Kalau tidak salah hitung, sudah 7 hari saya ngantor tanpa aktivitas apa-apa, selain bengong mikir order mampet dan tengok-tengok komputer, berulangkali melakukan simulasi finansial seandainya pandemi berlangsung sampai Juni 2020. Tapi selalu berujung kopong.
Ternyata tidak melakukan apa-apa lebih melelahkan, terutama
ketika penjualan mampet, sementara karyawan tetap harus digaji.
Di luar, kabar tentang covid 19 semakin simpang siur.
Beberapa orang berusaha menekan pemerintah supaya lock down nasional, sebagian
lagi ngumbar cerita betapa mengerikannya covid di belahan dunia sana:
rumahsakit penuh, bahkan ada video Youtube menayangkan kondisi di Equador,
mayat korban covid bergelimpangan di jalan.
Lalu tiba-tiba saya merasa meriang, mata panas, tenggorokan
perih, badan pegel-pegel ……. Gejala seperti ini sebenarnya sudah
langganan saya sejak muda. Bisa akibat telat ganti baju sehabis kehujanan, bisa
juga karena sering telat tidur. Biasanya satu porsi nasi diberi kuah bakso
pedes dan sedikit tidur siang sudah cukup untuk membuat badan kembali segar,
tapi kali ini dibantu paracetamol sampai 4 kali minum, tidak ngefek. Bahkan
hari berikutnya lidah saya mati rasa.
Saya terinfeksi Covid?
Saya bukan pemberani, bahkan cenderung gampang takut, sering
deg-degan oleh kejadian sepele, tapi belum pernah ciut nyali. Kali ini saya
benar-benar ketakutan.
Apakah saya mulai takut mati? Entahlah. Selama ini saya
punya pemahaman, mati tidak lebih dari tidur dan tidak bangun lagi, dan saya
tetap meyakini seperti itu.
Belum rampung mikir, lidah mati rasa. Setelah itu saya sadar
tidak bisa membaui aroma wedang kopi.
Blaen ………
Selain saya, di kantor masih ada 3 lagi yang masuk kerja.
Direktur pemasaran dan dua staff administrasi. Kami baru saja menyelesaikan SPT
tahunan, dokumen-dokumen yang semula dibongkar dari lemari arsip, digunakan
sebagai rujukan menyusun SPT, belum seluruhnya disimpan kembali.
Perlahan saya mlipir dari ruang kantor. Saya tidak ingin
nulari orang lain.
Sebenarnya saya pengin pulang. Dalam kondisi meriang berat
biasanya selain nasi berkuah bakso dan teh anget, berada dekat istri membuat
saya lebih nyaman. Tapi kali ini saya tidak punya nyali untuk langsung pulang.
Barangkali lantaran terlalu sering melihat saya sentlap
sentlup dan demam (pernah sebulan pilek sampai 3 kali dan pernah juga setahun
flu sampai lebih dari 10 kali), istri saya santai saja ketika saya pulang
dengan kondisi berantakan :Mata merah, sentlap-sentlup, wajah kuyu. Bahkan dia
tetap santai ketika saya menetapkan protokol covid di rumah. Anak dan istri
tinggal di rumah induk, sementar saya mengungsi di kamar belakang. Keluar
dan masuk rumah melalui pintu butulan yang selama ini jarang dibuka.
Kenapa tidak langsung ke dokter?
Gejala covid sangat mirip dengan kondisi saya saat itu. Saya
tidak mau nantang resiko masuk karantina. Cerita seputaran karantina yang
sempat saya dengar tidak ada enaknya. Disamping itu, saya tidak mau mati jauh
dari anak dan istri.
Lagipula, saat itu pengetahuan tenaga medis terhadap covid
tidak beda jauh dengan saya, sama-sama tidak tahu. Seandainya saya terinfeksi,
menurut saya akan lebih aman kalau saya tangani sendiri, ketimbang pasrah pada
orang lain. Sama-sama buta covid dan sama-sama trial and error, saya lebih suka
memilih menghadapi resiko dengan cara sendiri, ketimbang menggantikan peran
tikus percobaan di tangan dokter.
Biasanya saya aleman. Demam dikit, tiduran. Nasi kuah bakso
pedes dan teh anget selalu tersedia kapanpun saya mau. Sekarang saya bahkan
tidak berani minta apapun. Saya tidak mau anak atau istri mondar-mandir di
sekitar kamar.
Malam pertama sejak memutuskan isolasi, menjadi malam yang
berat bagi saya. Jam berapa, embuh, saya terbangun, menggigil. Selimut
tidak mempan, bahkan sampai nyelip di bawah bed coverpun tetap kedinginan.
Sambil menahan dingin saya berusaha tidur, tapi yang terjadi kemudian justru
pikiran saya kacau.
Antara tidur dan masih terjaga, saya merasa berada di tempat
lain dengan kejadian-kejadian yang tidak jelas. Terakhir yang bisa saya ingat,
saya rebutan botol minum, lalu terjengkang.
Ternyata saya jatuh beneran dari tempat tidur. Saya terkapar
di lantai, masih menggigil. Sebelum kembali naik tempat tidur, saya melihat
bayang-bayang botol air minum (mata saya minus lebih dari 10, tanpa kacamata,
apapun hanya terlihat sebagai bayangan). Saya memaksa diri meraih botol, lalu
menenggak isinya yang cuma tinggal separo, sampai habis.
Sesaat saya teringat, sejak awal demam saya jarang minum.
Padahal biasanya dari pagi sampai siang saja selalu habis air putih satu botol
ukuran 1,5 liter.
Jangan-jangan saya dehidrasi!
Saya paksa berjalan menuju galon air minum di ruang makan.
Tidak jauh, dari kamar hanya sekitar 2 atau 3 meter, tapi butuh perjuangan
keras untuk mencapai tempat itu. Apalagi setelah minum 2 gelas air hangat, tak
lama kemudian kebelet pipis.
Seandainya tidak sedang pandemi, tentu tidak perlu sengsara
seperti itu. Saya bisa minta dibuatkan teh anget dan tetap kemulan di tempat
tidur. Tapi ada manfaatnya juga, kuwatir menularkan covid membuat saya terpaksa
tegar.
Saya sempat demam tiga hari, meskipun menggigilnya hanya
pada malam pertama. Dua hari berikutnya saya memaksa diri keluar rumah. Saya
punya kebiasaan buruk, kalau merasa tidak enak badan lalu hanya tiduran saja,
tambah lama malah jadi parah.
Jadi, saya memaksa diri kembali pada aktifitas rutin, nyapu
halaman, ngopeni kucing dan babat-babat tanaman karena kebun mulai terlihat
gondrong.
Hari ke empat saya ngantor lagi, bukan karena ada pekerjaan,
tapi ketika buka WAG kantor, driver yang jago mijet sedang main ke
kantor.
Apakah setelah dipijet, sembuh? Lha embuh. Pegel-pegel dan
sumengnya masih terasa, tapi sakit kepalanya ilang. Lebih enak dianggep sembuh
saja, karena saya kepengin makan rujak es krim.
Sebenarnya saya sedang diet. Berpantang karbo, gula, dan
semua yang mengandung kuning telor, tapi bolehlah sekali-sekali dietnya libur.
Terutama kalau lagi jauh dari dua satpam saya (anak dan istri).
Belum lagi habis satu mangkok es krim, hidung saya sudah
sentlap-sentlup. Memang sering begitu, artinya butuh satu mangkok kuah bakso
pedes, supaya tidak berlanjut banjir ingus.
Lalu, apakah saya kena covid atau hanya demam biasa? Bodo
amat. Yang penting karantina mandiri tetap jalan, biar tidak nulari
orang.