Di salah satu spot favorit saya ngintip Merapi ternyata sering disambangi seekor anjing hitam. Entah siapa takut siapa, yang jelas setiap kali kami berpapasan kalau bukan saya yang manjat batu cari selamat, anjing itu ngacir sambil nggereng.
Saya kemudian ambil inisiatif berdamai dengan berbagi bekal. Secuil kecil setiap kali dia datang, dan kami segera berteman. Kadang setelah makan dia duduk manis dekat tripod, menemani saya jepret-jepret Merapi sampai terdengar suitan panjang dari kejauhan.
Sekitar sebulan sebelum pandemi saya sempat ketemu pemiliknya, seorang simbah-simbah, menurut pengakuannya berumur 82 tahun. Fisiknya terlihat masih kuat, bahkan harus saya akui lebih fit ketimbang saya. Paling tidak simbah itu masih kuat berjalan jauh sambil manggul seonggok besar rumput.
Saya bisa bilang jauh karena rumah penduduk paling dekat berjarak 3 kilometer dari tempat kami bertemu. Bagi saya, jarak segitu dengan kontur naik-turun, ditempuh jalan kaki sambil manggul beban bisa bikin boyok sempal.
Saat ngobrol sambil jalan, simbah bercerita tentang Merapi, wedhus gembel dan wisatawan yang mulai banyak berdatangan. Lalu tiba-tiba, “Mangga, kula aturi pirsa panggenan ingkang sae kangge motret redi Merapi.”.
Tanpa menunggu persetujuan, simbah langsung ngunclug, meninggalkan saya keponthal-ponthal menyusul di belakang. Beberapa kali pengin rasanya berteriak, minta istirahat, tapi mulut lebih sibuk megap-megap.
Edan tenan! Carrier yang saya gembol beratnya kurang dari 10 kg, tidak sebanding dengan rumput yang disunggi simbah itu, tapi saya harus berjuang keras hanya sekedar untuk menjaga jarak supaya tidak terlalu jauh tertinggal. Sementara si wedhus balap item malah lari bolak-balik antara saya dengan simbah sambil menggonggong
Di telinga saya gonggongan itu terdengar ngenyek, “cepetan dikit napa?”
Akhirnya kami tiba juga di spot yang benar-benar waaoooowww. Merapi terlihat dari puncak sampai kaki.
Saya baru saja mulai selonjor ketika simbah mendadak pamit. Wo lha ndak bisa gitu, gara-gara jalan sambil ngap-ngapan saya tidak memperhatikan rute, kalau harus pulang sendiri bisa repot. Terpaksa saya keponthal-ponthal lagi, menyusul simbah sambil sebisanya memperhatikan rute.
Jangan tanya lokasi, saya lupa bertanya nama desanya. Yang saya tahu, di
Tahun 2020 sudah berakhir 3 hari lalu, artinya sudah hampir setahun saya tidak ketemu simbah dan wedhus balapnya. Status Merapi masih siaga, tapi sejak malam tahun baru aktifitasnya lumayan nanjak. Tanggal 1 dan 2 Januari gempa di Merapi bahkan sampai lebih dari 600 kali per 24 jam. Semoga simbah berdua dan seluruh warga kaki Merapi baik-baik saja.