03 Januari 2024

Humor dan Harapan, Survival Kit di Medan Ranjau


Saya tidak pernah menyangka bahwa dua hal sederhana, humor dan harapan, bisa menjadi penopang utama ketika hidup saya seperti kapal kecil yang terombang-ambing di lautan badai. Umur tak lagi muda, tubuh mulai rewel, dan kenyataan bahwa pasangan hidup saya didiagnosis kanker,  semua itu bisa dengan mudah menggulung saya ke jurang putus asa.

Tapi justru di tengah kesuraman itu, muncul celah-celah terang. Bukan dari keajaiban langit atau mukjizat dramatis, melainkan dari hal-hal sederhana, candaan receh, kelucuan yang datang tiba-tiba, dan harapan-harapan kecil yang tampaknya sepele - tapi ternyata ampuh menjaga semangat hidup tetap menyala.

________________________________________

Humor: Obat Anti-Gila di Tengah Kekacauan

Ada masa-masa ketika saya terlalu serius menjalani hidup. Terlalu khawatir. Terlalu takut salah langkah. Terlalu ingin semuanya sempurna. Tapi saat saya mendampingi istri menghadapi terapi kanker, saya belajar satu hal penting, kalau semua dibawa tegang, kepala ini bisa pecah.

Lalu muncullah guyonan sebagai penyelamat tak terduga. Kadang muncul dari orang lain, kadang dari istri sendiri, kadang dari saya - biasanya tanpa sengaja.

Seperti ketika saya sedang mencari tahu tentang kolostomi. Salah satu narasumber, seorang survivor kanker usus sekaligus ostomate (sudah memakai stoma bag), malah santai saja membahas "anus yang disegel permanen", kentut yang nyaring seperti suara sirene, saat mules tidak perlu buru-buru cari WC, dan perut yang tampak buncit karena celana terganjal kantong. Saya terkekeh, bukan karena mengejek, tapi karena merasa manusiawi sekali.

Atau suatu sore, ketika saya hendak ambil uang di ATM, tiba-tiba muncul pesan di layar, ATM minta maaf lantaran sedang bokek. Stok uang habis, belum diisi kembali. Saya menoleh ke istri dan spontan berkata, “Lebaran masih jauh, tapi ATM sudah minta maaf duluan.” Dia tertawa lemah, tapi cukup membuat sore itu jadi lebih ringan.

Dan ternyata, candaan seperti itu bisa jadi vitamin harian. Meski tubuh sakit, saldo menipis, dan malam terasa panjang, tertawa tetap gratis dan menyembuhkan.

Ada yang bilang:

“Kalau kamu bisa tertawa di saat sulit, bukan berarti kamu menyangkal kenyataan, tapi kamu sedang menolak untuk dikalahkan olehnya.”

Saya percaya.

Saya belajar untuk menertawakan hal-hal yang tak bisa saya ubah. Termasuk ketika istri mulai berdamai dengan kemungkinan memakai stoma bag. Bayangkan — dari seorang perempuan yang dulu aktif, mandiri, dan modis, kini harus beradaptasi dengan sesuatu yang ‘nongol dari perut’. Tapi alih-alih menyesali nasib, ia malah berkata, “Kalau ini memang harus jadi ‘teman hidup’, kita ajak akrab saja.” Kami tertawa. Meski getir, tetap terasa lega.

________________________________________

Harapan: Lilin Kecil yang Menuntun Jalan

Kalau humor adalah vitamin, maka harapan adalah bahan bakarnya. Tapi bukan harapan besar, bukan harapan yang mewah. Cukup harapan kecil, secuil cahaya yang bisa menuntun langkah ke hari berikutnya.

Kadang harapan itu datang dari anak. Walau sibuk kuliah, tetap menyempatkan memasak menu khusus untuk diet kami. Padahal repotnya minta ampun. Tanpa sambel dan lalapan, tanpa telur, tanpa dressing, tanpa gorengan, tanpa kerupuk, tanpa daging merah, tanpa udang, sebagian besar masakan terasa seperti uji kesabaran lidah. Tapi dia tetap mencoba, dan kami tetap makan sambil bercanda, pura-pura menjadi peserta MasterChef Versi Kanker.

Kadang harapan datang dari teman lama yang tiba-tiba mengirim pesan, “Aku baca tulisanmu di blog. Terima kasih, ya. Rasanya aku nggak sendirian sekarang.”

Kadang dari pembaca yang tidak saya kenal, yang menulis di kolom komentar:

“Tulisanmu bikin aku nangis dan ketawa sekaligus. Aku juga sedang mendampingi suami yang sakit. Terima kasih sudah berbagi.”

Dan di sanalah saya sadar, berbagi cerita, berbagi tawa, dan berbagi harapan bukan hanya menyembuhkan orang lain — tapi juga menyembuhkan diri sendiri.

________________________________________

Jalan Terus, Meski Pelan

Hidup memang tidak mudah. Tidak ada jaminan semuanya akan baik-baik saja. Tapi selama kita masih bisa tertawa, dan masih punya secuil harapan, saya percaya, kita belum kalah.

Mungkin langkah kita pelan. Mungkin badan lelah dan hati remuk. Tapi kita tetap jalan. Kadang sambil tertawa geli karena kesalahan kecil. Kadang sambil menitik air mata karena komentar sederhana dari orang tak dikenal. Tapi tetap jalan.

Jadi, kalau hidup sedang terasa berat, cobalah ketawa. Bukan karena semuanya lucu, tapi karena kadang kita cuma punya dua pilihan: ketawa atau gila.

Dan kalau bisa memilih, saya lebih suka ketawa.


01 Januari 2024

Komando Dari Dalam Diri

Dalam peperangan, ada satu hal yang menentukan arah pasukan: komando. Tanpa suara komando yang jelas, pasukan bisa kacau, saling tunggu, bahkan saling tembak. Tapi bayangkan kalau Anda menjadi prajurit yang, entah karena apa, tertinggal di belakang garis musuh. Radio putus. Komandan tidak bisa dihubungi. Kompas rusak. Dan Anda sendirian, hanya ditemani suara di dalam kepala yang berubah-ubah seperti cuaca, kadang tegas, kadang pesimis, kadang hanya menggumamkan lagu lama yang entah kenapa selalu muncul saat situasi kritis.

Itulah yang saya rasakan saat ini.

Pada awalnya hidup tanpa komando dari luar memang menjadi pilihan, itu sebabnya saya memilih menjadi pengusaha. Bisa bekerja kapan saja saya. Tidak ada tuntutan sistem dari atasan. Tidak ada target. Yang ada hanya satu, saya dan hidup saya sendiri. Dan jujur, ternyata tidak semudah kedengarannya.

Semula saya pikir, ini kesempatan emas. Bebas! Bisa menentukan arah sendiri, membangun ulang hidup sesuai nilai yang saya pilih sendiri. Tapi ternyata, ketika semua arah terbuka untuk dijelajahi, saya justru menjadi bingung dan tidak tahu harus ke mana.

Saya sempat mencoba membuat to-do list harian, mingguan, bahkan bulanan. Tapi sering kali daftar itu hanya tinggal daftar. Bukan karena tidak ada semangat. Tapi karena komando dari dalam diri saya sendiri tidak konsisten. Kadang optimis luar biasa. Kadang skeptis parah. Kadang berteriak “Lakukan sekarang juga!” lalu besoknya berdalih, “Buat apa?”

Lalu saya sadar: ini bukan soal daftar. Ini soal siapa sebenarnya yang pegang kendali di dalam diri saya.

Ternyata selama ini, "komando" saya sering diambil oper oleh emosi. Kadang oleh rasa bersalah karena masa lalu, kadang oleh ambisi yang tidak jelas arahnya. Kadang oleh rasa takut, dan lebih sering lagi oleh kebiasaan lama yang nyaman tapi mandek.

Saya mulai belajar membedakan suara-suara itu. Mana suara si takut, mana suara si males, mana suara si pengin cepat selesai tapi ogah menjalani proses, mana suara yang sebenarnya murni, jernih, dan ingin kebaikan.

Tidak mudah. Kadang saya baru menyadarinya setelah telanjur melakukan sesuatu yang tidak sejalan dengan niat hati. Kadang baru sadar setelah satu hari berlalu begitu saja tanpa makna, hanya karena menuruti suara impulsif yang bilang, “santai dulu, waktumya masih panjang.” – Dalam bahasa guyon masa kecil dulu, “Tenang, Belanda masih jauh.”

*** Iya, Belandanya jauh, tapi yang muncul dalam senyap ternyata China. langsung ngobok-obok sampai jauh. ***  

Tapi seperti prajurit kesasar yang mulai belajar membaca arah angin tanpa alat, saya mulai bisa merasakan, “Ini bukan suara asli saya. Ini hanya gema dari trauma lama, mirip kaset rusak yang diputar ulang.”

Atau,

“Ini suara yang murni. Tidak berteriak, tapi tenang dan mantap.”

Dan lucunya, semakin saya mendengarkan suara yang tenang itu, hidup jadi lebih ringan. Tidak ada desakan harus terburu-buru. Tidak harus sempurna. Cukup satu-dua hal kecil setiap hari, tapi dilakukan dengan sadar dan sepenuh hati.

Saya menyebutnya komando sunyi.

Bukan karena dia tidak terdengar, tapi karena ia berbicara pelan, jernih, dan hanya bisa didengar kalau saya diam cukup lama.

Kadang suara itu muncul saat saya duduk diam melihat langit sore. Kadang saat mencuci piring, atau saat menuliskan kalimat jujur di blog. Dan anehnya, suara itu tidak memaksa. Tidak menghardik. Tapi justru karena itu, dia terasa bisa dipercaya.

Kini saya tidak lagi sibuk mencari arah di luar. Tidak berharap ada komandan datang membawa peta dan strategi. Karena saya tahu, komando tertinggi kini datang dari dalam diri sendiri -- dan tugas saya adalah mendengarkan dengan jujur, dan menaati dengan penuh hormat.

Tentu saja, kadang saya masih membangkang. Kadang suara komando itu berkata, “ayo mulai menulis,” tapi saya malah membuka YouTube. Kadang dia berkata, “jaga makanan hari ini,” tapi saya malah menyendok es krim jam sembilan malam.

Tapi seperti dalam latihan militer, disiplin bukan soal selalu benar. Disiplin adalah soal kembali lagi ke jalur setiap kali keluar.

Saya bukan prajurit elit, hanya veteran tua yang nyasar. Tapi saya tahu satu hal: selama saya masih bisa mendengarkan suara hati saya sendiri, dan selama saya masih mau melangkah, meski perlahan,  saya masih berada di jalur yang benar.

Dan mungkin, suatu saat nanti, tanpa saya sadari, langkah-langkah kecil itu akan membawa saya keluar dari wilayah musuh, menuju kebebasan, dengan kepala tegak.


HOME