Dalam peperangan, ada satu hal yang menentukan arah pasukan: komando. Tanpa suara komando yang jelas, pasukan bisa kacau, saling tunggu, bahkan saling tembak. Tapi bayangkan kalau Anda menjadi prajurit yang, entah karena apa, tertinggal di belakang garis musuh. Radio putus. Komandan tidak bisa dihubungi. Kompas rusak. Dan Anda sendirian, hanya ditemani suara di dalam kepala yang berubah-ubah seperti cuaca, kadang tegas, kadang pesimis, kadang hanya menggumamkan lagu lama yang entah kenapa selalu muncul saat situasi kritis.
Itulah yang saya rasakan saat ini.
Pada awalnya hidup tanpa komando dari luar memang menjadi
pilihan, itu sebabnya saya memilih menjadi pengusaha. Bisa bekerja kapan saja
saya. Tidak ada tuntutan sistem dari atasan. Tidak ada target. Yang ada hanya
satu, saya dan hidup saya sendiri. Dan jujur, ternyata tidak semudah
kedengarannya.
Semula saya pikir, ini kesempatan emas. Bebas! Bisa
menentukan arah sendiri, membangun ulang hidup sesuai nilai yang saya pilih
sendiri. Tapi ternyata, ketika semua arah terbuka untuk dijelajahi, saya justru
menjadi bingung dan tidak tahu harus ke mana.
Saya sempat mencoba membuat to-do list harian, mingguan,
bahkan bulanan. Tapi sering kali daftar itu hanya tinggal daftar. Bukan karena
tidak ada semangat. Tapi karena komando dari dalam diri saya sendiri tidak
konsisten. Kadang optimis luar biasa. Kadang skeptis parah. Kadang berteriak “Lakukan
sekarang juga!” lalu besoknya berdalih, “Buat apa?”
Lalu saya sadar: ini bukan soal daftar. Ini soal siapa
sebenarnya yang pegang kendali di dalam diri saya.
Ternyata selama ini, "komando" saya sering diambil
oper oleh emosi. Kadang oleh rasa bersalah karena masa lalu, kadang oleh ambisi
yang tidak jelas arahnya. Kadang oleh rasa takut, dan lebih sering lagi oleh
kebiasaan lama yang nyaman tapi mandek.
Saya mulai belajar membedakan suara-suara itu. Mana suara si
takut, mana suara si males, mana suara si pengin cepat selesai tapi ogah
menjalani proses, mana suara yang sebenarnya murni, jernih, dan ingin kebaikan.
Tidak mudah. Kadang saya baru menyadarinya setelah telanjur
melakukan sesuatu yang tidak sejalan dengan niat hati. Kadang baru sadar
setelah satu hari berlalu begitu saja tanpa makna, hanya karena menuruti suara
impulsif yang bilang, “santai dulu, waktumya masih panjang.” – Dalam bahasa
guyon masa kecil dulu, “Tenang, Belanda masih jauh.”
*** Iya, Belandanya jauh, tapi yang muncul dalam senyap ternyata
China. langsung ngobok-obok sampai jauh. ***
Tapi seperti prajurit kesasar yang mulai belajar membaca
arah angin tanpa alat, saya mulai bisa merasakan, “Ini bukan suara asli saya.
Ini hanya gema dari trauma lama, mirip kaset rusak yang diputar ulang.”
Atau,
“Ini suara yang murni. Tidak berteriak, tapi tenang dan
mantap.”
Dan lucunya, semakin saya mendengarkan suara yang tenang
itu, hidup jadi lebih ringan. Tidak ada desakan harus terburu-buru. Tidak harus
sempurna. Cukup satu-dua hal kecil setiap hari, tapi dilakukan dengan sadar dan
sepenuh hati.
Saya menyebutnya komando sunyi.
Bukan karena dia tidak terdengar, tapi karena ia berbicara
pelan, jernih, dan hanya bisa didengar kalau saya diam cukup lama.
Kadang suara itu muncul saat saya duduk diam melihat langit
sore. Kadang saat mencuci piring, atau saat menuliskan kalimat jujur di blog.
Dan anehnya, suara itu tidak memaksa. Tidak menghardik. Tapi justru karena itu,
dia terasa bisa dipercaya.
Kini saya tidak lagi sibuk mencari arah di luar. Tidak
berharap ada komandan datang membawa peta dan strategi. Karena saya tahu,
komando tertinggi kini datang dari dalam diri sendiri -- dan tugas saya adalah
mendengarkan dengan jujur, dan menaati dengan penuh hormat.
Tentu saja, kadang saya masih membangkang. Kadang suara
komando itu berkata, “ayo mulai menulis,” tapi saya malah membuka YouTube.
Kadang dia berkata, “jaga makanan hari ini,” tapi saya malah menyendok es krim
jam sembilan malam.
Tapi seperti dalam latihan militer, disiplin bukan soal
selalu benar. Disiplin adalah soal kembali lagi ke jalur setiap kali keluar.
Saya bukan prajurit elit, hanya veteran tua yang nyasar.
Tapi saya tahu satu hal: selama saya masih bisa mendengarkan suara hati saya
sendiri, dan selama saya masih mau melangkah, meski perlahan, saya masih berada di jalur yang benar.
Dan mungkin, suatu saat nanti, tanpa saya sadari,
langkah-langkah kecil itu akan membawa saya keluar dari wilayah musuh, menuju kebebasan,
dengan kepala tegak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar