Saya tidak pernah menyangka bahwa dua hal sederhana, humor dan harapan, bisa menjadi penopang utama ketika hidup saya seperti kapal kecil yang terombang-ambing di lautan badai. Umur tak lagi muda, tubuh mulai rewel, dan kenyataan bahwa pasangan hidup saya didiagnosis kanker, semua itu bisa dengan mudah menggulung saya ke jurang putus asa.
Tapi justru di tengah kesuraman itu, muncul celah-celah terang. Bukan dari keajaiban langit atau mukjizat dramatis, melainkan dari hal-hal sederhana, candaan receh, kelucuan yang datang tiba-tiba, dan harapan-harapan kecil yang tampaknya sepele - tapi ternyata ampuh menjaga semangat hidup tetap menyala.
________________________________________
Humor: Obat Anti-Gila di Tengah Kekacauan
Ada masa-masa ketika saya terlalu serius menjalani hidup. Terlalu khawatir. Terlalu takut salah langkah. Terlalu ingin semuanya sempurna. Tapi saat saya mendampingi istri menghadapi terapi kanker, saya belajar satu hal penting, kalau semua dibawa tegang, kepala ini bisa pecah.
Lalu muncullah guyonan sebagai penyelamat tak terduga. Kadang muncul dari orang lain, kadang dari istri sendiri, kadang dari saya - biasanya tanpa sengaja.
Seperti ketika saya sedang mencari tahu tentang kolostomi. Salah satu narasumber, seorang survivor kanker usus sekaligus ostomate (sudah memakai stoma bag), malah santai saja membahas "anus yang disegel permanen", kentut yang nyaring seperti suara sirene, saat mules tidak perlu buru-buru cari WC, dan perut yang tampak buncit karena celana terganjal kantong. Saya terkekeh, bukan karena mengejek, tapi karena merasa manusiawi sekali.
Atau suatu sore, ketika saya hendak ambil uang di ATM, tiba-tiba muncul pesan di layar, ATM minta maaf lantaran sedang bokek. Stok uang habis, belum diisi kembali. Saya menoleh ke istri dan spontan berkata, “Lebaran masih jauh, tapi ATM sudah minta maaf duluan.” Dia tertawa lemah, tapi cukup membuat sore itu jadi lebih ringan.
Dan ternyata, candaan seperti itu bisa jadi vitamin harian. Meski tubuh sakit, saldo menipis, dan malam terasa panjang, tertawa tetap gratis dan menyembuhkan.
Ada yang bilang:
“Kalau kamu bisa tertawa di saat sulit, bukan berarti kamu menyangkal kenyataan, tapi kamu sedang menolak untuk dikalahkan olehnya.”
Saya percaya.
Saya belajar untuk menertawakan hal-hal yang tak bisa saya ubah. Termasuk ketika istri mulai berdamai dengan kemungkinan memakai stoma bag. Bayangkan — dari seorang perempuan yang dulu aktif, mandiri, dan modis, kini harus beradaptasi dengan sesuatu yang ‘nongol dari perut’. Tapi alih-alih menyesali nasib, ia malah berkata, “Kalau ini memang harus jadi ‘teman hidup’, kita ajak akrab saja.” Kami tertawa. Meski getir, tetap terasa lega.
________________________________________
Harapan: Lilin Kecil yang Menuntun Jalan
Kalau humor adalah vitamin, maka harapan adalah bahan bakarnya. Tapi bukan harapan besar, bukan harapan yang mewah. Cukup harapan kecil, secuil cahaya yang bisa menuntun langkah ke hari berikutnya.
Kadang harapan itu datang dari anak. Walau sibuk kuliah, tetap menyempatkan memasak menu khusus untuk diet kami. Padahal repotnya minta ampun. Tanpa sambel dan lalapan, tanpa telur, tanpa dressing, tanpa gorengan, tanpa kerupuk, tanpa daging merah, tanpa udang, sebagian besar masakan terasa seperti uji kesabaran lidah. Tapi dia tetap mencoba, dan kami tetap makan sambil bercanda, pura-pura menjadi peserta MasterChef Versi Kanker.
Kadang harapan datang dari teman lama yang tiba-tiba mengirim pesan, “Aku baca tulisanmu di blog. Terima kasih, ya. Rasanya aku nggak sendirian sekarang.”
Kadang dari pembaca yang tidak saya kenal, yang menulis di kolom komentar:
“Tulisanmu bikin aku nangis dan ketawa sekaligus. Aku juga sedang mendampingi suami yang sakit. Terima kasih sudah berbagi.”
Dan di sanalah saya sadar, berbagi cerita, berbagi tawa, dan berbagi harapan bukan hanya menyembuhkan orang lain — tapi juga menyembuhkan diri sendiri.
________________________________________
Jalan Terus, Meski Pelan
Hidup memang tidak mudah. Tidak ada jaminan semuanya akan baik-baik saja. Tapi selama kita masih bisa tertawa, dan masih punya secuil harapan, saya percaya, kita belum kalah.
Mungkin langkah kita pelan. Mungkin badan lelah dan hati remuk. Tapi kita tetap jalan. Kadang sambil tertawa geli karena kesalahan kecil. Kadang sambil menitik air mata karena komentar sederhana dari orang tak dikenal. Tapi tetap jalan.
Jadi, kalau hidup sedang terasa berat, cobalah ketawa. Bukan karena semuanya lucu, tapi karena kadang kita cuma punya dua pilihan: ketawa atau gila.
Dan kalau bisa memilih, saya lebih suka ketawa.