21 Desember 2023

Menjelajah Medan Ranjau

Ketika kesehatan mulai retak-retak, hidup terasa seperti tersesat di wilayah musuh yang penuh ranjau tak terlihat dan jebakan sunyi yang bisa meledak kapan saja . Sekarang, apapun ketika saya konsumsi sedikit agak banyak, membawa resiko menimbulkan masalah. Begitu juga sebaliknya, semua yang semula harus dipantang, kalau saya turuti saklek, sama sekali tidak makan, setelah beberapa hari, muncul masalah pula. Seakan-akan tubuh ini sudah kehilangan kemampuan kompromi, dan saya harus terus menegosiasikan hidup setiap hari, dari dalam tubuh saya sendiri.

Segala sesuatu yang dulunya hanya sekadar “makanan”, sekarang berubah menjadi kemungkinan bencana. Tapi menariknya, setelah bertahun-tahun mengamati dan belajar dari percobaan kecil yang saya lakukan pada diri sendiri, saya menemukan satu pola: hanya beberapa jenis makanan yang benar-benar harus saya coret permanen dari daftar. Kuning telur, daging merah, seafood, dan makanan olahan—ini adalah musuh tetap. Mereka konsisten membuat kekacauan, seperti agen infiltrasi yang selalu berhasil menyabotase sistem dari dalam.

Namun ada juga hal-hal yang tidak mutlak. Misalnya gula rafinasi—musuh besar versi media kesehatan.Jika saya benar-benar tidak menyentuh gula lebih dari empat hari, justru tubuh saya mulai berontak. Hari kelima atau ketujuh, tergantung angin, saya bisa mendadak limbung seperti prajurit kelaparan yang nyaris pingsan di medan perang. Gemetar, pusing, lemas. Sekadar berjalan keluar kamar pun harus hati-hati agar tidak kepentok kusen pintu.

Seperti prajurit yang nyasar di ladang ranjau wilayah musuh, saya tidak punya kemewahan untuk pasrah atau menyerah. Berusaha survive adalah satu-satunya pilihan. Maka saya belajar membaca setiap isyarat yang muncul—getaran kecil, nyeri ringan, atau perubahan suasana hati. Saya mulai mencatat, menelusuri, mencari benang merah antara apa yang saya konsumsi dan apa yang kemudian saya rasakan. Saya tidak merasa menjadi ahli, tapi saya tahu, tubuh saya menyimpan rahasia yang hanya bisa saya pahami sendiri, dengan sabar dan telaten.

Saat ini hidup saya memang "Beyond Enemy Lines". Tapi saya bukan korban. Ini bukan perkara kalah dan memang. Suka atau tidak, saya harus mengakui bahwa yang terjadi saat ini adalah refleksi dari masa lalu. Bukan untuk disesali, tapi untuk dijadikan pelajaran. Mumpung masih ada kesempatan, dengan langkah lambat, penuh kehati-hatian, tapi dengan mata yang lebih awas, saya bangun kembali jalan menuju finish yang sempat porak poranda.

Saya belajar memaafkan masa lalu, mencicil kesehatan, menabung semangat, dan yang terpenting, tetap bisa tertawa—karena dalam perang yang senyap ini, humor adalah peluru terakhir yang saya punya. Ia yang membuat saya tetap hidup, bukan sekadar bertahan.

Dan siapa tahu? Mungkin suatu hari kelak, saya bisa tiba juga di titik aman. Meskipun tanpa medali.  tanpa sorak sorai. Tapi dengan kepala tegak. Karena saya tidak menyerah.

Tidak ada komentar: