26 Desember 2023

Perang Sunyi Melawan Ketakutan

Semula saya menyangka, musuh terberat datang dari luar. Penyakit, krisis finansial, atau tekanan hidup. Ternyata salah. Perang paling berat, paling melelahkan, dan paling menyedot tenaga, justru terjadi di dalam kepala saya sendiri.

Musuh tidak pernah menampakkan wajah. Dia tidak mengangkat senjata, tidak meneriakkan ancaman, tapi bisikannya terus-menerus, tanpa jeda, seperti siaran radio rusak, mengulang pesan sama, "Kamu tidak cukup kuat. Kamu pasti gagal. Untuk apa mencoba?"

Dulu saya pikir, asal cukup semangat, semua bisa dilawan. Kalau jatuh, bangkit. Kalau gagal, coba lagi. Kalau belum sukses, tinggal tambah kopi, tambah doa, tambah lembur. Tapi ternyata tidak segampang itu. Semangat bisa luntur, niat bisa menguap. Hanya menyisakan kecemasan, penundaan, dan rasa bersalah yang semakin menumpuk seperti utang lama yang tak kunjung lunas.

Saya pernah mengira kebiasaan menunda hanya berkaitan denganl malas. Ternyata tidak. Dia lebih mirip strategi bertahan dari otak yang kelelahan, membuat saya menjadi takut menghadapi hasil akhir, terlalu sering membayangkan kegagalan, sampai-sampai tidak berani mulai. Takut salah, takut kurang sempurna, takut dianggap bodoh. Aneh, padahal tidak ada orang lain yang tau. Tidak ada yang menilai. Hanya saya, dan suara-suara di dalam pikiran.

Saya pernah duduk diam berjam-jam di depan komputer, membuka dokumen, lalu menutupnya lagi. Bukan karena tidak punya ide, tapi takut ide itu akan terlihat konyol. Takut tulisan saya dibaca orang dan mereka berpikir: “Ini mah nggak penting, basi.” Padahal belum tentu juga dibaca orang.

Ironis ya. Kadang saya takut pada hal-hal yang bahkan belum terjadi.

Saya menyebutnya sebagai perang sunyi. Tidak ada ledakan, tidak ada dramatisasi. Sementara korban-korbannya sangat nyata, banyak waktu terbuang sia-sia, kesempatan lewat begitu saja, dan yang paling parah, keyakinan diri yang pelan-pelan tergerus sampai nyaris hilang.

Sampai suatu ketika, saya mulai mendengarkan tubuh. Napas yang dangkal, kepala berat, ketegangan di perut dan sensasi halus di tengkuk. Ternyata, tubuh saya menyimpan rekam jejak rasa takut lebih jujur daripada pikiran. Saat pikiran sibuk menyembunyikan kecemasan dengan berbagai dalih dan pembenaran, tubuh diam-diam mencatat semuanya melalui denyut jantung yang tak biasa, lewat otot yang mengeras tanpa sebab, atau keringat dingin di malam hari.

Kondisi ini sepertinya dipahami oleh dokter yang terakhir saya kunjungi, sehingga beliau cenderung menyarankan saya konsultasi ke psikolog ketimbang memberi obat -- Selama hampir tiga tahun saya menjadi pasien, beliau hanya sedikit saja memberi obat.

Berhubung saya tidak gampang berbagi perasaan dengan orang yang tidak saya kenal, saya memilih menemui seseorang yang 30an tahun lalu pernah menjadi pendamping spiritual saya. Beliau sudah sangat sepuh, tapi masih mengenali saya sebagai murid paling ngeyelan dan sering mengajukan pertanyaan kritis.   

Sebenarnya saya ingin curhat banyak, tapi melihat kondisi beliau, akhirnya kami hanya bernostalgia tentang masa lalu. Itupun tidak lama. Meskipun raut wajahnya nampak ceria, saya menangkap kelelahan di matanya.

Sebelum berpisah, beliau sempat mengingatkan tentang nasehat yang dulu pernah beliau sampaikan, “Jaga pikiranmu, jangan biarkan semaunya. Atau kamu akan menghadapi banyak kesulitan.”

Saya mulai kembali latihan pernapasan ringan. Bukan karena ingin jadi yogi atau spiritualis, tapi karena ingin bisa tidur nyenyak tanpa dihantui kekhawatiran imajiner. Dan pelan-pelan, saya bisa merasakan, ternyata pikiran bisa diajak berdamai. Asal saya tidak terus-terusan percaya pada semua yang dia bisikkan.

Saya juga mulai menulis. Bukan untuk dibaca orang lain, tapi untuk membongkar isi kepala sendiri. Kadang saya hanya menulis "hari ini takut", atau "malas banget, tapi tidak tahu kenapa". Dan pelan-pelan, saya mulai paham, rasa takut tidak harus dimusuhi. Hanya ingin didengar. Seperti veteran tua yang cuma ingin diberi pengertian.

Sekarang saya tahu, saya sedang menjalani misi. Misi untuk mengenali, menerima, dan melampaui ketakutan. Bukan untuk jadi sempurna. Tapi untuk bisa hidup dengan tenang, dan tetap bergerak walau pelan.

Tentu saja perjalanan masih panjang. Saya belum menang, bahkan sejujurnya, masih sering kalah. Saya masih suka menunda, masih suka kabur dari hal-hal yang penting. Tapi saya tidak lagi buta arah. Saya tahu di mana musuhnya. Dan saya tahu saya tidak sendiri. Ada banyak orang di luar sana, mungkin juga di balik layar blog ini, yang sedang bertempur dalam perang sunyi mereka masing-masing.

Saya tidak bisa memberi resep sukses. Tapi saya tahu satu hal, selama kita masih bisa menertawakan diri sendiri, masih bisa menulis satu kalimat jujur, dan masih bisa menarik napas dengan sadar—kita belum kalah.


HOME

21 Desember 2023

Menjelajah Medan Ranjau

Ketika kesehatan mulai retak-retak, hidup terasa seperti tersesat di wilayah musuh yang penuh ranjau tak terlihat dan jebakan sunyi yang bisa meledak kapan saja . Sekarang, apapun ketika saya konsumsi sedikit agak banyak, membawa resiko menimbulkan masalah. Begitu juga sebaliknya, semua yang semula harus dipantang, kalau saya turuti saklek, sama sekali tidak makan, setelah beberapa hari, muncul masalah pula. Seakan-akan tubuh ini sudah kehilangan kemampuan kompromi, dan saya harus terus menegosiasikan hidup setiap hari, dari dalam tubuh saya sendiri.

Segala sesuatu yang dulunya hanya sekadar “makanan”, sekarang berubah menjadi kemungkinan bencana. Tapi menariknya, setelah bertahun-tahun mengamati dan belajar dari percobaan kecil yang saya lakukan pada diri sendiri, saya menemukan satu pola: hanya beberapa jenis makanan yang benar-benar harus saya coret permanen dari daftar. Kuning telur, daging merah, seafood, dan makanan olahan—ini adalah musuh tetap. Mereka konsisten membuat kekacauan, seperti agen infiltrasi yang selalu berhasil menyabotase sistem dari dalam.

Namun ada juga hal-hal yang tidak mutlak. Misalnya gula rafinasi—musuh besar versi media kesehatan.Jika saya benar-benar tidak menyentuh gula lebih dari empat hari, justru tubuh saya mulai berontak. Hari kelima atau ketujuh, tergantung angin, saya bisa mendadak limbung seperti prajurit kelaparan yang nyaris pingsan di medan perang. Gemetar, pusing, lemas. Sekadar berjalan keluar kamar pun harus hati-hati agar tidak kepentok kusen pintu.

Seperti prajurit yang nyasar di ladang ranjau wilayah musuh, saya tidak punya kemewahan untuk pasrah atau menyerah. Berusaha survive adalah satu-satunya pilihan. Maka saya belajar membaca setiap isyarat yang muncul—getaran kecil, nyeri ringan, atau perubahan suasana hati. Saya mulai mencatat, menelusuri, mencari benang merah antara apa yang saya konsumsi dan apa yang kemudian saya rasakan. Saya tidak merasa menjadi ahli, tapi saya tahu, tubuh saya menyimpan rahasia yang hanya bisa saya pahami sendiri, dengan sabar dan telaten.

Saat ini hidup saya memang "Beyond Enemy Lines". Tapi saya bukan korban. Ini bukan perkara kalah dan memang. Suka atau tidak, saya harus mengakui bahwa yang terjadi saat ini adalah refleksi dari masa lalu. Bukan untuk disesali, tapi untuk dijadikan pelajaran. Mumpung masih ada kesempatan, dengan langkah lambat, penuh kehati-hatian, tapi dengan mata yang lebih awas, saya bangun kembali jalan menuju finish yang sempat porak poranda.

Saya belajar memaafkan masa lalu, mencicil kesehatan, menabung semangat, dan yang terpenting, tetap bisa tertawa—karena dalam perang yang senyap ini, humor adalah peluru terakhir yang saya punya. Ia yang membuat saya tetap hidup, bukan sekadar bertahan.

Dan siapa tahu? Mungkin suatu hari kelak, saya bisa tiba juga di titik aman. Meskipun tanpa medali.  tanpa sorak sorai. Tapi dengan kepala tegak. Karena saya tidak menyerah.