26 November 2025

Guru dan Kelas SD yang Selalu Ribut

 

Ketika saya sedang beres-beres kamera menjelang pindah lokasi, salah satu teman hunting foto bertanya, apakah saya pernah mengalami kepala yang rame seperti pasar malam.

Tentu saja sering. Kadang mata baru melek, nyawa belum ngumpul, di kepala sudah ribut luar biasa.

“Bagaimana caranya biar tidak terganggu?”

Hampir saya jawab, “Seperti sekarang, saya tetap bisa fokus motret meskipun kamu ribut terus.” Beruntung tidak ada oli di mulit saya, sehingga remnya tetap pakem. Tidak asal nyablak.

Di balik wajah yang terawat, saya melihat raut yang suram. Matanya menyiratkan dia sedang mengalami masalah tidak ringan dengan pikirannya. Alih-alih  menjawab, saya balik bertanya, apa yang dia rasakan?

Seperti bendungan jebol, kata demi kata mengalir tanpa bisa disela. Muter-muter, lompat sana-sini, dan kadang diulang. Early warning system di kepala saya langsung bekerja. Saya harus hati-hati bicara. Selain menjaga jangan sampai kebiasaan saya bicara tanpa sensor menyinggung perasaannya, saya juga harus menjaga supaya dia tidak menganggap saya teman yang enak diajak ngobrol, lalu nantinya jadi tempat langganan curhat.

Setelah cukup lama termenung, bingung, akhirnya saya menjawab sedikit ngasal: “Saya ibaratkan diri sendiri seperti guru, dan pikiran yang simpang siur seperti murid SD yang selalu ribut di kelas. Yang perlu saya lakukan hanya melakukan pendekatan satu persatu, tanpa harus marah.” 

Barangkali merasa jawaban saya tidak masuk akal, bocah seumuran mahasiswa semester awal itu tidak bertanya lagi. Tapi lucunya, jawaban yang awalnya asal ceplos itu justru lengket di otak saya.  Lama-lama saya malah penasaran sendiri: Kenapa saya memilih perumpamaan guru dan murid? Kenapa bukan perumpamaan lain yang lebih keren, seperti teknisi memperbaiki software bug atau yogi sedang menenangkan energi kundalini? Sementara di dunia nyata, tidak sedikit guru yang kedodoran menghadapi muridnya.

Anehnya, meskipun sampai lebih dari 2 tahun saya tidak kunjung nemu penjelasannya, cara itu justru manjur ketika beneran saya terapkan pada diri sendiri.

Setiap kali pikiran mulai riuh, saya duduk diam, memejamkan mata sambil membayangkan sedang menghadapi bocah-bocah di kelas. Ada yang teriak-teriak tidak jelas, gebrak meja, menyanyi dengan suara sumbang, berantem, berlari keliling ruangan atau berdiri di meja. Tapi, begitu saya berdiri di depan kelas, semua langsung kembali duduk di tempat masing-masing, dan tenang. Selebihnya tidak ada yang saya lakukan, selain membayangkan memandang wajah-wajah yang tidak jelas satu per satu.

Lalu, ketika saya kembali buka mata, keributan di kepala jauh berkurang. Tidak hilang sepenuhnya, tapi cukup tenang untuk melanjutkan hidup.

Pagi tadi, saat sedang istirahat usai grounding di lapangan bola, tiba-tiba otak saya nagih penjelasan. Ribut macam tukang kredit panci keliling yang kuwatir pembelinya tidak bayar cicilan. Berulangkali muncul pertanyaan, mengapa saya memilih metafora guru dan murid SD? Sementara selama ini saya mengibaratkan kesadaran sebagai pengamat, pikiran sebagai software, dan tubuh sebagai hardware.

Perumpamaan yang awalnya saya anggap sederhana, teknis dan logis. Lalu tiba-tiba… pindah ke kelas SD lengkap dengan bocah-bocah ribut.

Sudah pasti pilihan guru tidak ada hubungannya dengan profesi. Saya menghormati setiap pekerjaan sama rata. Tidak ada yang lebih istimewa dibanding yang lain. Realita bahwa otak saya secara spontan memilih guru dan murid SD – bukan murid SMP atau mahasiswa, tentu bukan pilihan acak.

Setiap hari libur, lapangan bola dekat rumah selalu lebih ramai. Banyak orang-tua ngajak anak main di sana. Ketika tanpa niat tertentu saya mengamati tingkah polah mereka, jawaban itu tiba-tiba muncul: Pikiran liar sepertinya memang lebih mirip bocah SD yang sedang ribut di kelas ketimbang software salah urus.

Memilih software sebagai perumpamaan, terlalu deterministic. Kalau software salah, ya debug. Kalau error, tinggal restart. Sementara pikiran tidak bisa diperlakukan seperti itu.

Pikiran sering melompat-lompat, kadang mengulang hal yang sama, minta perhatian, tidak jarang lebay dan drama, tapi di saat lain seolah hanya ingin didengar. Itu bukan bug, tapi lebih mirip energi anak kecil di dalam diri yang belum matang.

Sepertinya metafora guru dan murid lebih akurat menggambarkan hubungan antara kesadaran dengan pikiran. Konsep pengamat terasa terlalu netral, steril, berjarak dan dingin, sementara guru lebih manusiawi. Pikiran yang emosional lebih cocok dihadapi oleh figur yang punya hati.

Guru yang baik bukan hanya mengajarkan ilmu pengetahuan. Bukan hanya mengamati. Guru yang baik eksis secara mental dalam diri setiap murid, bijak, bisa tegas tanpa marah, mampu memimpin, mampu menjaga ketertiban, dan memberi rasa aman.

Pilihan guru sebagai metafora kesadaran membuat pikiran saya merasa “diurusi”, bukan lagi “dipaksa diam”

Keributan mental sering keluar dari bagian diri yang masih kecil, belum matang, dan belum selesai belajar. Ketika saya memvisualisasikan murid SD, saya memberi semacam identitas pada suara-suara di kepala. Saya tidak menganggap mereka sebagai musuh. Saya menempatkan diri dalam posisi sebagai orang yang lebih dewasa – bukan sebagai korban yang terombang-ambing oleh pikiran.

Ketika saya membayangkan berdiri di muka kelas, dan bocah-bocah menjadi tenang, merupakan sinyal kuat bahwa kendali sudah kembali tanpa harus panik. Sepertinya otak merespons imajinasi itu secara fisiologis: detak jantung lebih stabil, napas melambat, keributan mental mereda.

 Selama ini mungkin saya terlalu sering “memaksa diri tenang”. Memberi perintah untuk diam, menyuruh “jangan mikir”, memaksa fokus. Hasilnya justru semakin parah. Pikiran tambah rame.

Guru yang sabar membuka pintu dialog. Otak saya mulai mengenali bahwa pendekatan halus lebih cocok ketimbang represi.

Akhirnya kesadaran saya memiliki peran baru. Bukan lagi sebagai pengamat yang abstrak, bukan komandan yang sok kuasa dan memaksakan kehendak. Juga bukan teknisi yang buru-buru memperbaiki. Melainkan sosok yang cukup tenang untuk membuat pikiran-pikiran kecil kembali duduk tanpa perlu memaksa.

Tidak ada komentar: