Segala sesuatu yang
dulunya hanya sekadar “makanan”, sekarang berubah menjadi kemungkinan bencana.
Tapi menariknya, setelah bertahun-tahun mengamati dan belajar dari percobaan
kecil yang saya lakukan pada diri sendiri, saya menemukan satu pola: hanya beberapa
jenis makanan yang benar-benar harus saya coret permanen dari daftar. Kuning
telur, daging merah, seafood, dan makanan olahan—ini adalah musuh tetap. Mereka
konsisten membuat kekacauan, seperti agen infiltrasi yang selalu berhasil
menyabotase sistem dari dalam.
Namun ada juga
hal-hal yang tidak mutlak. Misalnya gula rafinasi—musuh besar versi media
kesehatan.Jika saya benar-benar tidak menyentuh gula lebih dari empat hari,
justru tubuh saya mulai berontak. Hari kelima atau ketujuh, tergantung angin,
saya bisa mendadak limbung seperti prajurit kelaparan yang nyaris pingsan di
medan perang. Gemetar, pusing, lemas. Sekadar berjalan keluar kamar pun harus
hati-hati agar tidak kepentok kusen pintu.
Seperti prajurit
yang nyasar di ladang ranjau wilayah musuh, saya tidak punya kemewahan untuk
pasrah atau menyerah. Berusaha survive adalah satu-satunya pilihan. Maka saya
belajar membaca setiap isyarat yang muncul—getaran kecil, nyeri ringan, atau
perubahan suasana hati. Saya mulai mencatat, menelusuri, mencari benang merah
antara apa yang saya konsumsi dan apa yang kemudian saya rasakan. Saya tidak merasa
menjadi ahli, tapi saya tahu, tubuh saya menyimpan rahasia yang hanya bisa saya
pahami sendiri, dengan sabar dan telaten.
Saat ini hidup saya
memang "Beyond Enemy Lines". Tapi saya bukan korban. Ini bukan
perkara kalah dan memang. Suka atau tidak, saya harus mengakui bahwa yang
terjadi saat ini adalah refleksi dari masa lalu. Bukan untuk disesali, tapi
untuk dijadikan pelajaran. Mumpung masih ada kesempatan, dengan langkah lambat,
penuh kehati-hatian, tapi dengan mata yang lebih awas, saya bangun kembali jalan
menuju finish yang sempat porak poranda.
Saya belajar
memaafkan masa lalu, mencicil kesehatan, menabung semangat, dan yang terpenting,
tetap bisa tertawa—karena dalam perang yang senyap ini, humor adalah peluru
terakhir yang saya punya. Ia yang membuat saya tetap hidup, bukan sekadar
bertahan.
Dan siapa tahu?
Mungkin suatu hari kelak, saya bisa tiba juga di titik aman. Meskipun tanpa
medali. tanpa sorak sorai. Tapi dengan
kepala tegak. Karena saya tidak menyerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar