Semula saya menyangka, musuh terberat datang dari luar. Penyakit, krisis finansial, atau tekanan hidup. Ternyata salah. Perang paling berat, paling melelahkan, dan paling menyedot tenaga, justru terjadi di dalam kepala saya sendiri.
Musuh tidak pernah menampakkan wajah. Dia tidak mengangkat
senjata, tidak meneriakkan ancaman, tapi bisikannya terus-menerus, tanpa jeda,
seperti siaran radio rusak, mengulang pesan sama, "Kamu tidak cukup kuat.
Kamu pasti gagal. Untuk apa mencoba?"
Dulu saya pikir, asal cukup semangat, semua bisa dilawan.
Kalau jatuh, bangkit. Kalau gagal, coba lagi. Kalau belum sukses, tinggal
tambah kopi, tambah doa, tambah lembur. Tapi ternyata tidak segampang itu.
Semangat bisa luntur, niat bisa menguap. Hanya menyisakan kecemasan, penundaan,
dan rasa bersalah yang semakin menumpuk seperti utang lama yang tak kunjung
lunas.
Saya pernah mengira kebiasaan menunda hanya berkaitan denganl
malas. Ternyata tidak. Dia lebih mirip strategi bertahan dari otak yang
kelelahan, membuat saya menjadi takut menghadapi hasil akhir, terlalu sering
membayangkan kegagalan, sampai-sampai tidak berani mulai. Takut salah, takut
kurang sempurna, takut dianggap bodoh. Aneh, padahal tidak ada orang lain yang tau.
Tidak ada yang menilai. Hanya saya, dan suara-suara di dalam pikiran.
Saya pernah duduk diam berjam-jam di depan komputer, membuka
dokumen, lalu menutupnya lagi. Bukan karena tidak punya ide, tapi takut ide itu
akan terlihat konyol. Takut tulisan saya dibaca orang dan mereka berpikir: “Ini
mah nggak penting, basi.” Padahal belum tentu juga dibaca orang.
Ironis ya. Kadang saya takut pada hal-hal yang bahkan belum
terjadi.
Saya menyebutnya sebagai perang sunyi. Tidak ada ledakan, tidak
ada dramatisasi. Sementara korban-korbannya sangat nyata, banyak waktu terbuang
sia-sia, kesempatan lewat begitu saja, dan yang paling parah, keyakinan diri
yang pelan-pelan tergerus sampai nyaris hilang.
Sampai suatu ketika, saya mulai mendengarkan tubuh. Napas
yang dangkal, kepala berat, ketegangan di perut dan sensasi halus di tengkuk.
Ternyata, tubuh saya menyimpan rekam jejak rasa takut lebih jujur daripada
pikiran. Saat pikiran sibuk menyembunyikan kecemasan dengan berbagai dalih dan pembenaran,
tubuh diam-diam mencatat semuanya melalui denyut jantung yang tak biasa, lewat
otot yang mengeras tanpa sebab, atau keringat dingin di malam hari.
Kondisi ini sepertinya dipahami oleh dokter yang terakhir
saya kunjungi, sehingga beliau cenderung menyarankan saya konsultasi ke
psikolog ketimbang memberi obat -- Selama hampir tiga tahun saya menjadi
pasien, beliau hanya sedikit saja memberi obat.
Berhubung saya tidak gampang berbagi perasaan dengan orang
yang tidak saya kenal, saya memilih menemui seseorang yang 30an tahun lalu pernah
menjadi pendamping spiritual saya. Beliau sudah sangat sepuh, tapi masih
mengenali saya sebagai murid paling ngeyelan dan sering mengajukan pertanyaan
kritis.
Sebenarnya saya ingin curhat banyak, tapi melihat kondisi
beliau, akhirnya kami hanya bernostalgia tentang masa lalu. Itupun tidak lama.
Meskipun raut wajahnya nampak ceria, saya menangkap kelelahan di matanya.
Sebelum berpisah, beliau sempat mengingatkan tentang nasehat
yang dulu pernah beliau sampaikan, “Jaga pikiranmu, jangan biarkan semaunya. Atau
kamu akan menghadapi banyak kesulitan.”
Saya mulai kembali latihan pernapasan ringan. Bukan karena
ingin jadi yogi atau spiritualis, tapi karena ingin bisa tidur nyenyak tanpa
dihantui kekhawatiran imajiner. Dan pelan-pelan, saya bisa merasakan, ternyata
pikiran bisa diajak berdamai. Asal saya tidak terus-terusan percaya pada semua
yang dia bisikkan.
Saya juga mulai menulis. Bukan untuk dibaca orang lain, tapi
untuk membongkar isi kepala sendiri. Kadang saya hanya menulis "hari ini
takut", atau "malas banget, tapi tidak tahu kenapa". Dan
pelan-pelan, saya mulai paham, rasa takut tidak harus dimusuhi. Hanya ingin
didengar. Seperti veteran tua yang cuma ingin diberi pengertian.
Sekarang saya tahu, saya sedang menjalani misi. Misi untuk
mengenali, menerima, dan melampaui ketakutan. Bukan untuk jadi sempurna. Tapi
untuk bisa hidup dengan tenang, dan tetap bergerak walau pelan.
Tentu saja perjalanan masih panjang. Saya belum menang,
bahkan sejujurnya, masih sering kalah. Saya masih suka menunda, masih suka
kabur dari hal-hal yang penting. Tapi saya tidak lagi buta arah. Saya tahu di
mana musuhnya. Dan saya tahu saya tidak sendiri. Ada banyak orang di luar sana,
mungkin juga di balik layar blog ini, yang sedang bertempur dalam perang sunyi
mereka masing-masing.
Saya tidak bisa memberi resep sukses. Tapi saya tahu satu
hal, selama kita masih bisa menertawakan diri sendiri, masih bisa menulis satu
kalimat jujur, dan masih bisa menarik napas dengan sadar—kita belum kalah.