12 Juni 2024

Hidup Mengajar Dengan Caranya Sendiri

Tidak ada sekolah yang mengajarkan cara menghadapi kehilangan. Tidak ada buku yang menjelaskan langkah demi langkah agar tetap tenang saat dunia tiba-tiba jungkir balik. Ketika tanah yang kita pijak tiba-tiba amblas dan meninggalkan kita dalam jurang ketidakpastian. Namun, justru di sanalah, di tengah keheningan yang menghancurkan dan di antara puing-puing harapan yang runtuh, kelas sejati kehidupan dimulai. Kelas tanpa papan tulis, tanpa kehadiran seorang guru, dan tanpa jadwal pelajaran yang teratur. Kelas yang gurunya adalah kehidupan itu sendiri, dan kurikulumnya ditulis langsung oleh pengalaman yang paling perih.

Dulu, saya percaya bahwa penderitaan adalah pertanda saya tersesat. Saya yakin, setiap rasa sakit, kekecewaan, atau kegagalan adalah hukuman karena telah mengambil jalan yang salah. Dengan keyakinan itu, saya berusaha sekuat tenaga untuk menghindar, menolak, bahkan marah ketika harus gagal. Dalam doa saya selalu memohon agar hidup hanya memberi ujian-ujian yang bisa saya jawab dengan mudah—seperti kuis pilihan ganda, bukan ujian esai yang memaksa saya merobohkan seluruh tembok ego, lalu membangun ulang dari nol.

Namun, waktu adalah guru yang paling sabar, berbicara dengan cara-cara yang tak terduga melalui bisikan hati dan peristiwa. Perlahan-lahan, seperti kabut yang tersibak oleh mentari pagi, saya mulai menyadari sebuah kebenaran yang mengubah segalanya: hidup tidak pernah menghukum. Apa pun yang datang, entah itu kehilangan, kegagalan yang memalukan, atau keheningan yang menusuk jiwa, bukan hukuman, melainkan undangan untuk belajar lebih dalam, untuk tumbuh menjadi lebih kokoh, dan kembali menyentuh esensi diri yang selama ini tersembunyi rapat di balik topeng “baik-baik saja” yang kita kenakan setiap hari.

Ada masa-masa gelap ketika semua pintu serasa tertutup rapat, keuangan porak-poranda, kesehatan goyah, dan orang-orang yang saya cintai terluka akibat sikap saya sendiri. Di puncak kepedihan, saya bertanya pada langit yang diam, “Mengapa semuanya harus terjadi sekaligus?” Lalu, suatu hari, terjadi pergeseran kecil dalam hati. Pertanyaan itu berubah. Bukan lagi “kenapa ini terjadi padaku,” yang berpusat pada diri dan rasa menjadi korban, melainkan “Apa yang ingin diajarkan oleh hidup lewat semua ini?”

 Di situlah segalanya mulai berubah.

Saya mulai memahami pelajaran yang paling berharga, bahwa tidak semua luka harus segera disembuhkan. Beberapa hanya perlu diakui dengan penuh kejujuran: “Ya, ini sakit. Ini berat.” Saya belajar bahwa tidak semua situasi bisa dikendalikan atau diperbaiki dengan cepat. Beberapa hanya bisa dijalani dengan legawa, tanpa buru-buru menuntut jawaban dari semesta.

Hidup memiliki cara yang unik, dan seringkali terasa kejam, untuk memanggil kita pulang kepada diri sendiri. Kadang panggilan itu datang lewat kehilangan yang mengoyak, kadang lewat kegagalan yang memalukan, atau lewat penantian panjang yang terasa seperti hukuman. Namun, di balik semua itu, selalu ada pelajaran yang sama: Berhentilah berperang melawan kenyataan.

Begitu saya berhenti melawan, hidup justru mulai mengalir lagi. Tidak berarti semua masalah hilang, tapi cara saya memandangnya berubah. Menyebabkan yang dulu terasa sebagai bencana, sekarang menjadi undangan untuk belajar tentang ketahanan sejati, kerendahan hati yang tulus, dan kasih tak bersyarat. Termasuk, belajar mengasihi diri sendiri. 

Dalam keheningan yang dulu terasa menyiksa, saya akhirnya menemukan pegangan. Bukan dalam jawaban-jawaban yang jelas dan terang benderang, bukan dalam kemenangan gemilang, melainkan dalam kepasrahan yang penuh percaya.

Hidup memang bukan guru yang lembut. Kadang memberi soal tanpa perduli apakah saya siap atau tidak. Dia melempar sambil berteriak, “Take it or leave it”. Tapi justru di sanalahkebebasan sejati lahir. Kita diberi kedaulatan penuh untuk memilih, apakah setiap kehilangan, kegagalan, dan air mata akan menjadi akhir dari perjalanan, atau justru menjadi awal dari sebuah proses mengenal diri yang paling jujur dan paling dalam.

Kini saya tahu, hidup bukanlah sesuatu yang harus dimenangkan atau dikalahkan. Cukup dijalani dengan legawa.

10 Juni 2024

Tubuh yang Berbicara

Dulu saya menganggap tubuh hanya alat — sebuah instrumen yang harus saya kendalikan demi mengejar target, memenuhi ekspektasi, dan menjalani hidup sebagaimana “seharusnya”. Jika lelah, saya paksa berjalan terus. Jika ngantuk, saya lawan dengan kopi yang ketiga atau keempat. Jika sakit, saya buru-buru menelan obat, bukan untuk menyembuhkan, melainkan agar bisa kembali “berfungsi” secepat mungkin.

Bertahun-tahun saya memperlakukan tubuh seperti mesin yang saya anggap tahan banting, dan selalu siap digunakan. Saya lupa—atau mungkin sengaja mengabaikan—bahwa mesin bisa diperbaiki oleh teknisi, di-reset, atau bahkan diganti. Sementara tubuh, sebaliknya, adalah bagian utuh dari kesadaran saya sendiri yang hidup, merasakan, dan berbicara dalam bahasa yang tak selalu terdengar oleh telinga, tapi selalu terasa oleh jiwa.

Baru ketika umur mulai menorehkan garis-garis halus di kulit dan penyakit datang silih berganti, saya mulai mendengar suaranya yang selama ini saya abaikan: "Aku tidak sedang menghukummu. Aku hanya ingin kamu berhenti sejenak."

Pegal bukan sekadar tanda kelelahan, kadang menjadi cara tubuh berkata, “kamu terlalu lama menahan beban yang bukan milikmu”. Ngantuk di tengah hari bukan selalu pertanda kurang tidur, tapi bisa jadi isyarat bahwa pikiran sudah jenuh dan butuh diam. Lapar yang muncul tiba-tiba tidak selalu berarti butuh makanan, melainkan isyarat dari hati yang mencari kenyamanan, kehangatan, atau sekadar perhatian.

Perlahan, saya mulai belajar membaca isyarat-isyarat itu. Bkan sebagai gangguan, tapi sebagai pesan. Ketika punggung terasa berat, saya berhenti dan bertanya: “Apa yang sedang aku pikul terlalu lama?” Ketika dada terasa sesak, saya mencari tahu, Beban pikiran apa yang belum saya lepaskan?

Anehnya, begitu saya mulai mendengarkan dengan tulus, banyak keluhan yang tak kunjung sembuh dengan obat justru reda dengan sendirinya. Bukan karena ajaib, tapi karena akar masalahnya bukan di tubuh, melainkan di jiwa yang selama ini tak pernah diajak bicara.

Tubuh ternyata adalah guru yang sangat sabar. Tak pernah berbohong, dan mencatat segalanya: stres yang ditahan, kekecewaan yang dipendam, bahkan rasa syukur yang tulus. Semua itu diterjemahkan ke dalam sensasi—hangat, nyeri, tegang, atau lega—sebagai bahasa universal yang hanya bisa dipahami saat saya mau diam sejenak dan benar-benar peduli.

Ketika saya mulai “mendengarkan tubuh”, saya menemukan kedamaian yang sederhana namun mendalam. Bahwa kesehatan bukan hanya soal bebas dari penyakit, tapi tentang keselarasan antara pikiran, perasaan, dan gerak tubuh. Kesehatan adalah harmoni.

Kini, saya belajar menghormati tubuh seperti sahabat lama yang setia, yang tak pernah meninggalkan, meski sering diabaikan. Saya ajak bicara sebelum tidur: “Terima kasih sudah membawaku melewati hari ini.” Saya ucapkan syukur setelah beraktivitas: “Maaf jika tadi aku terlalu memaksamu.”

Tentu, saya tak selalu bisa menuruti semua pesannya. Dunia tetap menuntut, dan hidup tak selalu memberi ruang untuk beristirahat sempurna. Tapi setidaknya kini, saya tak lagi memperlakukannya seperti mesin tanpa perasaan.

Saya percaya, tubuh tidak pernah melawan, tapi justru berjuang bersama saya, setiap detik, tanpa lelah. Setiap rasa yang muncul—nyeri, lelah, hangat, atau ringan—bukanlah musuh, melainkan bahasa lembut dari alam semesta yang tinggal di dalam diri.

Ketika saya akhirnya mau berhenti sejenak, menarik napas dalam, dan benar-benar mendengarkan…
Ternyata tubuh sedang berbicara. Bukan untuk mengeluh, tapi hanya mengingatkan: “Aku dan kamu adalah satu. Kalau kamu tenang, aku pun sembuh.”