Sudah lebih dari setahun sejak saya menyadari bahwa hidup saya justru makin morat-marit setelah saya berusaha menata diri. Sepertinya, dugaan semula bahwa kondisi yang semakin berat itu hanya merupakan proses menuju kebaikan, tidak lebih dari pepesan kosong. Realitanya, semakin ke sini, saya malah merasa semakin ke sono. Semakin jauh dari harapan.
Pertanyaan “Sampai kapan begini terus?” makin sering
menggema di kepala. Nalar saya mulai tidak sabar. Beberapa kali mencoba
mengambil alih kendali, memaksa saya menyerah dan kembali ke masa lalu—di mana
semuanya serba pas-pasan, tapi terasa lebih nyaman. Setidaknya bukan seperti sekarang,
finansial tambah jeblog, kesehatan mundur, fisik tambah rapuh, dan berbagai
masalah tidak lagi datang bergantian, melainkan rame-rame, seakan sudah saling
janjian sebelumnya.
Tapi, selalu saja ada bisikan kecil yang muncul dan berharap,
“Jangan nyerah dulu. Mungkin caramu yang keliru. Coba kamu telusuri ulang
perjalananmu.”
Di sini saya baru sadar betapa sulitnya menjalankan nasihat
para motivator. Ucapannya manis, enak di telinga, tapi ketika dilakoni ternyata
hanya muter-muter tanpa hasil. Membuat mental makin lelah.
Perasaan, semua sudah saya kerjakan sesuai petunjuk yang
saya baca di buku-buku motivasi dan video-video pengembangan diri. Saya juga
paham bahwa afirmasi bukan sekedar kata-kata. Bahwa alam semesta tidak merespon
niat, melainkan keselarasan. Bahwa doa harus disampaikan melalui hati, bukan
sekedar diucapkan di mulut. Tapi kenapa usaha saya untuk maju malah seperti
ditarik mundur?
Tiba-tiba, dalam satu momen yang tak terduga, seseorang yang sudah
sangat lama tidak pernah ketemu, muncul begitu saja sambil memaki. "GUNAKAN OTAKMU!!!!". Padahal
sepanjang saya kenal, beliau selalu bicara santun. Repotnya, bayangan itu
muncul berulang.
Daripada bingung sendiri, saya anggap makian itu sebagai
sinyal ajakan dari alam semesta untuk berkomunikasi.
Seperti biasa, ketika pikiran mulai lelah menghadapi
teka-teki alam semsta, sisi diri saya yang ugal-ugalan mengambil alih kendali. “Gosah main
tebak-tebakan. Diet nasiku cuma empat
sendok sekali makan. Jangan membuat aku lapar lagi!”
Entah kebetulan, atau memang alam semesta cederung merespon
kelakuan ugal-ugalan, di otak saya laungsung muncul kalimat “Recticular
Activating System”. Bukan hanya sejelas kristal, juga diikuti petunjuk, “Tanya
mbah Gugel”.
Sekilas saja saya membaca penjelasan di Google, ingatan saya langsung mundur sekian puluh tahun, saat Ibu berusaha membantu saya bangkit dari keterpurukan mental, akibat terlalu lama dan terlalu sering dibully.
Kata
Ibu, saya tidak perlu dendam, saya harus belajar melihat segala sesuatu dari
sisi yang baik, supaya “penjaga” otak saya tidak keliru memberi umpan kepada
otak. Umpan yang berkonotasi buruk akan membuat otak berada dalam mekanisme
bertahan, sementara yang baik akan membuat otak lebih kreatif.
Nasib baik hanya bisa terwujud ketika otak kreatif. Mekanisme bertahan akan membuat saya terblenggu.
Dalam penjelasan di Google, Recticular …. Aaahhh, biar lidah
saya tidak keseleo saat mengeja, saya tulis RAS saja. Menurut Gugel, RAS adalah
jaringan saraf di batang otak, berfungsi menyaring informasi sensorik, sebelum
informasinya diteruskan ke bagian otak yang lebih tinggi.
Ada satpam di gerbang otak, yang berperan sebagai tukang
sensor. Segala sesuatu yang “dianggap tidak pantas”, dihalangi. Masalahnya,
tukang sensor itu tidak bekerja berdasar pertimbangan moral antara baik dan
buruk atau mempertimbangkan manfaat jangka panjang. Tukang sensor itu hanya
meloloskan informasi yang membuat otak merasa nyaman.
Sepertinya RAS bekerja mirip algoritma YouTube, yang selalu menampilkan konten-konten yang biasa kita tonton sebelumnya, bukan yang seharusnya kita lihat. Kalau kita terbiasa nonton video drama Korea, jangan harap YouTube merekomendasikan video tutorial meditasi. Kalau selama bertahun-tahun saya terbiasa dengan pikiran penuh ragu, kecemasan, atau perasaan kurang layak, RAS di gerbang otak hanya akan meloloskan segala sesuatu yang memperkuat keraguan, dan mengabaikan tanda-tanda harapan.
Ketika saya mulai berubah, RAS panik. Dia anggap perubahan itu
"tidak biasa", punya potensi "berbahaya". Akhirnya, secara
diam-diam, RAS menarik saya kembali pada zona nyaman, tidak perduli seandainya zona
itu, bagi nalar, justru mendatangkan banyak masalah, dan menyakitkan.
Sekarang saya mulai paham, belenggu yang selama ini menarik
saya mundur bukan kelemahan moral, melainkan mekanisme pertahanan otak.
Bukan karena saya tidak mampu berubah, tapi karena otak belum diberi cukup alasan untuk percaya bahwa
perubahan itu aman.
Otak tidak sedang berbuat jahat, melainkan hanya berusaha
melindungi saya dari potensi bahaya. Caranya keliru, tapi niatnya tulus.
Supaya usaha saya memperbaiki nasib tidak mendapat penolakan
dari otak, saya harus kompromi terlebih dahulu. Tapi, bagaimana bisa kompromi
kalau di gerbang dicegat dan dihalangi, karena dianggap sebagai pemberontak
yang punya niat buruk?
Tuhan selalu punya niat baik. Alam semesta, sebagai
representasi Tuhan, juga bekerja berdasar niat baik. Tubuh manusia-termasuk
RAS, merupakan bagian dari Alam Semesta, juga harus diperlakukan secara baik.
Perlawanan atau melakukan aktifitas yang bisa dianggap melawan kebiasaan, akan
membuahkan penolakan.
Maka saya harus melakukan pendekatan secara pelan-pelan, dan
menggunakan sinyal baru. Saat bangun tidur tidak langsung bangkit dari kasur,
tapi duduk sejenak. Mengganti afirmasi keras, “Saya pasti bisa” dengan kalimat “Saya
membuka diri untuk berprestasi.”
Saya tahu, ini proses panjang, karena belenggu itu tidak dibentuk
dalam sehari. Tapi sekarang saya tahu, belenggu itu bisa dilonggarkan. Satpam
otak bisa diajak berunding, selama saya sabar, dan tidak berhenti mengetuk
pintunya.