Satu pintu tiba-tiba terbuka di hadapan saya. Entah kenapa, saya tergoda untuk masuk. Tapi begitu saya tiba di dalam, segala sesuatu yang terlihat indah dari luar, ternyata hanya ilusi. Dari tempat saya berdidi di ambang, yang
terlihat jelas hanya sejengkal saja. Selebihnya berkabut dan gelap.
Sepertinya saya berada di dunia yang sama sekali berbeda dengan dunia kasat mata.
Sesaat saya sempat bertanya pada diri sendiri, “Untuk apa
saya berada di sini? Apa yang saya cari?”
Kalau mau jujur pada diri sendiri, kehidupan saya sebenarnya
baik-baik saja. Sekalipun secara finansial hanya tipis, tapi rejeki selalu
datang. Sekalipun badan pegel-pegel, ngantukan dan gampang capek, saya masih
bisa dolan dan berkarya dengan baik. Membuang waktu, menjelajahi ruang antah
berantah, seperti kurang bersyukur dengan realita yang sudah saya terima.
Kenapa tidak memanfaatkan waktu untuk urusan lain yang lebih jelas manfaatnya.
Atau, bisa juga untuk mendapatkan lebih banyak bekal akhirat. Sudah lewat 60
lho. Setiap saat bisa dipanggil.
Sesuatu di kepala menjawab, “Kamu sudah menjalani hidupmu
dengan baik. Kalau kamu memanfaatkan sebagian kecil waktumu untuk menjelajah
lebih jauh, bukan berarti tidak bersyukur. Justru sebaliknya, aktifitas itu
sebagai perwujudan syukurmu memiliki akal budi. Ibarat tangan, yang punya
fungsi utama untuk memegang dan meraba. Tidak salah kalau kemudian ada yang
mengembangkan ketrampilan tangannya, sehingga bisa menjadi pemahat, pelukis,
atau koki”
Suara lain menambahkan, “Meskipun yang kamu hadapi tidak
kasat mata, tapi mempelajari pikiran sama seperti belajar anatomi tubuh. Kamu
masih tetap ada di duniamu, tidak masuk ke dunia khayal atau mistis. Semua yang
ada di sini bisa dijelaskan oleh ilmu pengetahuan.”
Saya sempat menganggap suara itu sebagai godaan yang menjerumuskan, seandainya tidak merasakan kehadiran dua entitas yang sepertinya sangat
familiar. Gebul dan Hellboy, dua teman khayalan yang sering muncul tanpa
permisi. Sebenarnya mereka tidak punya wujud, hanya ada suara belaka di kepala,
tapi supaya saya tidak merasa berhadapan dengan mahluk halus, mereka saya beri
wujud kucing dan setan merah Hellboy. Tapi kali ini pikiran saya tidak bisa
membayangkan wujud mereka.
Sebelum saya bertanya, salah satu memberi penjelasan, “Di
sini kamu harus belajar tidak menghakimi. Wujud yang kamu berikan pada kami
berasal dari penghakiman yang dilakukan oleh nalarmu. Kalau kamu pengin jalan
terus, berhentilah berprasangka, jangan menghakimi, dan jangan gampang
terhasut. Kebenaran ilmu pengetahuan hanya bisa kamu temukan selama pikianmu
tidak gampang diprovokasi oleh lingkungan.”
Saya jadi ingat gambar tiga monyet lucu yang saya temu di
Google. Satu berkacamata, satu lagi mengenakan masker menutup wajah dan mulut,
yang ke tiga mengenakan headphone di telinga. Gambar itu versi lucu dari three
wise monkey, yang dianggap melambangkan see no evil, speak no evil, hear no
evil. Saya rasa yang diucapkan Gembul tentang berprasangka, menghakimi dan
gampang diprovokasi, agak nyambung ….. eh, tidak ada Gembul lagi ya?
Giliran Hellboy bicara, “Hanya sekedar nama, tidak apa-apa.
Selama kamu tidak beranggapan dia sebagai kucing dan aku sebagai dhemit merah.”
“Baiklah, mulai sekarang Gembul dan Hellboy hanya sekedar
nama.”
“Kenapa Hellboy? Sepertinya kamu suka dengan penampakan
setan merah itu.”
“Suka saja. Tapi
baiklah, kita ganti. Karena tandukmu puthul, sekarang namamu Bujel.”
Terdengar suara tawa Gembul berkepanjangan diselingi sumpah
serapah Bujel. Lalu, seperti sebelumnya, dua entitas itupun ribut lagi.
Jadi, sekarang saya
sedang menjelajahi pikiran? Dunia yang dalam anggapan saya sebelumnya, hanya
beda tipis dari khayalan, karena di sini saya bisa membayangkan apa saja
sebagai sesuatu yang nyata.
Entah Bujel, Gembul atau ada yang lain, memberi peringatan,
“Hati-hati dengan pikiranmu. Tidak jarang, yang kamu pikirkan terwujud secara
nyata pada arah sebaliknya.”
“Aku tidak paham.”
“Kamu ke dokter, diet, olah-raga. Pagi, siang sore meyakinkan
dirimu bisa kembali sehat dengan niatan pengin sembuh. Tapi kalau pada saat
yang sama kamu biarkan pikiranmu berkeluh kesah tentang kondisi fisikmu,
tentang pegel-pegel, tentang matamu yang sangat rabun, kamu akan sembuh pada
arah yang berlawanan. Karena mati juga terbebas dari segala penyakit, sembuh tapi dalam arah berbeda. Bawah sadar hanya
merespon hati, bukan otak. Supaya keinginanmu terwujud, otak harus selaras
dengan hati”
What the hell …….
Lagi-lagi kena tegur, “Kalau masih demen ngumpat, pilih umpatan
yang tidak punya konotasi negatif, supaya tidak memancing emosi terlibat secara negatif.”
Hampir saja saya bertanya, memang ada umpatan macam itu? Ternyata ada. Saya
sering mengucap TELOOOO, WEDHUUUSSSS, JAMBU.
"Kalau aku harus menjaga supaya emosi tetap positif, kenapa kalian sering ribut?"
“Kami hanya refleksi dari pikiranmu, selama kamu menikmati
saat emosimu terlibat, akan terus seperti itu. Kamu tidak dilarang melibatkan
emosi, selama masih dalam arahanmu.”
Spontan saya tarik nafas panjang dan dalam, lalu tahaaaannnn
……
“Bukan seperti itu. Mengarahkan tidak sama dengan memaksakan
kehendak.”
“Apakah mengatur nafas sama dengan memaksakan kehendak?”
“Hanya ketika niatmu ingin memaksa mengendalikan emosi.”
Lha kok ruwet?
“Dalam dunia mental,
selama kamu belum mampu mengarahkan pikiran dan emosimu, setiap langkah
ibarat meniti jembatan setapak. Meleng sedikit, jatuh.”
We, lah.
Saya tahu, sambat tidak pernah menyelesaikan masalah. Tapi
ketika beban sudah luber, kadang tanpa sadar mulut ini mengeluh. Selain terjadi
secara spontan, sebenarnya saya memang tidak tahu cara mengurangi tekanan beban
selain sambat atau kadang misuh.
Dulu sekali, ketika masih belajar olah nafas, salah satu
guru saya pernah mengajarkan caranya, dengan mengabaikan apapun tekanan yang
saya rasakan. Masalahnya saya bukan Rambo, sosok fiktif yang konon bahkan mampu
mengabaikan rasa sakit akibat siksaan musuh. Sementara saya, mengabaikan
bayangan sakitnya dicubles jarum suntik saja tidak kuasa. Padahal hanya
bayangan, tidak beneran disuntik. Meskipun saat benar-benar dicubles, ternyata
sering tidak merasakan apa-apa. Tau-tau sudah selesai, sementara otak masih
ribut membayangkan bagaimana sakitnya nanti.
Eh, sebentar! Kenapa jadi berasa sepi?
”mBul? Bujel? …… “
Tidak ada respon. Tetap sunyi. Sepertinya hanya ada saya –
pengin nambahi, ada Tuhan juga. Tapi
Tuhan ada di mana?
“Tidak perlu dicari. Sadari saja bahwa Tuhan bersamamu”
Saya tolah-toleh, mencari, barangkali Gembul dan Bujel
sedang iseng main petak umpet. Tapi berulangkali saya panggil, sama sekali
tidak ada jawaban. Lalu siapa yang bicara? Sudah pasti bukan makhluk halus.
Saya tidak pernah punya keinginan berurusan dengan makhluk macam itu.
Suara itupun kembali terdengar, “Kamu bukan setitik air yang
dibuang ke laut. Kamu adalah setitik yang menjadi bagian dari lautan. Setiap
titik di badanmu adalah bagian dari Alam Semesta. Kamu adalah miniatur dari Alam
Semesta. ”
Sebenarnya saya tidak paha-paham amat, tapi, oke, saya
terima. Saya bukan sesuatu yang ditambahkan ke Alam Semesta, melainkan sebagai
bagian darinya. Begitu pula dengan yang lain. Maka sebenarnya saya tidak pernah
sendiri.
HOME