26 Januari 2023

Kompakan Pikun

 


Reaksi spontan saya ketika seseorang video call, memberi tahu akan ngirim cek bertanggal 26 Januari, "Mosok mundur lagi?"

"Sekarang kan tanggal 26?"

Jawaban itu membuat saya keseleg, lalu buru-buru menemui anak semata wayang saya, Adella, "Del, sekarang tanggal 26!"

"ASTAGAAA ......" anak saya njenggirat.

Tiga hari lalu saya sudah berpesan, tanggal 26 jangan sampai lupa. Malah pikun bareng.

SELAMAT ULANG-TAHUN SRI WAHYUNI. MAAF YA, TELAT, LUPAAAAA 

#Berhubung anakku yang belum 25 juga lupa, berarti kali ini bukan akibat faktor umur#

23 Januari 2023

Tidak Kalah, Hanya Berubah

 


Awal yang Tak Terduga
Sampai 2018, sudah lima tahun lebih saya lalui bersama rasa lelah absurd—seperti baru menuntaskan ekspedisi ke puncak Himalaya, padahal aktivitas terberat saya hanya menggerakkan mouse komputer. Tubuh ini bagai mobil tua yang mesinnya terus menggerutu, meski hanya dipakai belanja ke warung tetangga.

Bermula dari sedikit capek yang terasa hampir sepanjang hari, lalu muncul  angka di hasil cek lab, yang memaksa saya berhenti bercanda: Trigliserida, 565. Tiga kali lipat batas normal.

Ketika akhirnya saya ketahuan tidak patuh perintah diet, dokter memberi dua pilihan telak: ubah hidup sekarang, atau tunggu stroke datang menjemput.

Perang Melawan Diri Sendiri
Bulan pertama patuh diet lebih mirip siksaan. Gorengan, es krim, dan tongseng kambing—teman-teman setia di meja makan yang sukses membuat berat badan naik sampai 67kg, dari sebelumnya hanya 55—terpaksa saya tinggal demi sayur yang rasanya seperti amplas.

Setelah ditambah Gemfibrozil selama 30 hari dan Aerobik tiga kali seminggu, meskipun saya lakukan dengan setengah hati, ternyata memberi hasil nyata: trigliserida turun ke 280, berat badan menyusut 6,5 kg.

Tapi kemenangan kecil itu juga minta bayaran ekstra. Bulan kedua berat badan anjlog sampai 56 kg. Perut kerap mual, dan lidah kehilangan selera. Sementara capek yang semula sempat berkurang, malah ngundang teman, pegel-pegel di sekujur tubuh.

Pandemi, Musuh yang Tak Terlihat
Tahun demi tahun berlalu, koleksi dokter saya makin lengkap, obatnya juga makin variatif. Berasa main game RPG—musuhnya makin banyak. Lalu, datanglah pandemi. Waktu orang-orang dibuat ketakutan oleh virus corona, saya lebih repot mikir vertigo, aritmia, dan gatal sekujur badan yang sumbernya entah di mana.

Di sinilah semuanya berubah drastis. WA tidak lagi meriah dan penuh tawa canda seperti sebelumnya, berganti kabar kematian yang muncul hampir setiap saat. Tidak jarang, pagi atau sore sebelumnya masih saling berbagi kabar, hari berikutnya sudah meninggal – dan tragisnya, dimakamkan tanpa boleh dihadiri oleh siapapun.

Tak lama kemudian, pemerintah memberlakukan pembatasan sosial, membuat aktivitas serba terbatas. Keluar rumah dibatasi, harus jaga jarak, pakai masker, dan jadi sering ngomong tanpa kelihatan mulut. Jadwal kontrol kesehatan saya jadi kacau.

Saya panik dan marah, sekalipun tidak tahu siapa yang mesti jadi sasaran. Sebelumnya, tiga kali sehari saya nenggak segenggam obat, lalu tiba-tiba harus terhenti begitu saja, gara-gara rumah-sakit berubah menjadi arena horor akibat rumor “banyak pasien dicovidkan”.

Pelajaran dari Kekacauan
Sama sekali tanpa obat sebenarnya sangat berat bagi saya. Selain merasa semakin tidak nyaman, saya menjadi gampang tersinggung dan selalu kebelet marah.

Supaya orang rumah tidak jadi korban konyol, saya nekad, tiap hari kelayaban. Kadang nengok kantor. Kadang hanya nongkrong di warung tetangga yang kebetulan tidak tutup. Kadang hanya bengong saja di pinggir jalan.  

Tapi entah kenapa, berada di luar justru membuat badan terasa lebih enak, ketimbang hanya tiduran sambil ngemil di rumah. Terutama setelah saya ikutan menjadi kurir belanja. Sedikit istirahat, membuat saya sering lupa kalau badan sedang tidak baik-baik saja.

Di saat hiruk pikuk pandemi mulai reda dan kehidupan mulai kembali normal, saya baru sadar, ternyata saya masih hidup dan mampu beraktifitas sewajarnya, meskipun lebih dari setahun sama sekali tidak minum obat. Saya bahkan tidak ingat lagi kapan terakhir vertigo kambuh.

Kadang saya masih ngantuk tanpa sebab. Sekujur tubuh masih terasa pegal, tapi tidak ada lagi nyeri di bagian ulu hati. Tidak mual, dan yang paling saya suka, makan apapun kembali terasa enak.

Apakah saya sembuh?

Seperti sering terjadi, tidak merasa sakit bukan berarti beneran sehat. Sampai hari ini, lengah sedikit trigliserida bisa njeplak sampai di atas 1000. Kejang otot di pinggang dan perut bagian atas masih kambuhan. Belum lagi kondisi mata kanan yang minusnya sudah lebih dari 10, sedangkan mata kiri hanya bisa membaca tulisan pada jarak kurang dari 4cm.

Pada akhirnya, saya memilih lebih banyak memperhatikan diri sendiri—belajar ngobrol dengan hati yang dulu sering saya abaikan. Saya mulai menulis, kembali hunting foto, dan pelan-pelan mencoba mengisi ulang energi yang sudah lama tekor. Hidup memang tidak kembali seperti dulu. Kadang melelahkan. Tapi tetap layak disyukuri.

Pandemi memberi pelajaran bahwa hidup bukan tentang menjadi pemenang tanpa luka. Melainkan berubah tanpa kehilangan diri sendiri. Dan hari ini, dengan segelas air putih di tangan dan matahari pagi di beranda, saya memutuskan untuk menata kembali segala sesuatu yang sempat berantakan.


Ketika Satu Pintu Terbuka

 


Satu pintu tiba-tiba terbuka di hadapan saya. Entah kenapa, saya tergoda untuk masuk. Tapi begitu saya tiba di dalam, segala sesuatu yang terlihat indah dari luar, ternyata hanya ilusi. Dari tempat saya berdidi di ambang, yang terlihat jelas hanya sejengkal saja. Selebihnya berkabut dan gelap. Sepertinya saya berada di dunia yang sama sekali berbeda dengan dunia kasat mata.

Sesaat saya sempat bertanya pada diri sendiri, “Untuk apa saya berada di sini? Apa yang saya cari?”

Kalau mau jujur pada diri sendiri, kehidupan saya sebenarnya baik-baik saja. Sekalipun secara finansial hanya tipis, tapi rejeki selalu datang. Sekalipun badan pegel-pegel, ngantukan dan gampang capek, saya masih bisa dolan dan berkarya dengan baik. Membuang waktu, menjelajahi ruang antah berantah, seperti kurang bersyukur dengan realita yang sudah saya terima. Kenapa tidak memanfaatkan waktu untuk urusan lain yang lebih jelas manfaatnya. Atau, bisa juga untuk mendapatkan lebih banyak bekal akhirat. Sudah lewat 60 lho. Setiap saat bisa dipanggil.

Sesuatu di kepala menjawab, “Kamu sudah menjalani hidupmu dengan baik. Kalau kamu memanfaatkan sebagian kecil waktumu untuk menjelajah lebih jauh, bukan berarti tidak bersyukur. Justru sebaliknya, aktifitas itu sebagai perwujudan syukurmu memiliki akal budi. Ibarat tangan, yang punya fungsi utama untuk memegang dan meraba. Tidak salah kalau kemudian ada yang mengembangkan ketrampilan tangannya, sehingga bisa menjadi pemahat, pelukis, atau koki”

Suara lain menambahkan, “Meskipun yang kamu hadapi tidak kasat mata, tapi mempelajari pikiran sama seperti belajar anatomi tubuh. Kamu masih tetap ada di duniamu, tidak masuk ke dunia khayal atau mistis. Semua yang ada di sini bisa dijelaskan oleh ilmu pengetahuan.”

Saya sempat menganggap suara itu sebagai godaan yang menjerumuskan, seandainya tidak merasakan kehadiran dua entitas yang sepertinya sangat familiar. Gebul dan Hellboy, dua teman khayalan yang sering muncul tanpa permisi. Sebenarnya mereka tidak punya wujud, hanya ada suara belaka di kepala, tapi supaya saya tidak merasa berhadapan dengan mahluk halus, mereka saya beri wujud kucing dan setan merah Hellboy. Tapi kali ini pikiran saya tidak bisa membayangkan wujud mereka.

Sebelum saya bertanya, salah satu memberi penjelasan, “Di sini kamu harus belajar tidak menghakimi. Wujud yang kamu berikan pada kami berasal dari penghakiman yang dilakukan oleh nalarmu. Kalau kamu pengin jalan terus, berhentilah berprasangka, jangan menghakimi, dan jangan gampang terhasut. Kebenaran ilmu pengetahuan hanya bisa kamu temukan selama pikianmu tidak gampang diprovokasi oleh lingkungan.”

Saya jadi ingat gambar tiga monyet lucu yang saya temu di Google. Satu berkacamata, satu lagi mengenakan masker menutup wajah dan mulut, yang ke tiga mengenakan headphone di telinga. Gambar itu versi lucu dari three wise monkey, yang dianggap melambangkan see no evil, speak no evil, hear no evil. Saya rasa yang diucapkan Gembul tentang berprasangka, menghakimi dan gampang diprovokasi, agak nyambung ….. eh, tidak ada Gembul lagi ya?

Giliran Hellboy bicara, “Hanya sekedar nama, tidak apa-apa. Selama kamu tidak beranggapan dia sebagai kucing dan aku sebagai dhemit merah.”

“Baiklah, mulai sekarang Gembul dan Hellboy hanya sekedar nama.”

“Kenapa Hellboy? Sepertinya kamu suka dengan penampakan setan merah itu.”

 “Suka saja. Tapi baiklah, kita ganti. Karena tandukmu puthul, sekarang namamu Bujel.”

Terdengar suara tawa Gembul berkepanjangan diselingi sumpah serapah Bujel. Lalu, seperti sebelumnya, dua entitas itupun ribut lagi.

 Jadi, sekarang saya sedang menjelajahi pikiran? Dunia yang dalam anggapan saya sebelumnya, hanya beda tipis dari khayalan, karena di sini saya bisa membayangkan apa saja sebagai sesuatu yang nyata.

Entah Bujel, Gembul atau ada yang lain, memberi peringatan, “Hati-hati dengan pikiranmu. Tidak jarang, yang kamu pikirkan terwujud secara nyata pada arah sebaliknya.”

“Aku tidak paham.”

“Kamu ke dokter, diet, olah-raga. Pagi, siang sore meyakinkan dirimu bisa kembali sehat dengan niatan pengin sembuh. Tapi kalau pada saat yang sama kamu biarkan pikiranmu berkeluh kesah tentang kondisi fisikmu, tentang pegel-pegel, tentang matamu yang sangat rabun, kamu akan sembuh pada arah yang berlawanan. Karena mati juga terbebas dari segala penyakit, sembuh tapi dalam arah berbeda. Bawah sadar hanya merespon hati, bukan otak. Supaya keinginanmu terwujud, otak harus selaras dengan hati”

What the hell …….

Lagi-lagi kena tegur, “Kalau masih demen ngumpat, pilih umpatan yang tidak punya konotasi negatif, supaya tidak memancing emosi terlibat secara negatif.”

Hampir saja saya bertanya, memang ada umpatan macam itu? Ternyata ada. Saya sering mengucap TELOOOO, WEDHUUUSSSS, JAMBU. 

"Kalau aku harus menjaga supaya emosi tetap positif, kenapa kalian  sering ribut?"

“Kami hanya refleksi dari pikiranmu, selama kamu menikmati saat emosimu terlibat, akan terus seperti itu. Kamu tidak dilarang melibatkan emosi, selama masih dalam arahanmu.”

Spontan saya tarik nafas panjang dan dalam, lalu tahaaaannnn ……

“Bukan seperti itu. Mengarahkan tidak sama dengan memaksakan kehendak.”

“Apakah mengatur nafas sama dengan memaksakan kehendak?”

“Hanya ketika niatmu ingin memaksa mengendalikan emosi.”

Lha kok ruwet?

“Dalam dunia mental,  selama kamu belum mampu mengarahkan pikiran dan emosimu, setiap langkah ibarat meniti jembatan setapak. Meleng sedikit, jatuh.”

We, lah.

Saya tahu, sambat tidak pernah menyelesaikan masalah. Tapi ketika beban sudah luber, kadang tanpa sadar mulut ini mengeluh. Selain terjadi secara spontan, sebenarnya saya memang tidak tahu cara mengurangi tekanan beban selain sambat atau kadang misuh. 

Dulu sekali, ketika masih belajar olah nafas, salah satu guru saya pernah mengajarkan caranya, dengan mengabaikan apapun tekanan yang saya rasakan. Masalahnya saya bukan Rambo, sosok fiktif yang konon bahkan mampu mengabaikan rasa sakit akibat siksaan musuh. Sementara saya, mengabaikan bayangan sakitnya dicubles jarum suntik saja tidak kuasa. Padahal hanya bayangan, tidak beneran disuntik. Meskipun saat benar-benar dicubles, ternyata sering tidak merasakan apa-apa. Tau-tau sudah selesai, sementara otak masih ribut membayangkan bagaimana sakitnya nanti.

Eh, sebentar! Kenapa jadi berasa sepi?

”mBul? Bujel? …… “

Tidak ada respon. Tetap sunyi. Sepertinya hanya ada saya – pengin nambahi, ada Tuhan juga. Tapi  Tuhan ada di mana?

“Tidak perlu dicari. Sadari saja bahwa Tuhan bersamamu”

Saya tolah-toleh, mencari, barangkali Gembul dan Bujel sedang iseng main petak umpet. Tapi berulangkali saya panggil, sama sekali tidak ada jawaban. Lalu siapa yang bicara? Sudah pasti bukan makhluk halus. Saya tidak pernah punya keinginan berurusan dengan makhluk macam itu.

Suara itupun kembali terdengar, “Kamu bukan setitik air yang dibuang ke laut. Kamu adalah setitik yang menjadi bagian dari lautan. Setiap titik di badanmu adalah bagian dari Alam Semesta. Kamu adalah miniatur dari Alam Semesta. ”

Sebenarnya saya tidak paha-paham amat, tapi, oke, saya terima. Saya bukan sesuatu yang ditambahkan ke Alam Semesta, melainkan sebagai bagian darinya. Begitu pula dengan yang lain. Maka sebenarnya saya tidak pernah sendiri.


HOME

01 Januari 2023

Old & New, Home Alone

Sebenarnya saya berencana menghabiskan malam pergantian tahun 2022 ke 2023 di rumah sakit. Istri saya sudah tiga hari dirawat karena trombosit dan HB-nya ngedrop. Eh, malah apes, menjelang tengah hari perut saya tiba-tiba kolaps. Diare tiga kali dalam hitungan jam. Badan lemas, kepala pusing. Tapi saya masih bertahan di kantor sampai tutup buku selesai. Menjelang Ashar, saya menyerah. Pulang.

Perjalanan pulang serasa lomba marathon, panjang dan melelahkan. Motor nyaris kehabisan bensin, sementara SPBU terdekat berada di arah berlawanan  dengan jalur pulang. Toko pakan kucing dekat rumah, yang biasanya buka hingga malam ternyata sudah tutup, membuat perjalanan semakin jauh. Setiba di depan rumah saya baru ingat, belum beli makan malam. 

Saya tahu betul kebiasaan tubuh saat sedang tidak enak badan. Begitu nyenggol sofa, langsung kambuh malas. Maka, selagi masih di luar dan belum tergoda untuk rebahan, harus beli makan dulu. Saya tidak ingin masuk angin lagi hanya gara-gara telat makan. 

Ternyata, perjalanan yang lebih panjang, ditambah sedikit maksa bertahan tidak keburu ambruk, untuk memberi makan kucing dan ayam, greges-greges, mual dan pegel-pegelnya tidak terasa lagi. Terutama setelah melahap nasi bungkus yang semula saya siapkan untuk makan malam.

Menjelang Magrib, setelah mandi air hangat, badan terasa lebih segar. Saya pun bersiap berangkat ke rumah sakit. Tapi begitu keluar halaman,  badan tiba-tiba menggigil. Terpaksa putar balik, dan langsung meringkuk dalam selimut.

Mendekati pergantian tahun, perut mulai keroncongan. Di rumah hanya tersisa kurma, wafer, dan beberapa bungkus mi instan. Sementara lidah Jawa saya tetap minta nasi.

Beruntung, masih ada warung yang buka.

“Sendiri saja, Pak?” tanya penjualnya. Padahal dia tahu saya datang sendiri.

Begitulah asyiknya Indonesia. Bermula dari pertanyaan basa-basi, berkembang menjadi obrolan gayeng.

Perut saya ternyata cuma aleman. Setelah empat suap, semangat ngunyah langsung ambyar. Nasi setengah porsi yang sebenarnya cuma segenggam, mendadak nampak segunung.

Di saat saya bingung cari alasan untuk berhenti makan, ponsel penjual nasi berdering. Suara dari loudspeaker terdengar cukup jelas. Orang di sebelah sana memberi tahu, istrinya baru saja melahirkan.

“Tutup saja, Mas. Nggak apa-apa,” saya langsung memanfaatkan situasi, menyelamatkan diri dari rasa bersalah karena makan masih tersisa banyak.

Saya pulang jalan kaki, ditemani suara jedoran mercon menyambut tahun baru.

Setiba di depan pagar rumah, para kucing muncul satu per satu dan mulai ribut. Saya kira mereka minta makan, ternyata cuma pengin ditemani. Mereka selonjoran manis di sekitar saya.

Tahun sudah berganti. Jedoran mercon mulai reda. Satu per satu kucing-kucing pergi. Tinggal saya sendiri, termenung di teras.

Di saat mata mulai ngantuk, saya merasakan kehadiran sesuatu di arah pintu masuk rumah. Hampir saja saya kabur. Tapi percuma. Kalau yang datang itu punya niat buruk, saya tidak punya tempat untuk ngumpet.

Saya punya teman-teman khayalan, tapi setiap kali mereka datang, saya tidak merasakan sensasi apapun. Beda dengan yang ini. Saya bisa tahu persis dimana dia berada. Bahkan saya merasakan ketika dia sedang “melihat” saya atau “memandang” ke arah lain.

Saya tidak tahu harus bagaimana, selain diam dan menunggu. Supaya pikiran tidak ngelantur ke sana ke mari, awalnya saya menyanyi dalam hati, kemudian memutar musik instrumental di ponsel.

Setelah beberapa lagu berlalu, dan mata semakin berat, saya memberanikan diri bicara, “Aku ngantuk, boleh tidur?”

Entah kebetulan atau hanya perasaan saya, setelah itu sensasi aneh di dekat pintu tidak terasa lagi. Suasana yang semula tenang dan tidak terasa sepi, mendadak berubah menjadi hening, dingin dan terasa, saya sedang sendiri.

Saya pun berdiri, mengucapkan terima kasih sudah ditemani, lalu bergegas masuk rumah.


HOME