Kata orang, hidup hanya sekali. Tapi bagi saya, hidup bukanlah satu garis lurus yang dilewati sekali dan selesai. Hidup adalah lembaran-lembaran yang berganti setiap hari. Kalau umur saya sekarang 62, artinya saya sudah hidup lebih dari dari 22.600 kali. Sebanyak itu pula saya menggoreskan warna di atas kanvas kehidupan.
Namun, jika saya menengok kembali lukisan-lukisan itu,
hasilnya tidak selalu indah. Diantara goresan-goresan yang membanggakan, kenangan
manis, pencapaian kecil, momen-momen yang membuat hati berbinar, sebagian
tertutup coreng-moreng warna gelap: kecemasan, kebiasaan buruk, keputusan yang
terburu-buru, dan rutinitas yang hampa makna.
Sempat sedikit kecewa, tapi kemudian justru bersyukur, karena
saya masih bisa melihat dengan jujur betapa berantakannya lukisan hidup saya
saat ini. Bersyukur karena tanpa mencari kambing hitam, tanpa ngeles, tanpa
menyalahkan masa lalu atau orang lain, hati saya mau diajak kompromi dan
terbuka untuk memperbaikinya.
Saya memutuskan untuk kembali melukis. Bukan dengan ambisi
menciptakan mahakarya, tapi dengan tekad sederhana, membuat goresan yang lebih
tenang, lebih penuh perasaan, dan lebih bermakna. Karena saya tahu, kanvas
kehidupan ini suatu hari nanti akan digulung untuk selamanya. Bila saat itu
tiba, saya ingin mempersembahkan lukisan yang indah kepada alam semesta.
Setelah bertahun-tahun mencoba memperbaiki hidup dengan
semangat menggebu, ritual rumit, atau mengejar solusi instan, saya akhirnya
sadar, perubahan yang tahan lama tidak dimulai dari tindakan besar. Dia lahir
dari hal-hal kecil, yang dilakukan dengan kesadaran dan sepenuh hati.
Tak ada yang melarang saya berangan-angan menciptakan karya
terindah di sisa waktu ini—kecuali saya sendiri. Tapi, karena tidak ada buku
panduan cara memulainya, saya mencoba mendengarkan suara hati. Sungguh-sungguh
membuka telinga batin, agar tak ada lagi sinyal yang terlewat.
Hasilnya, setiap pagi, sebelum alarm jam setengah empat
berbunyi, saya sudah terjaga. Bukan sekedar melek, tapi badan sudah benar-benar
bangun. Semua “nyawa” yang semalam kelayaban sudah ngumpul.
Setelah berterimakasih, karena masih diberi kesempatan bernafas,
saya mengawali hari dengan aktifitas rutin sederhana, beres-beres rumah. Lepas
subuh, saya berangkat menuju lapangan. Jalan kaki tanpa alas di rumput yang masih
basah oleh embun.
Awalnya saya berjalan cepat, mengikuti lagu dengan birama
4/4 dari headphone. Sepuluh putaran selesai dalam waktu setengah jam. Cukup
membuat badan hangat dan otot-otot tidak kaku.
Tapi suatu pagi, saat lagu berganti dan langkah saya
melambat, saya merasakan sensasi yang berbeda. Sentuhan rumput yang basah
terasa lebih dingin di kaki, tapi menyegarkan, dan membuat tubuh terasa lebih
ringan.
Saya mulai menikmatinya. Saya ganti lagu berirama riang
dengan musik instrumentalia yang lebut diselingi kicau burung dan gemericik air.
Saya berjalan lebih lambat, santai, dan tidak lagi menetapkan target aerobik.
Tidak peduli ketika ada yang menganggap saya kurang. Tidak pula perduli
durasinya menjadi lebih lama dua kali lipat. Satu-satunya yang masih saya
perhatikan hanya detak jantung, sesuai pesan dokter, tidak boleh lebih dari 130
bpm.
Ternyata, menapakkan kaki atau jalan di tanah tanpa alas
punya nama keren, Grounding. Menghubungkan tubuh secara langsung dengan medan
elektromagnetik bumi. Menurut laman Alodokter, Grounding punya banyak manfaat
untuk kesehatan. Diantaranya, meningkatkan imun tubuh, mengurangi peradangan
dan menurunkan tekanan darah.
Saya tidak punya alasan untuk meragukannya, tapi bagi saya,
sensasi selama berjalan itulah yang paling terasa nyata. Manfaat yang lain,
seandainya terjadi, anggap saja bonus.
Barangkali, santai dan tanpa target justru membuat tubuh
saya menjadi selaras dengan bumi, membuat pegel-pegel berkurang lumayan
signifikan. Sementara dalam beberapa kali pengukuran pada kesempatan berbeda,
tekanan darah saya anteng di 90/130 – dari biasanya di kisaran 95/160. Nafas juga
menjadi lebih panjang.
Sebelumnya, otak saya mirip monyet liar. Lompat sana-sini,
berpindah dari satu kecemasan ke kecemasan lain. Sekarang lebih tenang. Sapuan
kuas di kanvas menorehkan warna yang cerah. Meskipun masih abstrak, tapi
goresannya mulai teratur.
Saya tidak tahu, berapa lama lagi kesempatan yang masih
tersisa. Tapi saya tidak ingin mengisi kanvas kehidupan saya dengan coretan
gelap lagi. Tidak perlu sempurna. Tidak perlu spektakuler. Saya ingin setiap hari jadi goresan yang
lebih tenang, lebih penuh rasa, dan lebih bermakna.