Kagol lantaran kabut yang menutup Merapi menjadi semakin tebal, saya memutuskan pindah tempat, mencari obyek foto lain.
Setelah cukup lama ngider tanpa tujuan, tiba-tiba saya teringat monyet-monyet di hutan wisata Telaga Putri. Sejak Merapi erupsi 2010 saya sudah beberapa kali berkunjung ke
Sejak air terjun mampet, hanya monyet yang membuat saya masih berkunjung ke sana. Saya suka memperhatikan polah tingkah kerabat jauh itu. Pernah nyaris setengah hari saya nongkrong sambil nenteng kamera, tapi tidak sekalipun ambil gambar. Saya justru lebih sibuk mengikuti gerak mereka menggunakan monokuler.
Di mata saya, monyet-monyet itu lucu dan sedikit menggemaskan, selama tidak lupa selalu waspada. Meleng sedikit, siap-siap saja ada barang tentengan pindah tangan. Pernah saya alami, tas kresek berisi sampah tisu dan bungkus bekal yang saya letakkan dekat kaki, amblas di bawa kabur. Geli, pengin ketawa, sekaligus iba, ketika melihat tas itu akhirnya dilempar dari atas pohon di kejauhan, setelah isinya diobok-obok.
Hari itu hutan wisata masih sepi orang. Setelah berkeliling beberapa saat, saya nemu spot bagus untuk mengabadikan aktifitas monyet-monyet di pohon maupun di tanah tanpa terganggu lalu lalang pengunjung, cukup mendapat sinar matahari sekaligus tidak nantang back light.
“Haloooo, pagiiiii. Mau kacang?” Saya melempar umpan, memancing beberapa ekor mendekat.
Belakangan saya baru tahu, memberi makan saat sepi pengunjung adalah tindakan sembrono. Ketika umpan habis, yang datang belakangan dan belum kebagian, menjadi marah. Dua ekor berbadan besar, mbeker, pamer gigi sambil mondar mandir di sekitar saya.
Beruntung, tidak lama kemudian pengunjung mulai berdatangan, nyebar makanan pula. Monyet-monyet yang sempat berkerumun di sekitar saya langsung bubar, memburu makanan yang di tebar di beberapa tempat.
Lega. Saya bisa mulai jeprat-jepret.
Suatu saat, ketika sedang asyik nginceng monyet pacaran di atas pohon, bahu saya didorong lumayan keras.
“Siapa kasih kamu ijin ambil foto kami?”
Sebentar, jangan salah paham ya, yang mendorong dan negur saya orang, bukan monyet. Badannya kecil, wajahnya tidak terlihat galak tapi ada kesan dipaksa sangar.
Kaget, merasa tidak motret orang, dan sedikit geli melihat wajah yang dibuat galak, saya sempat terbengong saja ketika dimaki-maki. Tapi kemudian saya sadar situasi, lalu saya persilakan orang itu melihat semua hasil jepretan saya di kamera. Kebetulan sore sebelumnya kartu memorinya saya format, jadi yang tersimpan hanya foto-foto di hutan wisata itu saja.
Setelah melihat semua foto, orangnya bertanya, “Cuma ini?”
“Iya”
“Tapi kameramu mengarah ke kami.” Orang itu menunjukkan beberapa foto di ponselnya, terlihat saya sedang ngintip kamera dengan lensa mengarah kerumunan keluarganya.
Kembali saya arahkan kamera menuju kerumunan, lalu saya zoom sampai mentok. “Silahkan dilihat lagi.”
Lalu saya lanjut menjelaskan, “Ini kamera prosumer. Dengan focal length 2000mm, lensa mengarah ke sebuah obyek tidak selalu menyebabkan obyek itu masuk frame.”
Yang terlihat di layar LCD memang bukan orang, melainkan seekor monyet yang bertengger jauh di pohon. Biar puas, zoom saya kurangi perlahan sampai beberapa orang terlihat di layar LCD.
“Oooooo …….”
Sumpah, melihat wajah polosnya yang rada-rada ndesit, saya sama sekali tidak punya rasa pengin marah. Jadi, ketika dia ngajak salaman sambil pringas pringis, sayapun menganggap urusan selesai.
“Sing difoto munyuk!” Sambil berjalan, orang itu berteriak ke arah keluarganya. Sebenarnya saya kebelet ketawa, tapi saya tahan-tahan, ketimbang jadi masalah lagi.