07 Februari 2023

Perseteruan di Lorong Rumahsakit

Di antara sekian banyak entitas non fisik yang sesekali mampir ke kepala saya—mulai dari suara-suara bijak, bayangan masa lalu, sampai pengingat "besok bayar tagihan listrik"—ada satu yang paling rutin datang dan cukup mencolok: seekor kucing.

Bukan kucing biasa, tentu saja. Dia muncul dalam khayalan saya, lengkap dengan ekor, telinga tajam, dan mata yang bisa melihat isi dompet saya. Dan yang paling penting: dia bisa bicara.

Namanya berubah-ubah, tergantung suasana hati saya. Kadang saya panggil “Belang,” kadang “Empus.” Terakhir "Gembul", dan entah kenapa kemudian menjadi nama tetapnya. Sebenarnya, dipanggil apapun, kecuali "Bundel" - karena ekornya bundel macam gulungan benang nempel di pantat, dia tidak pernah protes. 

Kucing satu ini punya kebiasaan aneh. Setiap kali muncul selalu menimang sekaleng Coca Cola, tapi belum pernah sekalipun saya melihat dia minum. 

"Doyan begituan juga? Dapat nyolong apa endorsan?"

Ternyata hanya gaya-gayaan. Begitu gleg, seteguk, langsung keseleg. 

Pada sebagian besar kemunculannya, dia lebih mirip komedian ketimbang penasehat. Misalnya, saat saya sedang merenung soal arah hidup, dia dengan santainya berkata,

“Kalau bingung arah, coba tidur miring ke kiri. Bagus buat pencernaan.”

Tapi anehnya, kadang-kadang, di tengah semua tingkah konyolnya, dia bisa sangat serius dan nasehatnya sering tepat sasaran.

Seperti waktu saya nyaris menyerah karena semua terasa berat. Dia duduk tenang di ujung meja, menatap saya dengan mata segede kelereng, lalu berkata,

“Kamu masih hidup, berarti Tuhan tidak menghendaki kamu berakhir macam kecoak keinjek. Sekali waktu kamu pernah menjadi pemenang, mengalahkan jutaan pesaingmu di dalam sana. Buktikan kalau kemenangan itu bukan sekedar kebetulan belaka, tapi karena kamu memang terkuat.”

Awalnya saya bingung, kapan itu terjadi? Ternyata gulungan bulu itu membahas kejadian saat saya masih berupa sel tunggal, adu balap rebutan sel telur.  

Sejak itu, saya mulai menganggap kehadirannya bukan sekadar gangguan imajinatif. Tidak sedikit dari pendapatnya, sekalipun kadang terasa konyol, membawa pemahaman baru terhadap pertanyaan-pertanyaan  yang sebelumnya tidak  saya temukan jawabnya.

Seakan seekor kucing belum cukup, ketika saya sering ngelamun di selasar rumah-sakit saat istri saya menjalani perawatan kanker, muncul satu lagi. Kali ini tanpa wujud, dan sempat membuat saya keliru menyangka sebagai salah satu makhluk penghuni rumah-sakit. Dia banyak membantu saya memahami penjelasan dokter mengenai kondisi istri saya. Tapi, entitas-entitas macam itu nampaknya punya satu kesamaan, punya penyakit konyol kambuhan.

Pada awal-awal kehadirannya, pendatang baru ini sempat membuat saya merinding. Masalahnya, dia lebih sering  muncul malam hari, ketika saya sedang ketap-ketip tidak bisa tidur. Tanpa permisi, tiba-tiba mak bedunduk, saya merasa seolah-olah ada yang duduk di sebelah. Berulang kali terjadi seperti itu, sampai akhirnya saya mencoba memberi dia wujud. 

Saya coba wujud berbagai binatang, dia tidak protes, tapi malah saya merasa tidak nyaman. Suatu saat, terbayang durian, eh, ganti dia histeris macam kebakaran jenggot. Ternyata dia sangat membenci durian. 

Tiba-tiba Gembul punya ide serem, "Dia kan sebangsa setan, kali saja pocong lebih cocok"  

"Setan bapak kau!" 

Selanjutnya, merekapun ribut. 

"Guys, guys, ini rumah-sakit. Kalau berantem pindah kuburan sono" Saya mencoba melerai. Tiba-tiba, sosok tinggi besar berwarna merah dengan tampang sangar muncul persis di hadapan saya. "Istrimu sedang sakit, jangan pernah berpikir apapun tentang kuburan."

Seketika saya sesak nafas. Bukan takut pada sosok itu, melainkan kepikiran, istri saya besok siang akan menjalani operasi mengangkat kankernya. 

Begitu saya kembali tenang, sosok merah itu tidak terlihat lagi. Tapi saya masih merasakan kehadirannya. Entah kenapa, mendadak saya teringat wujud setan merah dengan tanduk puthul di film Hellboy. Penampakan tadi sangat mirip. 

"Kenapa kamu mengambil wujud seperti itu?" Saya jadi penasaran.

Menurutnya, dia akan terlihat dengan wujud seperti apapun yang diberikan oleh pikiran saya. Padahal tadi saya tidak mikir apapun selain  kuwatir terhadap kondisi istri saya. Atau mungkin, wujud itu merupakan refleksi dari kecemasan saya. Entahlah.

Selain wujud yang menurut saya sedikit gimana gitu, saya masih penasaran dengan asal usul Gembul dan pendatang ini. Siapa atau apa mereka sebenarnya? Seandainya berasal dari aktifitas otak, terdapat banyak suara muncul di kepala, mengapa hanya Gembul yang memiliki penampakan? Kenapa pula ada yang baru muncul sekarang?  

Banyak pikiran membuat saya capek, lalu tertidur di selasar. Terbangun kembali ketika saya merasakan guncangan lunak di bahu.

Dua sapam berdiri sebelahan, salah satu berkata,  "Maaf pak, tidak boleh tidur di sini". 

Setelah mereka yakin saya sedang menunggu pasien, saya diijinkan kembali ke kamar tempat istri dirawat. 

Baru sedikit lewat tengah malam. Sebagian lampu di lorong rumah-sakit  tetap dibiarkan menyala, tapi suasana sepi dan dinginnya AC membuat saya sedikit merinding. 

"Di sini bersih, tidak ada apa-apa." Sosok Hellboy muncul di ujung lorong. Tentu saja membuat saya kaget setengah mati. Beruntung tidak kelepasan teriak atau ngompol. 

"Bule jelek, bikin kaget!" Gembul yang mendadak ada di sebelah saya uring-uringan.

"Siapa yang bule?" Hampir bersamaan saya dan kembaran Hellboy bertanya.

"Karung beras warna merah itu kan bule!"

Langsung pecah perang diantara keduanya. Anehnya, saya tidak merasa takut lagi. Kali ini saya biarkan mereka ribut, karena saya akhirnya sadar, serame apapun, tidak akan mengganggu pasien. Bahkan lama-lama saya mulai menikmati keributan mereka. 

Setiba di kamar, saya langsung berbaring di tempat tidur yang memang disediakan untuk penunggu. Sebelum kembali terlelap saya sempat mendengar Gembul berteriak di kejauhan,  "Bujel, bule jelek. Kembalikan ekorku!"


01 Februari 2023

Penasehat Dari Sebelah Sono


Setiap orang punya cara masing-masing untuk berdialog dengan diri sendiri. Ada yang menulis jurnal, ada yang ngajak bicara kucing (yang hanya menjawab dengan dengkuran – atau malah sering minta makan), dan ada juga yang, seperti saya, punya tamu tak diundang dalam kepala.

Ini bukan kisah horor. Tidak ada sosok misterius ndhekem di bawah pohon mangga sambil berbisik, "Jangan lupa bayar BPJS." Tapi ada satu entitas non fisik—atau beberapa, saya belum yakin jumlahnya—yang suka muncul saat saya sedang serius merenungi hidup.

Biasanya sosok itu nyelonong begitu saja, tanpa permisi, saat saya sedang duduk tenang, mengenang masa lalu, menimbang-nimbang keputusan yang pernah saya ambil puluhan tahun lalu, ketika tiba-tiba terdengar suara (dalam hati, tentu saja):

“Tahu nggak, kalau waktu itu kamu tidak asal-asalan nenggak sembarang suplemen dan sedikit saja rajin olah-raga, sekarang kamu masih bisa menikmati semua makanan kesukaanmu!”

Padahal saya sedang merenungi lensa kamera yang retak gara-gara kepleset waktu motret Merapi, bukan mikir makanan.

Kadang mereka ini seperti radio rusak—menanggapi renungan saya dengan komentar yang sama sekali nggak nyambung. Tapi anehnya, saya tidak pernah merasa terganggu. Malah, mereka sering membuat saya tertawa sendiri.

Ada kalanya suara-suara itu memberi saran yang masuk akal. Seperti saat saya bingung antara beli es krim atau patuh diet:

“Hasil cek terakhir, trigliseridamu di atas 1000. Sebaiknya jangan terlalu sering melanggar diet. Tapi kalau kamu pengin sekali-kali merasakan masuk ICU, terus sekujur tubuh dicublesi jarum, seliter es krim sehari selama beberapa minggu kurasa cukup sebagai pengantar.”

Nah lho.

Saya menyebut mereka "Penasehat dari sebelah sono". Mereka bukan malaikat, bukan jin, apalagi ilham surgawi. Dalam persepsi saya, mereka lebih seperti gerombolan penggembira—dengan anggota yang kadang bijak, kadang absurd. Ada yang cerewet seperti teman lama, ada yang filosofis ala guru spiritual, dan ada juga yang tampaknya hanya mampir untuk bikin rame suasana.

Saya pernah mencoba mengabaikan mereka. Tapi justru saat saya tidak mendengarkan, mereka makin heboh. Jadi sekarang saya terima saja kehadiran mereka. Anggap saja mereka bagian dari proses berpikir saya yang unik.

Tentu saja, saya sadar sepenuhnya bahwa semua ini hanyalah bagian dari imajinasi. Tapi bukankah hidup ini juga penuh dengan hal-hal yang tidak selalu bisa dijelaskan logika?

Kalau Anda juga pernah mengalami hal serupa—entah itu suara hati, insting, atau "komentator dalam kepala"—jangan khawatir. Bukan berarti Anda mulai gila. Mungkin hanya terlalu sering berpikir mendalam.

Dan siapa tahu, di balik komentar absurd mereka, terselip juga sepotong kebijaksanaan yang bisa membawa kita ke arah yang lebih baik.

Atau minimal, menghibur di tengah kesunyian.