajinasi itu secara fisiologis:
detak jantung lebih stabil, napas melambat, keributan mental mereda.
Selama ini mungkin saya
terlalu sering “memaksa diri tenang”. Memberi perintah untuk diam, menyuruh “jangan
mikir”, memaksa fokus. Hasilnya justru semakin parah. Pikiran tambah rame.
Guru yang sabar membuka pintu dialog. Otak saya mulai
mengenali bahwa pendekatan halus lebih cocok ketimbang represi.
Akhirnya kesadaran saya memiliki peran baru. Bukan lagi
sebagai pengamat yang abstrak, bukan komandan yang sok kuasa dan memaksakan
kehendak. Juga bukan teknisi yang buru-buru memperbaiki. Melainkan sosok yang
cukup tenang untuk membuat pikiran-pikiran kecil kembali duduk tanpa perlu
memaksa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar