27 Desember 2024

Melukis Ulang Hidup: Dari Coretan Gelap Menuju Kedamaian

Kata orang, hidup hanya sekali. Tapi bagi saya, hidup bukanlah satu garis lurus yang dilewati sekali dan selesai. Hidup adalah lembaran-lembaran yang berganti setiap hari. Kalau umur saya sekarang 62, artinya saya sudah hidup lebih dari dari 22.600 kali. Sebanyak itu pula saya menggoreskan warna di atas kanvas kehidupan.

Namun, jika saya menengok kembali lukisan-lukisan itu, hasilnya tidak selalu indah. Diantara goresan-goresan yang membanggakan, kenangan manis, pencapaian kecil, momen-momen yang membuat hati berbinar, sebagian tertutup coreng-moreng warna gelap: kecemasan, kebiasaan buruk, keputusan yang terburu-buru, dan rutinitas yang hampa makna.

Sempat sedikit kecewa, tapi kemudian justru bersyukur, karena saya masih bisa melihat dengan jujur betapa berantakannya lukisan hidup saya saat ini. Bersyukur karena tanpa mencari kambing hitam, tanpa ngeles, tanpa menyalahkan masa lalu atau orang lain, hati saya mau diajak kompromi dan terbuka untuk memperbaikinya.

Saya memutuskan untuk kembali melukis. Bukan dengan ambisi menciptakan mahakarya, tapi dengan tekad sederhana, membuat goresan yang lebih tenang, lebih penuh perasaan, dan lebih bermakna. Karena saya tahu, kanvas kehidupan ini suatu hari nanti akan digulung untuk selamanya. Bila saat itu tiba, saya ingin mempersembahkan lukisan yang indah kepada alam semesta.

Setelah bertahun-tahun mencoba memperbaiki hidup dengan semangat menggebu, ritual rumit, atau mengejar solusi instan, saya akhirnya sadar, perubahan yang tahan lama tidak dimulai dari tindakan besar. Dia lahir dari hal-hal kecil, yang dilakukan dengan kesadaran dan sepenuh hati.

Tak ada yang melarang saya berangan-angan menciptakan karya terindah di sisa waktu ini—kecuali saya sendiri. Tapi, karena tidak ada buku panduan cara memulainya, saya mencoba mendengarkan suara hati. Sungguh-sungguh membuka telinga batin, agar tak ada lagi sinyal yang terlewat.

Hasilnya, setiap pagi, sebelum alarm jam setengah empat berbunyi, saya sudah terjaga. Bukan sekedar melek, tapi badan sudah benar-benar bangun. Semua “nyawa” yang semalam kelayaban sudah ngumpul.

Setelah berterimakasih, karena masih diberi kesempatan bernafas, saya mengawali hari dengan aktifitas rutin sederhana, beres-beres rumah. Lepas subuh, saya berangkat menuju lapangan. Jalan kaki tanpa alas di rumput yang masih basah oleh embun.

Awalnya saya berjalan cepat, mengikuti lagu dengan birama 4/4 dari headphone. Sepuluh putaran selesai dalam waktu setengah jam. Cukup membuat badan hangat dan otot-otot tidak kaku.

Tapi suatu pagi, saat lagu berganti dan langkah saya melambat, saya merasakan sensasi yang berbeda. Sentuhan rumput yang basah terasa lebih dingin di kaki, tapi menyegarkan, dan membuat tubuh terasa lebih ringan.

Saya mulai menikmatinya. Saya ganti lagu berirama riang dengan musik instrumentalia yang lebut diselingi kicau burung dan gemericik air. Saya berjalan lebih lambat, santai, dan tidak lagi menetapkan target aerobik. Tidak peduli ketika ada yang menganggap saya kurang. Tidak pula perduli durasinya menjadi lebih lama dua kali lipat. Satu-satunya yang masih saya perhatikan hanya detak jantung, sesuai pesan dokter, tidak boleh lebih dari 130 bpm.

Ternyata, menapakkan kaki atau jalan di tanah tanpa alas punya nama keren, Grounding. Menghubungkan tubuh secara langsung dengan medan elektromagnetik bumi. Menurut laman Alodokter, Grounding punya banyak manfaat untuk kesehatan. Diantaranya, meningkatkan imun tubuh, mengurangi peradangan dan menurunkan tekanan darah.

Saya tidak punya alasan untuk meragukannya, tapi bagi saya, sensasi selama berjalan itulah yang paling terasa nyata. Manfaat yang lain, seandainya terjadi, anggap saja bonus.

Barangkali, santai dan tanpa target justru membuat tubuh saya menjadi selaras dengan bumi, membuat pegel-pegel berkurang lumayan signifikan. Sementara dalam beberapa kali pengukuran pada kesempatan berbeda, tekanan darah saya anteng di 90/130 – dari biasanya di kisaran 95/160. Nafas juga menjadi lebih panjang.

Sebelumnya, otak saya mirip monyet liar. Lompat sana-sini, berpindah dari satu kecemasan ke kecemasan lain. Sekarang lebih tenang. Sapuan kuas di kanvas menorehkan warna yang cerah. Meskipun masih abstrak, tapi goresannya mulai teratur.

Saya tidak tahu, berapa lama lagi kesempatan yang masih tersisa. Tapi saya tidak ingin mengisi kanvas kehidupan saya dengan coretan gelap lagi. Tidak perlu sempurna. Tidak perlu spektakuler.  Saya ingin setiap hari jadi goresan yang lebih tenang, lebih penuh rasa, dan lebih bermakna.

06 Desember 2024

Kembali Melukis dengan Hati

Kata orang, hidup hanya sekali. Tapi bagi saya, hidup bukanlah satu garis lurus yang dilewati sekali dan selesai. Hidup adalah lembaran-lembaran yang berganti setiap hari. Kalau umur saya sekarang 62, artinya saya sudah hidup lebih dari dari 22.600 kali. Sebanyak itu pula saya menggoreskan warna di atas kanvas kehidupan.

Namun, jika saya menengok kembali lukisan-lukisan itu, hasilnya tidak selalu indah. Diantara goresan-goresan yang membanggakan, kenangan manis, pencapaian kecil, momen-momen yang membuat hati berbinar, sebagian tertutup coreng-moreng warna gelap: kecemasan, kebiasaan buruk, keputusan yang terburu-buru, dan rutinitas yang hampa makna.

Sempat sedikit kecewa, tapi kemudian justru bersyukur, karena saya masih bisa melihat dengan jujur betapa berantakannya lukisan hidup saya saat ini. Bersyukur karena tanpa mencari kambing hitam, tanpa ngeles, tanpa menyalahkan masa lalu atau orang lain, hati saya mau diajak kompromi dan terbuka untuk memperbaikinya.

Saya memutuskan untuk kembali melukis. Bukan dengan ambisi menciptakan mahakarya, tapi dengan tekad sederhana, membuat goresan yang lebih tenang, lebih penuh perasaan, dan lebih bermakna. Karena saya tahu, kanvas kehidupan ini suatu hari nanti akan digulung untuk selamanya. Bila saat itu tiba, saya ingin mempersembahkan lukisan yang indah kepada alam semesta.

Setelah bertahun-tahun mencoba memperbaiki hidup dengan semangat menggebu, ritual rumit, atau mengejar solusi instan, saya akhirnya sadar, perubahan yang tahan lama tidak dimulai dari tindakan besar. Dia lahir dari hal-hal kecil, yang dilakukan dengan kesadaran dan sepenuh hati.

Saya boleh berangan-angan menciptakan karya terindah di sisa waktu ini. Tidak ada yang melarang, tidak ada yang membatasi—kecuali diri saya sendiri. Tapi, karena tidak ada buku panduan cara memulainya, saya mencoba mendengarkan suara hati. Sungguh-sungguh membuka telinga batin, agar tak ada lagi sinyal yang terlewat.

Hasilnya, setiap pagi, sebelum alarm jam setengah empat berbunyi, saya sudah terjaga. Bukan sekedar melek, tapi badan sudah benar-benar bangun. Semua “nyawa” yang semalam kelayaban sudah ngumpul.

Setelah berterimakasih, karena masih diberi kesempatan bernafas, saya mengawali hari dengan aktifitas rutin sederhana, beres-beres rumah. Lepas subuh, saya berangkat menuju lapangan. Jalan kaki tanpa alas di rumput yang masih basah oleh embun.

Awalnya saya berjalan cepat, mengikuti lagu dengan birama 4/4 dari headphone. Sepuluh putaran selesai dalam waktu setengah jam. Cukup membuat badan hangat dan otot-otot tidak kaku.

Tapi suatu pagi, saat lagu berganti dan langkah saya melambat, saya merasakan sensasi yang berbeda. Sentuhan rumput yang basah terasa lebih dingin di kaki, tapi menyegarkan, dan membuat tubuh terasa lebih ringan.

Saya mulai menikmatinya. Saya ganti lagu berirama riang dengan musik instrumentalia yang lebut diselingi kicau burung dan gemericik air. Saya berjalan lebih lambat, santai, dan tidak lagi menetapkan target aerobik. Tidak peduli ketika ada yang menganggap saya kurang. Tidak pula perduli durasinya menjadi lebih lama dua kali lipat. Satu-satunya yang masih saya perhatikan hanya detak jantung, sesuai pesan dokter, tidak boleh lebih dari 130 bpm.

Ternyata, menapakkan kaki atau jalan di tanah tanpa alas punya nama keren, Grounding. Menghubungkan tubuh secara langsung dengan medan elektromagnetik bumi. Menurut laman Alodokter, Grounding punya banyak manfaat untuk kesehatan. Diantaranya, meningkatkan imun tubuh, mengurangi peradangan dan menurunkan tekanan darah.

Saya tidak punya alasan untuk tidak percaya, tapi bagi saya, sensasi yang saya rasakan selama berjalan, lebih penting. Manfaat yang lain, seandainya terjadi, anggap saja bonus.

Barangkali, santai dan tanpa target justru membuat tubuh saya menjadi selaras dengan bumi, membuat pegel-pegel berkurang lumayan signifikan. Sementara dalam beberapa kali pengukuran pada kesempatan berbeda, tekanan darah saya anteng di 90/130 – dari biasanya di kisaran 95/160. Nafas juga menjadi lebih panjang.

Sebelumnya, otak saya mirip monyet liar. Lompat sana-sini, berpindah dari satu kecemasan ke kecemasan lain. Sekarang lebih tenang. Sapuan kuas di kanvas menorehkan warna yang cerah. Meskipun masih abstrak, tapi goresannya mulai teratur.

Saya tidak tahu, berapa lama lagi kesempatan yang masih tersisa. Tapi saya tidak ingin mengisi kanvas kehidupan saya dengan coretan gelap lagi. Tidak perlu sempurna. Tidak perlu spektakuler.  Saya ingin setiap hari jadi goresan yang lebih tenang, lebih penuh rasa, dan lebih bermakna.

20 November 2024

Satpam Otak dan Belenggu yang Saya Buat Sendiri


Sudah lebih dari setahun sejak saya menyadari bahwa hidup saya justru makin morat-marit setelah saya berusaha menata diri. Sepertinya, dugaan semula bahwa kondisi yang semakin berat itu hanya merupakan proses menuju kebaikan, tidak lebih dari pepesan kosong. Realitanya, semakin ke sini, saya malah merasa semakin ke sono. Semakin jauh dari harapan.

Pertanyaan “Sampai kapan begini terus?” makin sering menggema di kepala. Nalar saya mulai tidak sabar. Beberapa kali mencoba mengambil alih kendali, memaksa saya menyerah dan kembali ke masa lalu—di mana semuanya serba pas-pasan, tapi terasa lebih nyaman. Setidaknya bukan seperti sekarang, finansial tambah jeblog, kesehatan mundur, fisik tambah rapuh, dan berbagai masalah tidak lagi datang bergantian, melainkan rame-rame, seakan sudah saling janjian sebelumnya.

Tapi, selalu saja ada bisikan kecil yang muncul dan berharap, “Jangan nyerah dulu. Mungkin caramu yang keliru. Coba kamu telusuri ulang perjalananmu.”

Di sini saya baru sadar betapa sulitnya menjalankan nasihat para motivator. Ucapannya manis, enak di telinga, tapi ketika dilakoni ternyata hanya muter-muter tanpa hasil. Membuat mental makin lelah.

Perasaan, semua sudah saya kerjakan sesuai petunjuk yang saya baca di buku-buku motivasi dan video-video pengembangan diri. Saya juga paham bahwa afirmasi bukan sekedar kata-kata. Bahwa alam semesta tidak merespon niat, melainkan keselarasan. Bahwa doa harus disampaikan melalui hati, bukan sekedar diucapkan di mulut. Tapi kenapa usaha saya untuk maju malah seperti ditarik mundur?

Tiba-tiba, dalam satu momen yang tak terduga, seseorang yang sudah sangat lama tidak pernah ketemu, muncul begitu saja sambil memaki. "GUNAKAN OTAKMU!!!!". Padahal sepanjang saya kenal, beliau selalu bicara santun. Repotnya, bayangan itu muncul berulang.

Daripada bingung sendiri, saya anggap makian itu sebagai sinyal ajakan dari alam semesta untuk berkomunikasi.

Seperti biasa, ketika pikiran mulai lelah menghadapi teka-teki alam semsta, sisi diri saya yang ugal-ugalan mengambil alih kendali. “Gosah main tebak-tebakan. Diet nasiku cuma  empat sendok sekali makan. Jangan membuat aku lapar lagi!”

Entah kebetulan, atau memang alam semesta cederung merespon kelakuan ugal-ugalan, di otak saya laungsung muncul kalimat “Recticular Activating System”. Bukan hanya sejelas kristal, juga diikuti petunjuk, “Tanya mbah Gugel”.

Sekilas saja saya membaca penjelasan di Google, ingatan saya langsung mundur sekian puluh tahun, saat Ibu berusaha membantu saya bangkit dari keterpurukan mental, akibat terlalu lama dan terlalu sering dibully. 

Kata Ibu, saya tidak perlu dendam, saya harus belajar melihat segala sesuatu dari sisi yang baik, supaya “penjaga” otak saya tidak keliru memberi umpan kepada otak. Umpan yang berkonotasi buruk akan membuat otak berada dalam mekanisme bertahan, sementara yang baik akan membuat otak lebih kreatif.

Nasib baik hanya bisa terwujud ketika otak kreatif. Mekanisme bertahan akan membuat saya terblenggu.   

Dalam penjelasan di Google, Recticular …. Aaahhh, biar lidah saya tidak keseleo saat mengeja, saya tulis RAS saja. Menurut Gugel, RAS adalah jaringan saraf di batang otak, berfungsi menyaring informasi sensorik, sebelum informasinya diteruskan ke bagian otak yang lebih tinggi.

Ada satpam di gerbang otak, yang berperan sebagai tukang sensor. Segala sesuatu yang “dianggap tidak pantas”, dihalangi. Masalahnya, tukang sensor itu tidak bekerja berdasar pertimbangan moral antara baik dan buruk atau mempertimbangkan manfaat jangka panjang. Tukang sensor itu hanya meloloskan informasi yang membuat otak merasa nyaman.

Sepertinya RAS bekerja mirip algoritma YouTube, yang selalu menampilkan konten-konten yang biasa kita tonton sebelumnya, bukan yang seharusnya kita lihat. Kalau kita terbiasa nonton video drama Korea, jangan harap YouTube merekomendasikan video tutorial meditasi. Kalau selama bertahun-tahun saya terbiasa dengan pikiran penuh ragu, kecemasan, atau perasaan kurang layak, RAS di gerbang otak hanya akan meloloskan segala sesuatu yang memperkuat keraguan, dan mengabaikan tanda-tanda harapan.

Ketika saya mulai berubah, RAS panik. Dia anggap perubahan itu "tidak biasa", punya potensi "berbahaya". Akhirnya, secara diam-diam, RAS menarik saya kembali pada zona nyaman, tidak perduli seandainya zona itu, bagi nalar, justru mendatangkan banyak masalah, dan menyakitkan.

Sekarang saya mulai paham, belenggu yang selama ini menarik saya mundur bukan kelemahan moral, melainkan mekanisme pertahanan otak. Bukan karena saya tidak mampu berubah, tapi karena otak  belum diberi cukup alasan untuk percaya bahwa perubahan itu aman.

Otak tidak sedang berbuat jahat, melainkan hanya berusaha melindungi saya dari potensi bahaya. Caranya keliru, tapi niatnya tulus.

Supaya usaha saya memperbaiki nasib tidak mendapat penolakan dari otak, saya harus kompromi terlebih dahulu. Tapi, bagaimana bisa kompromi kalau di gerbang dicegat dan dihalangi, karena dianggap sebagai pemberontak yang punya niat buruk?

Tuhan selalu punya niat baik. Alam semesta, sebagai representasi Tuhan, juga bekerja berdasar niat baik. Tubuh manusia-termasuk RAS, merupakan bagian dari Alam Semesta, juga harus diperlakukan secara baik. Perlawanan atau melakukan aktifitas yang bisa dianggap melawan kebiasaan, akan membuahkan penolakan.

Maka saya harus melakukan pendekatan secara pelan-pelan, dan menggunakan sinyal baru. Saat bangun tidur tidak langsung bangkit dari kasur, tapi duduk sejenak. Mengganti afirmasi keras, “Saya pasti bisa” dengan kalimat “Saya membuka diri untuk berprestasi.”

Saya tahu, ini proses panjang, karena belenggu itu tidak dibentuk dalam sehari. Tapi sekarang saya tahu, belenggu itu bisa dilonggarkan. Satpam otak bisa diajak berunding, selama saya sabar, dan tidak berhenti mengetuk pintunya.

03 Januari 2024

Humor dan Harapan, Survival Kit di Medan Ranjau


Saya tidak pernah menyangka bahwa dua hal sederhana, humor dan harapan, bisa menjadi penopang utama ketika hidup saya seperti kapal kecil yang terombang-ambing di lautan badai. Umur tak lagi muda, tubuh mulai rewel, dan kenyataan bahwa pasangan hidup saya didiagnosis kanker,  semua itu bisa dengan mudah menggulung saya ke jurang putus asa.

Tapi justru di tengah kesuraman itu, muncul celah-celah terang. Bukan dari keajaiban langit atau mukjizat dramatis, melainkan dari hal-hal sederhana, candaan receh, kelucuan yang datang tiba-tiba, dan harapan-harapan kecil yang tampaknya sepele - tapi ternyata ampuh menjaga semangat hidup tetap menyala.

________________________________________

Humor: Obat Anti-Gila di Tengah Kekacauan

Ada masa-masa ketika saya terlalu serius menjalani hidup. Terlalu khawatir. Terlalu takut salah langkah. Terlalu ingin semuanya sempurna. Tapi saat saya mendampingi istri menghadapi terapi kanker, saya belajar satu hal penting, kalau semua dibawa tegang, kepala ini bisa pecah.

Lalu muncullah guyonan sebagai penyelamat tak terduga. Kadang muncul dari orang lain, kadang dari istri sendiri, kadang dari saya - biasanya tanpa sengaja.

Seperti ketika saya sedang mencari tahu tentang kolostomi. Salah satu narasumber, seorang survivor kanker usus sekaligus ostomate (sudah memakai stoma bag), malah santai saja membahas "anus yang disegel permanen", kentut yang nyaring seperti suara sirene, saat mules tidak perlu buru-buru cari WC, dan perut yang tampak buncit karena celana terganjal kantong. Saya terkekeh, bukan karena mengejek, tapi karena merasa manusiawi sekali.

Atau suatu sore, ketika saya hendak ambil uang di ATM, tiba-tiba muncul pesan di layar, ATM minta maaf lantaran sedang bokek. Stok uang habis, belum diisi kembali. Saya menoleh ke istri dan spontan berkata, “Lebaran masih jauh, tapi ATM sudah minta maaf duluan.” Dia tertawa lemah, tapi cukup membuat sore itu jadi lebih ringan.

Dan ternyata, candaan seperti itu bisa jadi vitamin harian. Meski tubuh sakit, saldo menipis, dan malam terasa panjang, tertawa tetap gratis dan menyembuhkan.

Ada yang bilang:

“Kalau kamu bisa tertawa di saat sulit, bukan berarti kamu menyangkal kenyataan, tapi kamu sedang menolak untuk dikalahkan olehnya.”

Saya percaya.

Saya belajar untuk menertawakan hal-hal yang tak bisa saya ubah. Termasuk ketika istri mulai berdamai dengan kemungkinan memakai stoma bag. Bayangkan — dari seorang perempuan yang dulu aktif, mandiri, dan modis, kini harus beradaptasi dengan sesuatu yang ‘nongol dari perut’. Tapi alih-alih menyesali nasib, ia malah berkata, “Kalau ini memang harus jadi ‘teman hidup’, kita ajak akrab saja.” Kami tertawa. Meski getir, tetap terasa lega.

________________________________________

Harapan: Lilin Kecil yang Menuntun Jalan

Kalau humor adalah vitamin, maka harapan adalah bahan bakarnya. Tapi bukan harapan besar, bukan harapan yang mewah. Cukup harapan kecil, secuil cahaya yang bisa menuntun langkah ke hari berikutnya.

Kadang harapan itu datang dari anak. Walau sibuk kuliah, tetap menyempatkan memasak menu khusus untuk diet kami. Padahal repotnya minta ampun. Tanpa sambel dan lalapan, tanpa telur, tanpa dressing, tanpa gorengan, tanpa kerupuk, tanpa daging merah, tanpa udang, sebagian besar masakan terasa seperti uji kesabaran lidah. Tapi dia tetap mencoba, dan kami tetap makan sambil bercanda, pura-pura menjadi peserta MasterChef Versi Kanker.

Kadang harapan datang dari teman lama yang tiba-tiba mengirim pesan, “Aku baca tulisanmu di blog. Terima kasih, ya. Rasanya aku nggak sendirian sekarang.”

Kadang dari pembaca yang tidak saya kenal, yang menulis di kolom komentar:

“Tulisanmu bikin aku nangis dan ketawa sekaligus. Aku juga sedang mendampingi suami yang sakit. Terima kasih sudah berbagi.”

Dan di sanalah saya sadar, berbagi cerita, berbagi tawa, dan berbagi harapan bukan hanya menyembuhkan orang lain — tapi juga menyembuhkan diri sendiri.

________________________________________

Jalan Terus, Meski Pelan

Hidup memang tidak mudah. Tidak ada jaminan semuanya akan baik-baik saja. Tapi selama kita masih bisa tertawa, dan masih punya secuil harapan, saya percaya, kita belum kalah.

Mungkin langkah kita pelan. Mungkin badan lelah dan hati remuk. Tapi kita tetap jalan. Kadang sambil tertawa geli karena kesalahan kecil. Kadang sambil menitik air mata karena komentar sederhana dari orang tak dikenal. Tapi tetap jalan.

Jadi, kalau hidup sedang terasa berat, cobalah ketawa. Bukan karena semuanya lucu, tapi karena kadang kita cuma punya dua pilihan: ketawa atau gila.

Dan kalau bisa memilih, saya lebih suka ketawa.


01 Januari 2024

Komando Dari Dalam Diri

Dalam peperangan, ada satu hal yang menentukan arah pasukan: komando. Tanpa suara komando yang jelas, pasukan bisa kacau, saling tunggu, bahkan saling tembak. Tapi bayangkan kalau Anda menjadi prajurit yang, entah karena apa, tertinggal di belakang garis musuh. Radio putus. Komandan tidak bisa dihubungi. Kompas rusak. Dan Anda sendirian, hanya ditemani suara di dalam kepala yang berubah-ubah seperti cuaca, kadang tegas, kadang pesimis, kadang hanya menggumamkan lagu lama yang entah kenapa selalu muncul saat situasi kritis.

Itulah yang saya rasakan saat ini.

Pada awalnya hidup tanpa komando dari luar memang menjadi pilihan, itu sebabnya saya memilih menjadi pengusaha. Bisa bekerja kapan saja saya. Tidak ada tuntutan sistem dari atasan. Tidak ada target. Yang ada hanya satu, saya dan hidup saya sendiri. Dan jujur, ternyata tidak semudah kedengarannya.

Semula saya pikir, ini kesempatan emas. Bebas! Bisa menentukan arah sendiri, membangun ulang hidup sesuai nilai yang saya pilih sendiri. Tapi ternyata, ketika semua arah terbuka untuk dijelajahi, saya justru menjadi bingung dan tidak tahu harus ke mana.

Saya sempat mencoba membuat to-do list harian, mingguan, bahkan bulanan. Tapi sering kali daftar itu hanya tinggal daftar. Bukan karena tidak ada semangat. Tapi karena komando dari dalam diri saya sendiri tidak konsisten. Kadang optimis luar biasa. Kadang skeptis parah. Kadang berteriak “Lakukan sekarang juga!” lalu besoknya berdalih, “Buat apa?”

Lalu saya sadar: ini bukan soal daftar. Ini soal siapa sebenarnya yang pegang kendali di dalam diri saya.

Ternyata selama ini, "komando" saya sering diambil oper oleh emosi. Kadang oleh rasa bersalah karena masa lalu, kadang oleh ambisi yang tidak jelas arahnya. Kadang oleh rasa takut, dan lebih sering lagi oleh kebiasaan lama yang nyaman tapi mandek.

Saya mulai belajar membedakan suara-suara itu. Mana suara si takut, mana suara si males, mana suara si pengin cepat selesai tapi ogah menjalani proses, mana suara yang sebenarnya murni, jernih, dan ingin kebaikan.

Tidak mudah. Kadang saya baru menyadarinya setelah telanjur melakukan sesuatu yang tidak sejalan dengan niat hati. Kadang baru sadar setelah satu hari berlalu begitu saja tanpa makna, hanya karena menuruti suara impulsif yang bilang, “santai dulu, waktumya masih panjang.” – Dalam bahasa guyon masa kecil dulu, “Tenang, Belanda masih jauh.”

*** Iya, Belandanya jauh, tapi yang muncul dalam senyap ternyata China. langsung ngobok-obok sampai jauh. ***  

Tapi seperti prajurit kesasar yang mulai belajar membaca arah angin tanpa alat, saya mulai bisa merasakan, “Ini bukan suara asli saya. Ini hanya gema dari trauma lama, mirip kaset rusak yang diputar ulang.”

Atau,

“Ini suara yang murni. Tidak berteriak, tapi tenang dan mantap.”

Dan lucunya, semakin saya mendengarkan suara yang tenang itu, hidup jadi lebih ringan. Tidak ada desakan harus terburu-buru. Tidak harus sempurna. Cukup satu-dua hal kecil setiap hari, tapi dilakukan dengan sadar dan sepenuh hati.

Saya menyebutnya komando sunyi.

Bukan karena dia tidak terdengar, tapi karena ia berbicara pelan, jernih, dan hanya bisa didengar kalau saya diam cukup lama.

Kadang suara itu muncul saat saya duduk diam melihat langit sore. Kadang saat mencuci piring, atau saat menuliskan kalimat jujur di blog. Dan anehnya, suara itu tidak memaksa. Tidak menghardik. Tapi justru karena itu, dia terasa bisa dipercaya.

Kini saya tidak lagi sibuk mencari arah di luar. Tidak berharap ada komandan datang membawa peta dan strategi. Karena saya tahu, komando tertinggi kini datang dari dalam diri sendiri -- dan tugas saya adalah mendengarkan dengan jujur, dan menaati dengan penuh hormat.

Tentu saja, kadang saya masih membangkang. Kadang suara komando itu berkata, “ayo mulai menulis,” tapi saya malah membuka YouTube. Kadang dia berkata, “jaga makanan hari ini,” tapi saya malah menyendok es krim jam sembilan malam.

Tapi seperti dalam latihan militer, disiplin bukan soal selalu benar. Disiplin adalah soal kembali lagi ke jalur setiap kali keluar.

Saya bukan prajurit elit, hanya veteran tua yang nyasar. Tapi saya tahu satu hal: selama saya masih bisa mendengarkan suara hati saya sendiri, dan selama saya masih mau melangkah, meski perlahan,  saya masih berada di jalur yang benar.

Dan mungkin, suatu saat nanti, tanpa saya sadari, langkah-langkah kecil itu akan membawa saya keluar dari wilayah musuh, menuju kebebasan, dengan kepala tegak.


HOME