23 Januari 2023

Tidak Kalah, Hanya Berubah

 


Awal yang Tak Terduga
Sampai 2018, sudah lima tahun lebih saya lalui bersama rasa lelah absurd—seperti baru menuntaskan ekspedisi ke puncak Himalaya, padahal aktivitas terberat saya hanya menggerakkan mouse komputer. Tubuh ini bagai mobil tua yang mesinnya terus menggerutu, meski hanya dipakai belanja ke warung tetangga.

Bermula dari sedikit capek yang terasa hampir sepanjang hari, lalu muncul  angka di hasil cek lab, yang memaksa saya berhenti bercanda: Trigliserida, 565. Tiga kali lipat batas normal.

Ketika akhirnya saya ketahuan tidak patuh perintah diet, dokter memberi dua pilihan telak: ubah hidup sekarang, atau tunggu stroke datang menjemput.

Perang Melawan Diri Sendiri
Bulan pertama patuh diet lebih mirip siksaan. Gorengan, es krim, dan tongseng kambing—teman-teman setia di meja makan yang sukses membuat berat badan naik sampai 67kg, dari sebelumnya hanya 55—terpaksa saya tinggal demi sayur yang rasanya seperti amplas.

Setelah ditambah Gemfibrozil selama 30 hari dan Aerobik tiga kali seminggu, meskipun saya lakukan dengan setengah hati, ternyata memberi hasil nyata: trigliserida turun ke 280, berat badan menyusut 6,5 kg.

Tapi kemenangan kecil itu juga minta bayaran ekstra. Bulan kedua berat badan anjlog sampai 56 kg. Perut kerap mual, dan lidah kehilangan selera. Sementara capek yang semula sempat berkurang, malah ngundang teman, pegel-pegel di sekujur tubuh.

Pandemi, Musuh yang Tak Terlihat
Tahun demi tahun berlalu, koleksi dokter saya makin lengkap, obatnya juga makin variatif. Berasa main game RPG—musuhnya makin banyak. Lalu, datanglah pandemi. Waktu orang-orang dibuat ketakutan oleh virus corona, saya lebih repot mikir vertigo, aritmia, dan gatal sekujur badan yang sumbernya entah di mana.

Di sinilah semuanya berubah drastis. WA tidak lagi meriah dan penuh tawa canda seperti sebelumnya, berganti kabar kematian yang muncul hampir setiap saat. Tidak jarang, pagi atau sore sebelumnya masih saling berbagi kabar, hari berikutnya sudah meninggal – dan tragisnya, dimakamkan tanpa boleh dihadiri oleh siapapun.

Tak lama kemudian, pemerintah memberlakukan pembatasan sosial, membuat aktivitas serba terbatas. Keluar rumah dibatasi, harus jaga jarak, pakai masker, dan jadi sering ngomong tanpa kelihatan mulut. Jadwal kontrol kesehatan saya jadi kacau.

Saya panik dan marah, sekalipun tidak tahu siapa yang mesti jadi sasaran. Sebelumnya, tiga kali sehari saya nenggak segenggam obat, lalu tiba-tiba harus terhenti begitu saja, gara-gara rumah-sakit berubah menjadi arena horor akibat rumor “banyak pasien dicovidkan”.

Pelajaran dari Kekacauan
Sama sekali tanpa obat sebenarnya sangat berat bagi saya. Selain merasa semakin tidak nyaman, saya menjadi gampang tersinggung dan selalu kebelet marah.

Supaya orang rumah tidak jadi korban konyol, saya nekad, tiap hari kelayaban. Kadang nengok kantor. Kadang hanya nongkrong di warung tetangga yang kebetulan tidak tutup. Kadang hanya bengong saja di pinggir jalan.  

Tapi entah kenapa, berada di luar justru membuat badan terasa lebih enak, ketimbang hanya tiduran sambil ngemil di rumah. Terutama setelah saya ikutan menjadi kurir belanja. Sedikit istirahat, membuat saya sering lupa kalau badan sedang tidak baik-baik saja.

Di saat hiruk pikuk pandemi mulai reda dan kehidupan mulai kembali normal, saya baru sadar, ternyata saya masih hidup dan mampu beraktifitas sewajarnya, meskipun lebih dari setahun sama sekali tidak minum obat. Saya bahkan tidak ingat lagi kapan terakhir vertigo kambuh.

Kadang saya masih ngantuk tanpa sebab. Sekujur tubuh masih terasa pegal, tapi tidak ada lagi nyeri di bagian ulu hati. Tidak mual, dan yang paling saya suka, makan apapun kembali terasa enak.

Apakah saya sembuh?

Seperti sering terjadi, tidak merasa sakit bukan berarti beneran sehat. Sampai hari ini, lengah sedikit trigliserida bisa njeplak sampai di atas 1000. Kejang otot di pinggang dan perut bagian atas masih kambuhan. Belum lagi kondisi mata kanan yang minusnya sudah lebih dari 10, sedangkan mata kiri hanya bisa membaca tulisan pada jarak kurang dari 4cm.

Pada akhirnya, saya memilih lebih banyak memperhatikan diri sendiri—belajar ngobrol dengan hati yang dulu sering saya abaikan. Saya mulai menulis, kembali hunting foto, dan pelan-pelan mencoba mengisi ulang energi yang sudah lama tekor. Hidup memang tidak kembali seperti dulu. Kadang melelahkan. Tapi tetap layak disyukuri.

Pandemi memberi pelajaran bahwa hidup bukan tentang menjadi pemenang tanpa luka. Melainkan berubah tanpa kehilangan diri sendiri. Dan hari ini, dengan segelas air putih di tangan dan matahari pagi di beranda, saya memutuskan untuk menata kembali segala sesuatu yang sempat berantakan.


Tidak ada komentar: