Akhirnya tagihan itu beneran datang. Salah satu pembaca blog bertanya, “Kenapa tulisan tentang kanker kolorektal tidak dilanjutkan?”
Tentu saja saya ingin menuliskan cerita lanjutannya. Sayang
sekali, flashdisk tempat saya menyimpan catatan selama istri menjalani
perawatan hilang entah di mana. Jadi sekarang saya hanya mengandalkan ingatan,
dibantu catatan medis dari rumah sakit untuk merangkai kembali kronologinya.
Transfusi Darah dan Harapan yang Tertunda
Saat awal dirawat, kadar Haemoglobin Yuni hanya kisaran 4g/dL.
Terlalu rendah untuk menjalani prosedur invasif. Dokter memutuskan menunda biopsi.
Yuni harus menerima transfusi terlebih dahulu, sampai kadar HB paling tidak
mencapai 10 g/dL. Empat kantong darah mengalir ke tubuhnya, membawa oksigen dan
harapan baru.
Sesuai kesepakatan antara dokter dengan saya sebelumnya,
biopsi dilakukan bersamaan dengan kolostomi – operasi membuat saluran
pembuangan feses melalui lubang di dinding perut. Rencananya, operasi dilakukan
pagi sebelum Jumatan, tapi tertunda karena ada pasien darurat. Baru siang
harinya Yuni masuk ruang operasi.
Empat Jam yang Mengubah Segalanya
Biopsi dan kolostomi berlangsung lancar sekitar 4 jam, tapi
sampai hari ini saya belum punya nyali untuk melihat secara detail kantong yang
terpasang di perut bagian kiri bawah. Saya hanya tahu, sejak saat itu istri
saya tidak lagi BAB melalui dubur. Kotoran keluar melalui lubang di dinding
perut, ditampung sementara di kantong yang secara berkala dibersihkan dan
diganti setiap 2 atau 3 hari sekali.
Awalnya dokter berharap kolostomi itu hanya sementara. Tapi
entah kenapa, saya merasa ragu. Ternyata dugaan saya benar, setelah operasi
kanker dilakukan tujuh bulan kemudian, dokter memberitahu, jalur lama terpaksa
ditutup permanen. Stoma bukan lagi jembatan sementara, melainkan menjadi bagian
tetap dari hidup Yuni.
Yuni Ternyata Lebih Kuat
Hari-hari pertama pasca kolostomi terasa menegangkan. Bukan
karena kondisi Yuni, tapi karena kecemasan saya sendiri. Yuni terlihat santai.
Tapi justru sempat membuat saya kuwatir, dia menyembunyikan perasaan yang sebenarnya.
Sampai beberapa hari kemudian, saya senewen sendiri, menunggu, kapan bom waktu
itu akan meledak.
Alhamdulillah, tidak terjadi apa-apa. Yuni tetap santai. Tetap
ceria seperti sebelumnya. Bahkan sangat antusias memberi penjelasan tentang
kantongnya, seperti sedang promosi gadget baru.
Hari ini sudah dua tahun lebih Yuni mengenakan kantong. Aktifitasnya
sudah kembali seperti sebelum covid. Motoran, jalan-jalan, bercocok-tanam, nyapu,
ngepel, semua dikerjakan tanpa halangan. Tidak ada cerita tercium bau aneh, cairan
rembes atau kantong bocor. Hanya ada satu perubahan – seperti kata Imah dulu, bunyi
kentut tidak bisa disensor. Kadang terdengar nyaring, kadang hanya berdesis
campur sedikit suara plupuk plupuk, kadang agak horor. Bagusnya, Yuni bisa santai
menerima kebiasaan baru itu.
Meskipun sekarang semua baik-baik saja, tapi sekitar setahun
pertama Yuni sempat enggan pergi jauh. Untuk menguras isi dan membersihkan
kantong, dia membutuhkan closet duduk. Sekedar jongkok saja sudah cukup repot,
keganjel kantong. Apalagi kalau harus mengeluarkan isi dan bersih-bersih di WC
umum yang kebanyakan masih pakai kloset jongkok.
Dulu, ketika perawat memberitahu, kantong bisa digunakan 2
sampai 3 hari, saya sempat tidak setuju. Tas kresek bekas makanan basi saja susah
dibersihkan, apalagi kantong yang menampung kotoran perut.
Ternyata kantongnya memang ada banyak macam. Ada yang hanya
sekali pakai, ada pula yang bisa digunakan sampai 3 hari. Yang sekali pakai
lebih praktis, tinggal dibuang bareng kotoran. Tapi, karena istri saya merasa
lebih nyaman dengan yang bisa dipakai ulang sampai 3 hari – meskipun harus
ribet bersih-bersih. Saya ngikut saja.
Perjalanan panjang ini mengajarkan banyak hal. Bukan hanya
tentang kanker, kolostomi, atau manajemen kantong medis—tapi tentang kekuatan
jiwa yang tak terlihat oleh mata. Yuni bukan sekadar survive. Ia berhasil berdamai
dengan perubahan radikal dalam tubuhnya. Tidak membiarkan stoma mendefinisikan
siapa dirinya. Justru, ia menunjukkan bahwa keindahan hidup tak terletak pada kesempurnaan
fisik, melainkan pada kemampuan hati untuk menerima, menyesuaikan, dan terus
melangkah.