Setelah melewati gerbang, saya tidak segera tahu ke mana harus melangkah.
Tidak ada peta, apalagi GPS. Tidak ada arah mata angin. Tidak ada siapapun untuk bertanya arah, hanya keheningan yang tebal. Tapi keheningan itu bukanlah kehampaan, lebih mirip laut di malam hari. Gelap, dalam, tapi terasa hidup. Lautan yang tak terlihat dasarnya, namun menggulung pelan dengan arus yang akan membawa ke entah ke mana.
Inilah yang kemudian saya kenali sebagai dunia bawah sadar, tempat semua yang tersembunyi berkumpul.
Saya pernah menyangka, hanya ada pikiran sadar. Pikiran yang mengatur jadwal harian, memutuskan menu makan siang, atau menyusun rencana masa depan. Ternyata, pikran sadar hanya permukaan. Di bawahnya, ada samudera luas yang menyimpan segala hal yang tidak pernah selesai, yang tidak sempat dikatakan, yang disimpan begitu saja tanpa tahu bagaimana cara menghadapinya.
Di sanalah saya melihat potongan-potongan mimpi lama yang terbengkelai, luka masa kecil yang tak pernah sembuh, rasa takut yang tersimpan rapi di balik senyum, dan keinginan-keinginan diam-diam yang selama ini saya sembunyikan, bahkan dari diri sendiri.
Meskipun tidak bernyawa, mereka seperti hidup. Mereka berkelana di bawah sadar, menunggu saatnya tiba untuk naik ke permukaan, melalui mimpi, lewat keputusan yang tidak saya mengerti alasannya, atau lewat emosi yang tiba-tiba meledak tanpa sebab yang jelas.
Di dunia bawah ini, waktu tidak berjalan lurus. Masa lalu bisa hadir seperti sedang terjadi hari ini. Dan masa depan yang belum datang, kadang sudah terasa menggigit dengan bayangan buruk. Saya mulai paham, ternyata banyak kekacauan hidup tidak datang dari dunia luar, melainkan dari arus bawah sadar yang belum saya pahami.
Kadang saya menjumpai sosok samar yang muncul seperti kabut yang bergerak. Tak ada wajah, tapi terasa akrab. Ada perasaan campur aduk, takut, rindu, penasaran. Sepertinya dia adalah bagian dari diri saya yang terpisah entah sejak kapan. Bagian yang pernah marah, kecewa, atau bahkan merasa tidak diinginkan. Dia tidak bicara, tapi saya tahu, dia ingin didengar.
Dan saya mulai tahu, menjelajahi dunia bawah sadar bukan untuk mencari sesuatu yang luar biasa, melainkan untuk mengakui bahwa di dalam diri ini ada banyak bagian yang belum pernah saya temui. Mereka bukan musuh, tapi juga bukan sahabat, seandainya saya terus-menerus mengabaikannya.
Selama perjalanan saya belajar bahwa bawah sadar bekerja secara diam-diam. Menyimpan, merekam, bahkan mengambil alih saat pikiran sadar istirahat, lelah atau lengah. Bawah sadar tidak berpikir dengan logika, tapi dengan asumsi, emosi, dan simbol. Bawah sadar bisa muncul dalam bentuk mimpi aneh, sensasi tubuh, atau perasaan yang sulit dijelaskan.
Dan karena itu pula, saya merasa, dunia bawah sadar adalah wilayah yang rawan. Jika saya tidak siap, saya bisa tersesat di dalamnya. Tapi jika saya berani, saya bisa menemukan kunci untuk memahami diri sendiri yang sebenarnya - bukan versi yang secara sengaja saya tunjukkan ke dunia, tapi versi yang tanpa sengaja tersimpan diam-diam, dengan segala luka, harapan, dan cahaya yang belum sempat bersinar.
Perjalanan ini masih jauh dari selesai. Saya baru selangkah menapakkan kaki, tapi saya mulai tahu, semakin jauh saya melangkah, saya akan menjadi semakin paham mengapa saya punya perasaan tertentu, mengapa dalam hidup saya seperti diarahkan melewati jalan-jalan tertentu, dan mengapa saya kadang tersandung pada pola yang sama, berulang kali.
Dan mungkin, jika cukup sabar dan jujur, saya bisa bertemu dengan satu demi satu entitas yang selama ini hidup di dasar pikiran yang sunyi.