20 November 2024

Satpam Otak dan Belenggu yang Saya Buat Sendiri


Sudah lebih dari setahun sejak saya menyadari bahwa hidup saya justru makin morat-marit setelah saya berusaha menata diri. Sepertinya, dugaan semula bahwa kondisi yang semakin berat itu hanya merupakan proses menuju kebaikan, tidak lebih dari pepesan kosong. Realitanya, semakin ke sini, saya malah merasa semakin ke sono. Semakin jauh dari harapan.

Pertanyaan “Sampai kapan begini terus?” makin sering menggema di kepala. Nalar saya mulai tidak sabar. Beberapa kali mencoba mengambil alih kendali, memaksa saya menyerah dan kembali ke masa lalu—di mana semuanya serba pas-pasan, tapi terasa lebih nyaman. Setidaknya bukan seperti sekarang, finansial tambah jeblog, kesehatan mundur, fisik tambah rapuh, dan berbagai masalah tidak lagi datang bergantian, melainkan rame-rame, seakan sudah saling janjian sebelumnya.

Tapi, selalu saja ada bisikan kecil yang muncul dan berharap, “Jangan nyerah dulu. Mungkin caramu yang keliru. Coba kamu telusuri ulang perjalananmu.”

Di sini saya baru sadar betapa sulitnya menjalankan nasihat para motivator. Ucapannya manis, enak di telinga, tapi ketika dilakoni ternyata hanya muter-muter tanpa hasil. Membuat mental makin lelah.

Perasaan, semua sudah saya kerjakan sesuai petunjuk yang saya baca di buku-buku motivasi dan video-video pengembangan diri. Saya juga paham bahwa afirmasi bukan sekedar kata-kata. Bahwa alam semesta tidak merespon niat, melainkan keselarasan. Bahwa doa harus disampaikan melalui hati, bukan sekedar diucapkan di mulut. Tapi kenapa usaha saya untuk maju malah seperti ditarik mundur?

Tiba-tiba, dalam satu momen yang tak terduga, seseorang yang sudah sangat lama tidak pernah ketemu, muncul begitu saja sambil memaki. "GUNAKAN OTAKMU!!!!". Padahal sepanjang saya kenal, beliau selalu bicara santun. Repotnya, bayangan itu muncul berulang.

Daripada bingung sendiri, saya anggap makian itu sebagai sinyal ajakan dari alam semesta untuk berkomunikasi.

Seperti biasa, ketika pikiran mulai lelah menghadapi teka-teki alam semsta, sisi diri saya yang ugal-ugalan mengambil alih kendali. “Gosah main tebak-tebakan. Diet nasiku cuma  empat sendok sekali makan. Jangan membuat aku lapar lagi!”

Entah kebetulan, atau memang alam semesta cederung merespon kelakuan ugal-ugalan, di otak saya laungsung muncul kalimat “Recticular Activating System”. Bukan hanya sejelas kristal, juga diikuti petunjuk, “Tanya mbah Gugel”.

Sekilas saja saya membaca penjelasan di Google, ingatan saya langsung mundur sekian puluh tahun, saat Ibu berusaha membantu saya bangkit dari keterpurukan mental, akibat terlalu lama dan terlalu sering dibully. 

Kata Ibu, saya tidak perlu dendam, saya harus belajar melihat segala sesuatu dari sisi yang baik, supaya “penjaga” otak saya tidak keliru memberi umpan kepada otak. Umpan yang berkonotasi buruk akan membuat otak berada dalam mekanisme bertahan, sementara yang baik akan membuat otak lebih kreatif.

Nasib baik hanya bisa terwujud ketika otak kreatif. Mekanisme bertahan akan membuat saya terblenggu.   

Dalam penjelasan di Google, Recticular …. Aaahhh, biar lidah saya tidak keseleo saat mengeja, saya tulis RAS saja. Menurut Gugel, RAS adalah jaringan saraf di batang otak, berfungsi menyaring informasi sensorik, sebelum informasinya diteruskan ke bagian otak yang lebih tinggi.

Ada satpam di gerbang otak, yang berperan sebagai tukang sensor. Segala sesuatu yang “dianggap tidak pantas”, dihalangi. Masalahnya, tukang sensor itu tidak bekerja berdasar pertimbangan moral antara baik dan buruk atau mempertimbangkan manfaat jangka panjang. Tukang sensor itu hanya meloloskan informasi yang membuat otak merasa nyaman.

Sepertinya RAS bekerja mirip algoritma YouTube, yang selalu menampilkan konten-konten yang biasa kita tonton sebelumnya, bukan yang seharusnya kita lihat. Kalau kita terbiasa nonton video drama Korea, jangan harap YouTube merekomendasikan video tutorial meditasi. Kalau selama bertahun-tahun saya terbiasa dengan pikiran penuh ragu, kecemasan, atau perasaan kurang layak, RAS di gerbang otak hanya akan meloloskan segala sesuatu yang memperkuat keraguan, dan mengabaikan tanda-tanda harapan.

Ketika saya mulai berubah, RAS panik. Dia anggap perubahan itu "tidak biasa", punya potensi "berbahaya". Akhirnya, secara diam-diam, RAS menarik saya kembali pada zona nyaman, tidak perduli seandainya zona itu, bagi nalar, justru mendatangkan banyak masalah, dan menyakitkan.

Sekarang saya mulai paham, belenggu yang selama ini menarik saya mundur bukan kelemahan moral, melainkan mekanisme pertahanan otak. Bukan karena saya tidak mampu berubah, tapi karena otak  belum diberi cukup alasan untuk percaya bahwa perubahan itu aman.

Otak tidak sedang berbuat jahat, melainkan hanya berusaha melindungi saya dari potensi bahaya. Caranya keliru, tapi niatnya tulus.

Supaya usaha saya memperbaiki nasib tidak mendapat penolakan dari otak, saya harus kompromi terlebih dahulu. Tapi, bagaimana bisa kompromi kalau di gerbang dicegat dan dihalangi, karena dianggap sebagai pemberontak yang punya niat buruk?

Tuhan selalu punya niat baik. Alam semesta, sebagai representasi Tuhan, juga bekerja berdasar niat baik. Tubuh manusia-termasuk RAS, merupakan bagian dari Alam Semesta, juga harus diperlakukan secara baik. Perlawanan atau melakukan aktifitas yang bisa dianggap melawan kebiasaan, akan membuahkan penolakan.

Maka saya harus melakukan pendekatan secara pelan-pelan, dan menggunakan sinyal baru. Saat bangun tidur tidak langsung bangkit dari kasur, tapi duduk sejenak. Mengganti afirmasi keras, “Saya pasti bisa” dengan kalimat “Saya membuka diri untuk berprestasi.”

Saya tahu, ini proses panjang, karena belenggu itu tidak dibentuk dalam sehari. Tapi sekarang saya tahu, belenggu itu bisa dilonggarkan. Satpam otak bisa diajak berunding, selama saya sabar, dan tidak berhenti mengetuk pintunya.