Beberapa teman seumuran mengeluh, meskipun dekat anak dan cucu, hidup terasa lebih sepi. Kesempatan ketemu teman dekat berkurang akibat fisik sudah tidak mampu lagi diajak dolan jauh.
Saya tidak bisa memberi solusi karena sejak muda saya lone wolf, tidak dekat secara emosi dengan siapapun kecuali anak dan istri. Saya berteman dengan siapa saja dalam derajad sama, hanya teman., tidak ada sahabat. Kalaupun ada beberapa yang sering ketemuan, dolan bareng, gojeg kere, pisuh-pisuhan, ya hanya sebatas kenal kebo, tidak lebih
Saya tidak memilih menjadi lone wolf, saya jalani saja sesuai perasaan. Disamping itu, saya tidak terlalu suka terlibat dalam urusan pribadi orang lain. Begitu pula sebaliknya, saya tidak suka seseorang nyelonong begitu saja ke dalam ranah pribadi saya, terutama urusan agama.
Terbiasa sendiri, ketika kesempatan dolan menjadi berkurang di masa pandemi, saya tidak kehilangan siapapun, karena saya bisa menemukan teman lain di manapun dalam jangkauan fisik.
“Bedalah, teman yang cuma sekedar kenal dengan teman yang beneran care padamu.”
“Iya, waktu muda saya pernah punya, tapi saya kurang suka pada orang yang memberi perhatian dengan cara seperti itu.”
“Berarti jiwa sosialmu bermasalah.”
“Mungkin”
Seperti terhadap teman-teman lain, dengan orang ini saya cuma kenal kebo. Tapi entah kenapa, saya tidak perduli saat dia ngrusuhi ranah pribadi saya. Dan ketika dia, saya panggil Gembul karena ukuran badannya yang extra large, meninggal, ternyata saya merasa kehilangan.
Hampir setahun tidak ada lagi yang menyapa saya “Jek orep tah?”. Ketika saya melanggar diet, tidak ada lagi yang protes “Manganmu ngawur kok gak matek-matek?”.
Tidak ada lagi yang ngakak di telepon ketika mendengar kabar saya lari terkencing-kencing saat mendengar suara guguran Merapi atau saat saya uring-uringan ketika menerima
Tidak ada lagi yang misuh, “Wedhussss!!!” Ketika dia menyuruh saya mulai rajin ibadah, “golek dalan
Selama pandemi 2020 saya punya banyak waktu luang. Ketimbang gabut, sekaligus menjajagi peluang bisnis baru, saya menjadi kurir belanja. Saya menerima order dari siapa saja yang butuh belanja tapi takut keluar rumah. Gembul menjadi salah satu pelanggan tetap saya.
Sebenarnya Gembul memberi order bukan karena butuh dibantu belanja, tapi sebagai pelampiasan sebel lantaran tahu saya bisa bebas keluyuran, sementara dia bahkan tidak diijinkan ke luar rumah sama sekali. Selain belanjaannya sering seenak udel, setiap kali saya datang mengantar belanjaan, dia selalu ngotot minta diijinkan ketemu. Maka, sebelum Gembul keluar, saya terpaksa menjalani ritual pembersihan badan terlebih dahulu. Disembur desinfektan, disuruh mengenakan jas lab yang selalu tersedia untuk saya, dan mengganti masker.
“Wong ndableg ngene iki lho, gak ketularan kopit, gak matek.” Gembul protes pada anak dan mantu yang menyekap dia sejak awal pandemi
Setelah itu giliran saya pula kena sembur, “Tulung kau ikat anak dan mantuku di pohon.”
Saya berpaling ke arah menantu yang sedang momong bayi, “mBak, mertuamu ajaken jalan-jalan po-o?”
“Jancuk!!! Padakno kirik, dijak mlaku-mlaku”
“Ya gosah dicancang.”
“Pudel punya Mey Mey nek dijak mlaku-mlaku yo gak kathik ditaleni, cuuukkk!”
Berlagak bego, saya plesetkan pudel menjadi udel (puser), “Lah opo udelnya Mey Mey ditaleni?”
“nDuk ……” Gembul berteriakk ke arah menantunya, “Lain kali kalau bedhes satu ini datang gak usah disuguhi, tambah nemen budhege.”
“Kalau enggak disuguhi, ngapain aku ke sini?”
“Lek kamu gak ke sini, terus siapa sing tak pisuhi, wong kancaku yang berani klayaban cuma kamu?”
Ketika PSBB berakhir dan semua orang mulai keluyuran, Gembul kembali sibuk dengan sepedanya. Sayapun kembali menjadi lone wolf yang merdeka tanpa diganggu telepon lebay si Gembul yang kebanyakan sambat, karena bosen jadi tahanan rumah.
Suatu saat Gembul ngajak tiga teman gowesnya nekad nyusul ketika saya sedang motret Merapi di Kalitalang. Sebenarnya mereka sudah beberapa kali bersepeda sampai bukit Klangon, masalahnya, meskipun diukur dari puncak Merapi posisi Kalitalang lebih di bawah ketimbang Klangon, tapi rutenya lebih terjal. Sementara rombongan bocah tua seukuran karung beras 100 kilo itu sama sekali tidak kenal
Menjelang pos Balerante akhirnya Gembul menyerah. Dia bengak-bengok di telepon. Sayapun turun menjemput.
“Bedheeessss!!!! Ternyata kamu naik motor?” Gembul muring-muring. Raut mukanya morat-marit antara jengkel dan ngap-ngapan.
“Lha rumangsamu?”
Saya telepon anak mbarep Gembul, “Bapakmu temangsang di Balerante.”
Gegerlah semuanya. Istri, anak, mantu, bayi dan sopir, sak rombongan nyusul ke Balerante.
“Tak kira si Doel peyot itu naik sepeda. Mosok dia kuat aku enggak?” Gembul berdalih ketika semua orang ngomel bergantian.
Tidak disangka, itu adalah pertemuan terakhir kami. Beberapa hari kemudian Gembul telepon, pamit ke
Sejak saat itu, setiap kali menuju Kalitalang saya selalu berhenti sesaat di tempat Gembul pernah ndheprok.
Saat itu, sambil nunggu jemputan tiba, saya bercerita banyak tentang Kalitalang.
“Kamu punya tempat bagus untuk ngadem, kenapa nggak pernah cerita?”
“Kapan-kapan kita camping di
“Bisa?”
“Yup.”
“Angker?”
“Setan mana berani sama kamu!”
“Kalau gunungnya mbledhos?”
Gembul pringas-pringis ketika saya melotot.
********
Terimakasih mBul, untuk sesaat kamu sudah memberi warna lain dalam hidupku.