Bermula dari sedikit capek yang terasa hampir sepanjang
hari, lalu muncul angka di hasil cek lab,
yang memaksa saya berhenti bercanda: Trigliserida, 565. Tiga kali lipat
batas normal.
Ketika akhirnya saya ketahuan tidak patuh perintah diet, dokter
memberi dua pilihan telak: ubah hidup sekarang, atau tunggu stroke
datang menjemput.
Setelah ditambah Gemfibrozil selama 30 hari dan Aerobik tiga
kali seminggu, meskipun saya lakukan dengan setengah hati, ternyata memberi hasil
nyata: trigliserida turun ke 280, berat badan menyusut 6,5 kg.
Tapi kemenangan kecil itu juga minta bayaran ekstra. Bulan
kedua berat badan anjlog sampai 56 kg. Perut kerap mual, dan lidah
kehilangan selera. Sementara capek yang semula sempat berkurang, malah ngundang
teman, pegel-pegel di sekujur tubuh.
Di sinilah semuanya berubah drastis. WA tidak lagi meriah
dan penuh tawa canda seperti sebelumnya, berganti kabar kematian yang muncul
hampir setiap saat. Tidak jarang, pagi atau sore sebelumnya masih saling berbagi
kabar, hari berikutnya sudah meninggal – dan tragisnya, dimakamkan tanpa boleh
dihadiri oleh siapapun.
Tak lama kemudian, pemerintah memberlakukan pembatasan
sosial, membuat aktivitas serba terbatas. Keluar rumah dibatasi, harus jaga
jarak, pakai masker, dan jadi sering ngomong tanpa kelihatan mulut. Jadwal
kontrol kesehatan saya jadi kacau.
Saya panik dan marah, sekalipun tidak tahu siapa yang mesti
jadi sasaran. Sebelumnya, tiga kali sehari saya nenggak segenggam obat, lalu
tiba-tiba harus terhenti begitu saja, gara-gara rumah-sakit berubah menjadi
arena horor akibat rumor “banyak pasien dicovidkan”.
Supaya orang rumah tidak jadi korban konyol, saya nekad,
tiap hari kelayaban. Kadang nengok kantor. Kadang hanya nongkrong di warung
tetangga yang kebetulan tidak tutup. Kadang hanya bengong saja di pinggir jalan.
Tapi entah kenapa, berada di luar justru membuat badan terasa
lebih enak, ketimbang hanya tiduran sambil ngemil di rumah. Terutama setelah
saya ikutan menjadi kurir belanja. Sedikit istirahat, membuat saya sering lupa
kalau badan sedang tidak baik-baik saja.
Di saat hiruk pikuk pandemi mulai reda dan kehidupan mulai kembali normal, saya baru sadar, ternyata saya masih hidup dan mampu beraktifitas sewajarnya, meskipun lebih dari setahun sama sekali tidak minum obat. Saya bahkan tidak ingat lagi kapan terakhir vertigo kambuh.
Kadang saya masih ngantuk tanpa sebab. Sekujur tubuh masih terasa
pegal, tapi tidak ada lagi nyeri di bagian ulu hati. Tidak mual, dan yang
paling saya suka, makan apapun kembali terasa enak.
Apakah saya sembuh?
Seperti sering terjadi, tidak merasa sakit bukan berarti
beneran sehat. Sampai hari ini, lengah sedikit trigliserida bisa njeplak sampai
di atas 1000. Kejang otot di pinggang dan perut bagian atas masih kambuhan.
Belum lagi kondisi mata kanan yang minusnya sudah lebih dari 10, sedangkan mata
kiri hanya bisa membaca tulisan pada jarak kurang dari 4cm.
Pada akhirnya, saya memilih lebih banyak memperhatikan diri
sendiri—belajar ngobrol dengan hati yang dulu sering saya abaikan. Saya mulai
menulis, kembali hunting foto, dan pelan-pelan mencoba mengisi ulang energi
yang sudah lama tekor. Hidup memang tidak kembali seperti dulu. Kadang
melelahkan. Tapi tetap layak disyukuri.
Pandemi memberi pelajaran bahwa hidup bukan tentang menjadi
pemenang tanpa luka. Melainkan berubah tanpa kehilangan diri sendiri.
Dan hari ini, dengan segelas air putih di tangan dan matahari pagi di beranda, saya
memutuskan untuk menata kembali segala sesuatu yang sempat berantakan.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar