Seorang terapis pernah memberi tahu saya cara mengatasi fobia terhadap jarum suntik. Dia mengajarkan teknik pernapasan dalam dan berbagai cara mengalihkan perhatian. Dia mengaku, metode itu pernah digunakan untuk mengatasi rasa takutnya saat ngantri vaksin covid dan booster.
Tapi, dia nampak bingung ketika saya memberitahu bahwa
teror jarum sudah mulai saya rasakan sejak sehari sebelum suntik, bukan hanya
ketika nunggu antrian.
"Bagaimana cara mengalihkan perhatian dari rasa takut
yang berlangsung sepanjang hari tanpa jeda?" tanya saya. "Bagaimana
saya bisa melakukan pernapasan dalam kalau pikiran sudah dibajak rasa takut
sejak pagi?"
Dia terdiam sejenak sebelum memberi nasehat klise yang
membuat saya terpaksa pura-pura takjub sebelum memilih diam: "Bapak harus
berusaha meyakinkan diri bahwa rasa sakit disuntik hanya sebentar dan bertujuan
untuk kebaikan..."
Saya hampir tertawa getir. Dia tidak paham. Saya bukan takut
sakitnya. Sesakit apa pun ketika disuntik, belum seberapa dibanding pijat petir
yang pernah beberapa kali saya jalani. Padahal sebelum dipijat, saya tetap santai-santai
saja.
Saya phobia terhadap jarum suntiknya. Bahkan melihat fotonyapun bisa membuat saya demam tinggi.
Sejak 2016 saya rutin periksa darah sebulan
sekali. Pengalaman disuntik berulang kali tidak banyak membantu. Gejala kacau
tetap terjadi, dan selalu muncul sejak pagi, sehari sebelum jadwal suntik.
Suara di Kepala yang Berubah Jadi Ancaman
Selalu ada suara di kepala yang mengingatkan, bahwa rasa
deg-degan itu bisa memicu masalah baru. Awalnya, suara itu terasa sebagai
nasehat, tapi belakangan malah menjadi ancaman halus.
Ketika istri saya menjalani perawatan cukup lama di rumah
sakit, teror jarum menjadi menu harian. Gara-gara sering melihat perawat lalu-lalang
membawa nampan berisi suntikan, di mata saya, senyum ramah mereka terlihat seperti senyum
algojo.
Saya bisa santai dan fokus saat ketemu dokter, membahas
kondisi istri, tapi begitu berurusan dengan perawat—meski hanya untuk minta
bantuan mengganti alas tidur—langsung keluar keringat dingin.
Suatu ketika, saat berpapasan di pintu kamar, salah satu
perawat bertanya, “Bapak takut jarum suntik?”
Pertanyaan mendadak itu membuat saya hanya bisa meringis
sambil mengangguk.
“Sebentar lagi shift saya selesai, kalau Bapak berkenan,
saya ingin bicara sebentar.”
Sepertinya dia menyadari, saya selalu menatap ke arah
tangannya setiap kali kami berpapasan—mungkin dengan ekspresi ketakutan yang
terlalu jelas untuk diabaikan.
Pelajaran dari Simbah
Tak lama kemudian, di Hall lantai dua tempat kami bertemu,
dia bercerita, "Saya juga pernah mengalami. Namanya trypanophobia.
Setiap kali terbayang jarum suntik, kepala jadi pusing, jantung berdebar keras,
kadang sampai demam."
Saya hanya diam. Antara kaget, heran, dan sedikit tidak
percaya, orang yang sehari hari berurusan dengan alat suntik ternyata pernah mengalami
nasib sama.
“Setiap kali saya mencoba menghalau, bayangan jarumnya semakin
lengket di kepala. Semakin dilawan, semakin kuat.”
Dia berhenti sesaat,
seolah memastikan saya masih bisa diajak bicara.
“Kata Simbah, pikiran negatif tidak perlu dilawan. Otak kita
punya mekanisme pertahanan kuat untuk menolak setiap perlawanan.”
Entah kenapa, kata “Simbah”, bukan Kakek atau Eyang, membuat
saya merasa, di belakang perawat muda itu berdiri sosok yang kenyang menghadapi
masalah dan mampu mengatasi kesulitan dengan bijak.
“Rasa takut bukan musuh, tapi peringatan
terhadap potensi bahaya. Tidak perlu dilawan. Kalau potensi ancamannya tidak
jelas, tidak perlu diladeni. Biarkan saja perasaan itu bermain sepuasnya di
kepala, seperti Simbah membiarkan anak-anak tetangga bermain di halam rumahnya.
Mungkin sedikit berisik dan mengganggu, tapi anggap saja sedang
berada di tempat ramai.”
Sebenarnya, terapis saya juga pernah memberi petunjuk
serupa: mengabaikan apa pun pikiran negatif yang muncul. Hanya saja saat itu
saya merasa seperti berhadapan dengan guru yang sedang mendiktekan catatan, ketimbang
terapis yang berusaha membantu saya mengatasi masalah.
Perawat itu hanya bercerita tentang pengalamannya sendiri, tapi saya merasa seperti melihat peta Google, lengkap dengan alternatif rute yang bisa saya tempuh.
Ketika saya terapkan, meskipun tidak sepenuhnya membuat
saya lepas dari fobia, saya mulai bisa tenang. Bahkan sekarang bisa mengisi
cartridge tinta printer menggunakan suntikan tanpa membuat jantung
gedubrakan.
Ternyata, kadang yang kita butuhkan bukan instruksi klinis
atau teknik canggih, melainkan cerita dari seseorang yang pernah berdiri di
tempat yang sama. Mengalami ketakutan yang sama—dan selamat melewatinya.
LABEL: BANGKIT DARI ABU